Makan Siang

1131 Kata
Mau makan siang bareng? Sekalian bahas ‘Laberinto’... Pria itu tersenyum miring setengah mendengkus ketika membaca pesan masuk di ponselnya. Tenang saja, gue bukan sutradara yang ngaret 3 jam dari waktu janjian. Pesan kedua masuk dan membuatnya ingin membanting telepon pintar itu ke lantai kalau saja ia tidak segera ingat bahwa banyak data penting yang belum dirapikannya di dalam ponsel tersebut. “Kacau lagi, Ko?” sapa Krisna mengalihkan perhatian Miko dari layarnya. “Kagak. Ini ada nomor mama minta pulsa.” jawab Miko setengah berbohong karena pesan mama minta pulsa yang ia katakan barusan memang benar adanya, tapi bukan itu alasan di balik rasa kesal yang memenuhi kepalanya saat ini. Amanda atau siapapun lah nama makhluk berkromosom Y itu, yang jelas pesan yang dikirimnya barusan berhasil menyulut kembali emosi Miko yang semalaman membuat pria 25 tahun itu kesulitan tidur. Ia dikerubungi rasa bersalah setelah menyinggung pria cantik itu kemarin. Dan hari ini dengan sengaja si Amanda itu mengajak kembali bertemu, dengan mengopi teks pesan yang Miko kirimkan kemarin beserta sindiran keterlambatan yang dilakoninya. “Eh? Lo mau ketemuan sama Amanda? Kemaren gak jadi?” seruan penasaran Krisna yang sempat membaca riwayat percakapan itu menarik Miko kembali ke dunia nyata setelah ingatan tentang Amanda menyeretnya pada kenangan yang tidak menyenangkan. “Ketemu. Tapi karena gue telat jadinya dia ada kepentingan lain.” Jawab Miko seadanya. Ia tidak yakin akan mengatakan kenyataan bahwa Amanda adalah seorang pria terbalut wajah cantik kepada Krisna yang sempat merencanakan modus kerdusnya ketika syuting dimulai nanti. “Gimana doi? Cantik kayak legenda?” Miko mulai meringis membayangkan sekaget apa pria polos di hadapannya ini nanti. Pertanyaan Krisna kembali mengudara. “Gue sarankan lo gak usah berharap bisa PDKT sama dia. Cari cewek lain.” sarannya ketika akan meninggalkan Krisna di ruang penyuntingan. Hari ini hari terakhir syuting untuk iklan komersil yang digarapnya bersama Debora kemarin. Setelah menyelesaikan proses penyuntingan, Miko meminta Krisna untuk menyerahkannya ke tim Produksi karena ia harus bergegas menuju tempat janjian dengan Amanda sebagai bentuk antisipasinya dari kejadian kemarin. Miko tiba tepat waktu. Pukul 12.30 di sebuah rumah makan bernuansa Jepang tidak jauh dari tempat wisata yang sedang ramai di media massa. Miko sangat yakin bahwa ini adalah tempat yang dipilih Amanda karena berdasarkan lokasi yang bagikan pria cantik itu, hanya rumah makan ini yang berpapan nama Aomori di kawasan tersebut. “Lo kebiasaan bengong apa emang linglung begitu?” sapa suara familiar itu mengejutkan Miko yang masih berdiri di depan pintu masuk, seperti kemarin. Ia masih kesulitan menemukan Amanda. “Kenapa? Belum pernah ngeliat orang tampan, huh?” tanya pria itu ketika Miko menatapnya tidak percaya. “Amanda?” gumam Miko lebih kepada dirinya sendiri. Sosok yang dijumpainya saat ini seratus ribu puluh juta kali berbeda. Terlalu berbeda sampai otaknya tidak dapat menyinkornkan urutan bilangan untuk menggambarkan perbandingan yang terjadi dalam diri seorang Amanda. Pria yang kemarin ia jumpai dalam paras cantik. Pria yang saat ini memimpin jalan menuju sudut rumah makan yang khusus disekat dengan anyaman bambu itu adalah orang yang sama dengan kemarin, Amanda. Cara bicaranya yang merendahkan dan menyebalkan itu masih melekat jelas di kepala Miko, hanya saja Miko tidak mengerti bagaimana bisa merubah warna rambut dan memangkasnya lebih pendek bisa membuat seseorang menjadi begitu berbeda? Kesan cantik itu memudar bahkan hampir tidak berbekas kecuali saat kebiasaan tersenyum pria itu mengembalikan efeknya. “Kenapa lo? Jatuh cinta? Sorry, gue udah punya pacar.” sarkas si pria cantik sembari menunjukkan kartu tanda penduduk yang menunjukkan identitas aslinya. Disana termaktub Aksa Mandala D sebagai pemilik sosok rupawan juga jelita tersebut dengan kelamin 100% laki-laki. Miko membacanya berulang kali dan memastikan bahwa kartu tersebut bukan hasil rekayasa. “Boleh gue panggilnya Aksa saja?” tanya Miko berhati-hati setelah pria di hadapannya kembali menyimpan kartunya. Pertanyaan itu membuat Miko menahan napas karena tidak direspon langsung melainkan hanya sebuah anggukan ringan. “Lo masih marah soal kemarin? Kemaren gue salah banget. Seharusnya-” “Gue minta maaf. Kemarin sebelum lo datang, suasana hati gue udah jelek duluan tapi malah ngelampiasinnya ke lo.” Sela Aksa menatap langsung ke manik legam Miko yang membulat oleh rasa terkejut. Dalam pikirnya, Aksa adalah tipe manusia rewel nan bawel serta merepotkan. Merasa benar dan tidak suka disalahkan. Namun yang terjadi, pria itu tidak segan meminta maaf lebih dulu dan mengakui kesalahannya. Sinar mata yang suka merendahkan itu berubah ramah seolah benar-benar tulus ketika berucap, membuat Miko merasa tidak enak hati membiarkan uluran tangan itu menggantung di udara terlalu lama. “Toiletnya rame, aku sama—” “Kenalin, ini sutradara yang bakal ngerjain ‘Laberinto’ bareng aku.” sergah Aksa begitu sosok berambut panjang yang dicepol asal-asalan itu menghampiri mereka berdua. Tangan Miko yang masih dalam genggaman Aksa perlahan memucat dan basah. Aksa memperhatikan raut terkejut dan gugup Miko, penasaran. “Kalian saling kenal?” tanya Aksa memecah hening. Baik Miko maupun perempuan di hadapannya saling tatap keheranan. Sang perempuan menggeleng sementara Miko masih terpaku pada bayangan di balik perempuan itu. Aksa mengalihkan pandangannya dan menyeringai dengan samar. “Bunny!” soraknya mengejutkan Miko. Perempuan yang berdiri di depan pintu masuk itu segera menoleh dan menghampiri ketiga orang canggung tersebut. “Ini Vanilla, temen gue yang ngebantu gue dalam riset naskah. Dan ini Risa, asisten gue...” jeda Aksa ketika memperkenalkan Vanilla dan Risa kepada Miko. Ia dengan sengaja menunda kalimatnya guna mengamati ekspresi pria itu dengan seksama. “sekaligus pacar gue.” tandasnya diiringi seringai kecil begitu tanpa bisa diduga Miko terlonjak kaget di tempatnya. Pria itu seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Aksa. “Lo pasti kenal, kemaren Risa bilang target uji lapangannya temen SMA dia.. dan ternyata itu lo. Sorry untuk kesalah pahaman orang tua lo kemarin.” tuturnya seolah benar-benar menyesal. Vanilla yang duduk di hadapan Risa dan Aksa terlihat cemas mengamati Risa. Tidak ada perubahan berarti dalam diri Risa ketika bertemu kembali dengan Miko. Perempuan itu terlalu tenang mengingat kemarin reaksinya jauh lebih mengkhawatirkan. “Dia tidak bilang kalau atasannya itu juga pacarnya.” jawab Miko menatap lurus manik Risa. “Lagi pula dia sudah janji bakal tanggung jawab sama gue. Masalah selesai.” tandasnya masih belum melepaskan pandangan itu dari Risa yang juga menatap lurus ke arahnya. “Aku tidak merasa perlu untuk menjelaskan kehidupan pribadiku padamu. Kita bahkan bukan teman.” ujar Risa membuka suara untuk kali pertama dalam sepuluh menit pertemuannya kembali dengan Miko. Genggaman tangannya pada Aksa mengerat. “Kita memang terlalu spesial untuk sebutan teman yang sangat sederhana.” sahut Miko dengan percaya diri, Aksa memalingkan wajahnya dan menatap tajam pria yang dengan berani mengintimidasi Risa hanya dengan sebuah tatapan rendah seperti yang dilakukan Miko saat ini. Ia baru saja akan membuka mulut ketika suara Risa kembali mejeda. “Aku dan kau terlalu beda untuk disebut kita. Kau akan membuat pacarku salah paham.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN