Panik

1013 Kata
"Kan! Kubilang juga apa? Dia pasti panik." rajuk Risa ketika sambungan telepon terputus begitu saja setelah pria cantik itu mendengar bahwa dirinya tengah kurang sehat. Perempuan itu menenggelamkan diri ke dalam selimut hingga menyisakan matanya yang sayu. "Tadinya kupikir tidak mengapa. Tapi melihat reaksi tubuhmu saat ini... aku yakin kau tidak baik-baik saja. Terjadi pergejolakan kuat sehingga tubuhmu bereaksi keras." jelas Vanilla yang berhasil mendesak Risa agar memberi tahu Aksa tentang kondisinya saat ini. "Tapi Manda tidak ada kaitannya dengan ini. Kenapa dia harus-" "Aksa Mandala D yang sedang kita bicarakan saat ini punya banyak kaitan dengan kondisimu, Risa. Kalau kau tidak lupa dia-" "Bunny!" Dua perempuan yang masih beradu pendapat itu kompak menoleh tatkala suara serak dari arah pintu masuk apartemen Risa menggema. Langkahnya melebar, mengikis jarak sesingkat mungkin dan jatuh bersimpuh di hadapan Risa yang berbaring di sofa. "Kenapa lo gak istirahat di kamar? Apa yang sakit? Udah telepon Vanilla?" tanyanya sembari mengecek suhu tubuh Risa dengan telapak tangannya yang hangat. Risa mengerjap tidak siap ketika suhu tubuh mereka bertabrakan. "CK! Kita ke RS sakit sekarang!" Risa menggeleng cepat ketika umpatan itu disusul oleh tubuhnya yang terangkat dalam gendongan pria grasa-grusu tersebut. "Risa tidak butuh ke rumah sakit, Sa. Dia hanya butuh istirahat." sela Vanilla, memberi tahu Aksa bahwa dirinya sudah lebih dulu tiba dan terabaikan begitu saja ulah kepanikan pria tersebut. "Lo gak usah panik. Bener kata Vanilla. Gue cuma butuh istirahat." ujar Risa membenarkan teguran Vanilla. Pria itu kembali membaringkannya. "Sorry." lirihnya mengusap kepala Risa sejenak kemudian menatap Vanilla yang berdiri di belakangnya. "Aku yang minta Risa ngabarin kamu. Bisa kita bicara sebentar?" Walaupun Vanilla mengucapkannya dengan nada bertanya, Risa meyakini bahwa perempuan itu sama sekali tidak memberi pilihan untuk menolak. Keduanya berjalan menuju balkon dan menutup pintu agar pembicaraan mereka tidak membebani Risa. Dari posisinya berbaring saat ini, pandangan terakhir yang bisa Risa tangkap ialah pose berkacak pinggang Vanilla yang seolah siap mengomeli Aksa. "Dia beneran-" "Dia gak baik-baik aja. Kalau itu yang ingin kamu tanyakan." serobot Vanilla tidak sabar. Ia memalingkan pandangan ke dalam, memastikan Risa sudah terlelap untuk kemudian mengatakan yang sebenarnya kepada pria di hadapannya. "Sa, aku memang tidak lebih berhak dari kamu soal Risa, tapi tolong hargai dia sebagai pasienku. Pekerjaan ini mulai gak sehat buat dia. Memang benar, sudah kewajibanku buat menolong siapapun dan bagaimanapun kondisinya, tapi kalo kamu terus-terusan menempatkan dia dalam situasi sulit..." Vanilla menjeda kalimatnya. Ada bongkahan besar yang menyumbat kerongkon perempuan itu ketika memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya, "bukan tidak mungkin usahanya selama ini justru berbalik menjadi senjata pembunuh." tutup Vanilla menatap kaki mereka. "Aksa, situasinya udah gak sama dengan yang aku setujui dulu. Kita gak bisa lanjutin ini. Ok? Aku minta maaf karena menempatkan kalian dalam keadaan rumit ini di saat seharusnya aku menjaga kalian." Vanilla meraih tubuh Aksa dan mendekapnya dengan hati-hati, merasa bersalah atas apa yang dikatakannya barusan. "Masih belum terlambat, kan? Apa kita masih bisa memperbaiki keadaannya?" tanya suara serak itu dengan gamang dalam pelukan Vanilla. Tubuh tegap Aksa terasa rapuh ketika tangan Vanilla mengusap punggungnya. "Aku masih harus melakukan pemeriksaan lanjut. Kalau gejala depresi menurun, mungkin reaksi tubuhnya saat ini cuma efek kejut dari perubahan emosi yang baru pertama kali dia rasakan. Sejauh ini Risa sudah banyak berkembang dan kondisinya lumayan stabil selama tiga tahun." jelas Vanilla disertai tepukan pelan di bahu Aksa setelah pelukan itu terurai. Vanilla pamit untuk kembali ke kantornya sementara Aksa memilih menyibukkan diri dengan bahan masakan di dapur Risa. Ia memutuskan akan memasak sup ayam untuk makan malam bersama. Tangannya lihai bergerak seirama dengan pisau yang beradu dengan bahan dan bumbu dapur, memotong layaknya seorang profesional. Aroma kaldu yang menggoda itu mulai menggelitik indra. Setelah memastikan kematangannya sempurna, Aksa bergeser menuju penanak nasi, memeriksa kematangan bubur agar nyaman untuk Risa cerna. Senyumnya merekah begitu semua masakan tersaji manis di atas meja. "Sa, makan dulu, yuk." panggilnya pelan sembari mengusap wajah Risa. Perempuan itu menyatukan alisnya dengan tidak nyaman. Perlahan kegelepan dalam mimpinya berangsur pudar dan cahaya mulai menusuk pandangan, membuat Risa mengerutkan dahinya. "Makan dulu. Gue masak sup." ulangnya kali ini membantu Risa duduk dengan hati-hati. Aksa menekuk lutut dan menyejajarkan tubuhnya dengan Risa. Ditatapnya perempuan ringkih itu dengan sorot mata yang penuh kasih. Perasaan bersalah dengan segera mengerubungi hatinya. "Kenapa?" lirih Risa balas menatap Aksa. Pria itu menggeleng pelan dengan senyuman tipis di wajahnya yang jelas terlihat menahan kalut. "Makan dulu." ulangnya kembali mengabaikan pertanyaan perempuan itu. Risa tersenyum lemah, mengerti bahwa saat ini pria itu tidak ingin dibantah. Aksa kembali menghampirinya bersama meja kecil yang dipenuhi semangkok bubur, sup ayam, sayuran, dan segelas air mineral. "Apa ini pelayanan kelas VIP?" gurau Risa menatap hidangan yang Aksa bawakan untuknya. "Ini kelas ekonomi." Risa mengangkat kedua alisnya spontan setelah mendengar jawaban Aksa. "Mau yang VIP?" sambungnya sedikit menyeringai. Tanpa menunggu jawaban dari Risa, Aksa secara perlahan mengikis jarak di antara mereka dan dalam satuan waktu tertentu keduanya mejadi sangat dekat. Dari jarak yang setipis benang itu, Aksa bisa merasakan napas panas yang Risa hembuskan menerpa wajahnya. Dengan sekejap rasa ingin memaki kembali menguasainya. Senyuman geli Risa memudar tatkala ia merasakan kegelisahan dalam sentuhan yang Aksa berikan. Pria itu menghela napasnya dengan perlahan sembari menyandarkan keningnya pada Risa. "Man-" "Please, Sa." sergah Aksa menghindari tatapan Risa. Perempuan itu terlalu peka. Ia dapat menyadari perubahan emosi Aksa dengan segera, sebuah kenyataan yang lagi-lagi membuat Aksa kesal setengah mati entah kepada siapa. "Sesuatu terjadi? Apa ini ada hubungannya sama gue? Vanilla bilang apa? Manda kena-" Rentetan pertanyaan itu terhenti oleh sesuap bubur yang entah sejak kapan telah siap sedia di tangan Aksa. Risa menelan dengan susah payah karena kesal juga terkejut. "Lo mau bunuh gue apa gimana?" sungutnya ketika berhasil meloloskan bubur itu melewati tenggorokan. Tidak ada lagi percakapan setelahnya. Aksa menjadi pasif sedang Risa memilih bisu. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Kemarin, pas ketemu Miko gue beneran baik-baik aja. Serius." buka Risa setelah menghabiskan makanan di meja kecil itu. Ditatapnya Aksa dengan tegas, mencoba meyakinkan bahwa semua ini bukan salah pria itu. Aksa mendesah frustrasi dan memindahkan meja kecil yang menghalangi dirinya dari Risa ke bawah sofa.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN