Perang

1125 Kata
"Lo mau bunuh gue apa gimana?" sungut Risa ketika berhasil meloloskan bubur yang disuapka Aksa melewati tenggorokan. Tidak ada lagi percakapan setelahnya. Aksa menjadi pasif sedang Risa memilih bisu. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Kemarin, pas ketemu Miko gue beneran baik-baik aja. Serius." buka Risa setelah menghabiskan makanan di meja kecil itu. Ditatapnya Aksa dengan tegas, mencoba meyakinkan bahwa semua ini bukan salah pria itu. Aksa mendesah frustrasi dan memindahkan meja kecil yang menghalangi dirinya dari Risa ke bawah sofa. "Sa..." Kalimat itu tidak mampu Aksa selesaikan sebab Risa lebih dulu merangkul, dan menyembunyikan kabut tebal di wajahnya ke dalam ceruk leher beraroma stroberi milik perempuan itu. "Gue baik-baik aja, Ma-Sa. Ah elah! Gue manggil Aksa entar berasa manggil diri sendiri!" rutuknya setengah kesal karena nama mereka sama-sama berakhiran Sa. "Ini pasti ada yang nakalin lo, kan? Makanya sebel lagi sama Manda." tebak Risa seraya merangkum wajah Aksa dengan gemas, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. "Entah kenapa gue hampir ketipu sama suasana alay yang lo buat." Aksa menepis tangan Risa dan memberi jarak aman agar ia bisa leluasa duduk bersandar di sofa. Raut mendung yang membelenggu paras ayunya perlahan cerah. "Si Miko-Miko itu mulutnya emang lemes gitu, ya. Asem lah!" Risa terkekeh geli mendengar umpatan Aksa yang telah kembali menjadi sosok periang. Pria itu menyilangkan tangannya di d**a sembari mereka ulang pertemuannya dengan Miko, teman semasa SMA Risa yang kemarin telah ia targetkan sebagai objek percobaan uji lapangan. Risa menopangkan kepalanya pada tangan kiri yang bertengger di bahu sofa sedang tangan kanannya sibuk menepuk bahu Aksa ketika menirukan ekspresi bodoh Miko saat pertama kali melihatnya. "Harusnya gue pakai kostum ya, kan? Makin nyaho tuh anak!" "Gak usah segitunya, Manda." "Berapa hari ini gak usah nyebut-nyebut Manda, lah! Emosi gue inget temen lo itu." "Lo duluan yang bahas dia... gue pun gak mau inget dia lagi. Capek. Begini aja terus juga gak apa-apa, kan?" Risa meraih jemari Aksa yang terlihat lebih terawat dibandingkan miliknya. Aksa tidak menjawab. Ia sibuk memperhatikan senyuman Risa, memastikan bahwa perempuan itu benar-benar baik- baik saja. "Kalau udah sembuh, kita pergi main yuk." Risa mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Senyumannya dengan mudah merekah begitu ajakan bermain itu mengudara. "Oke. Sama Vanilla juga?" "Ck! Ya nggak, lah. Kalo ngajak Vanilla juga yang ada nanti kita dilarang ini itu, gak bisa nakal." kelakarnya yang disambut kekehan Risa. Sebenarnya tidak ada yang lucu dari percakapan itu, pun dengan rencana mereka untuk menghabiskan waktu nanti. Semua tawa dan gurau yang mereka lemparkan tidak lebih dari pemudar gelisah. Bersembunyi dari kekalutan yang kian mendekat. Baik Risa dan Aksa tidak ada yang mampu menyangkal bahwa langkah yang mereka mulai tiga tahun lalu mungkin akan menemukan ujian yang sebenarnya sekarang. Ujian yang mungkin akan meluluh lantakkan semua usaha mereka selama ini atau justru sebagai pemutus benalu pilu yang menyelimuti mereka hampir seumur hidup. "Gue mau ganti kontrak buat 'Laberinto'... gue bakal terlibat penuh selama proses syuting." putusnya setelah lama terdiam. Risa mengangguk setuju seolah sudah menduga bahwa Aksa akan memutuskan hal itu. "Lo gak kaget?" Risa menarik sudut bibirnya ke belakang, menampilkan seringaian yang baru pertama kali Aksa lihat. "Kenapa kaget? Lo gak mungkin melewatkan Miko. Orang itu terlalu 'bagus' untuk dibuang begitu saja. Paling tidak, dia harus merasakan seperempat dari apa yang kita rasakan, bukan begitu?" jelasnya seraya beranjak menuju kamar. "Kemana?" tanya Aksa yang masih kebingungan dengan perubahan drastis Risa. "Bersiap-siap. Perangnya mau dimulai, kan?" Kedua alis pria itu mengerut heran. Apakah Risa salah minum obat? Atau apakah kejiwaannya terguncang? Perempuan itu tidak pernah atau mungkin sebelumnya tidak mampu untuk berekspresi demikian. “Itu salah satu dialog dalam ‘Laberinto’, tidak ingat?” Kali ini Risa kembali membawa selimut tebal dalam pelukannya. Aksa membulatkan mulut hendak bersuara tapi kemudian tertelan begitu saja begitu terkejut dengan tingkah Risa. “Gue baru tau lo punya bakat akting.” “Bukan tidak tau, gue juga baru nyoba. Gimana? Mirip? Apa kurang emosi? Gue mau daftar jadi si Baby Tjanara. Hohoho” selorohnya memburu Aksa dengan pertanyaan dan pernyataan tidak penting. “Dimana lo ngeliat ekspresi menggelikan seperti itu? Sepertinya lo harus berhenti nonton film gak jelas.” Aksa mendorong dahi Risa dengan jari telunjuk ketika wajah penasaran Risa terlalu dekat dengannya. Perempuan itu terkekeh geli dan melemparkan selimut yang dibawanya tadi pada Aksa. “Padahal gue cuma nonton karyanya si A Man Da Lady (A Mandala D)... aneh banget emang ceritanya.. gue jadi ikutan absurd gini.” gelak Risa kemudian mendapati sorot tak terima Aksa mendengar karyanya disebut sebagai film aneh. Aksa tidak lagi menghiraukan gurauan Risa, ia memilih untuk duduk di pojok ruangan yang menjadi ruang kerja Risa. Dalam hitungan menit, pria itu telah tenggelam dalam kesibukannya dan meninggalkan Risa yang masih terbaring menerawang entah kemana. “Lo mau nginap kan? Pake kamar gue aja.” Risa berseru, memecah bisu. Aksa menatapnya sekilas kemudian kembali abai. “Lo serius mau gabung buat ‘Laberinto’, Man? Eh.. Aksa, ya?” terusnya masih tidak menyerah untuk mendapatkan respon dari pemilik surai perak tersebut. “Serius amat sih..” Aksa menutup layar laptopnya dengan panik begitu menyadari bahwa Risa telah berdiri di belakangnya. Kursi yang ia duduki berputar cepat menghadang Risa untuk mendekat. Matanya begerak cepat, membuat Risa ikut terkejut dengan reaksinya. “Kenapa kaget begitu? Lo ngapain? Nulis b**m, ya? Sampe pucat gitu.” tebak Risa asal-asalan. Aksa menelan ludah dengan susah payah mendengarnya. Pria itu memikirkan alasan yang lebih logis karena Risa tidak akan percaya bahwa reaksi belerbihan seperti tadi hanya sekadar bersembunyi dari tulisan dewasa yang ia kerjakan layaknya yang sudah lalu. “Tebakan yang bagus.” jawabnya memutuskan untuk mengalihkan fokus Risa kepada hal lain. Aksa meraih pinggang perempuan itu hingga jatuh ke pangkuannya. Suasana yang canggung segera menyerang tatkala Risa bergerak gelisah. Dari jarak yang sangat dekat ini, Aksa bisa merasakan bahwa perempuan itu menahan napasnya untuk sesaat dan menghindari kontak mata. Semakin menggemaskan dengan rona merah yang perlahan tampak pada wajah pasi tersebut. “Gimana mau nulis yang begitu kalo mbak asisten aja ga bisa bayangin? Gak dapet dong feelnya...” bisiknya tepat di telinga Risa. Tawa Aksa pecah begitu saja ketika perempuan itu bangkit dengan segera dan memukul bahunya. “Pulang sana! Takut gue lo nginep di sini.” Risa melangkah cepat menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Pria itu bangkit dan melewati Risa dengan cengiran nakal. Terlihat menikmati reaksi salah tingkah Risa. “Mungkin gue harus mikir-mikir lagi soal tawaran Markus.” ujarnya sembari mengedipkan sebelah mata pada Risa. Bantingan suara pintu yang diikuti gelak tawa itu perlahan memudar ketika Risa memasuki kamarnya dan menghamburkan diri ke ranjang dengan keras. Kenapa Aksa menyerang seperti itu? Walaupun jantungnya tidak sampai ingin meledak seperti saat pertama kali berjumpa dengan Miko kemarin, sorot berkabut itu tetap saja membuatnya salah tingkah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN