Silver Top

1018 Kata
Menggoda Rio telah menjadi aktivitas rutin bagi Aksa, sejak mengetahui bahwa adik iparnya itu kesulitan menghadapi sang istri, Aksa memutuskan untuk membantu Rio walaupun bantuan yang ia berikan sering disalahpahami sebagai keusilan semata. Senyum lebar yang ia pamerkan ketika menjahili Rio menghilang begitu pintu besi itu tertutup. Perasaannya kembali hampa dan pikirannya kembali dipenuhi dengan antisipasi. Aksa menatap layar ponselnya, membaca kembali riwayat chat semalam yang terinterupsi oleh panggilan Risa. Mau makan siang bareng? Sekalian bahas Laberinto. Sudut bibirnya tertarik ke belakang, dengan gerakan cepat jari-jari Aksa mengetikkan pesan balasan dan menonaktifkan ponsel setelahnya. “Mas? Mas Aksa!” panggil seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dari pintu ruang kerja Rio. Aksa menghela napasnya dengan berat sebelum akhirnya berbalik menghadap pemilik suara yang tiba-tiba mengusik perasaannya. Perempuan itu tersenyum senang melihat Aksa, tangannya menggantung di udara ketika niat memeluk Aksa terhenti oleh suara lirih pria berambut perak sebahu tersebut. “Berhenti di sana.” Keduanya berpandangan, tatapan benci yang Aksa pancarkan tidak membuat perempuan di hadapannya gentar. Dengan gerakan canggung, perempuan itu menarik kembali tangannya. “Bukannya sudah kukatakan ratusan kali? Kau sudah mati bagiku, begitu juga sebaliknya. Apakah manusia saling bertukar sapa dengan orang yang sudah mati?” sarkasnya tidak memberi celah bagi perempuan berjas hitam itu untuk berharap. “Kanaya D Hapsari, sudah mati. Aku tidak bisa melihat dan berbicara dengannya. Paham?” tegasnya yang dibalas anggukan pelan. “Naya bawa makan siang untuk Rio, mau makan bareng?” tawar perempuan bersurai legam itu memulai percakapan baru. “Mas bisa abai sama Naya, dan Naya akan terus mengusik hidup mas, bukankah seperti itu cara mainnya?” gumam Naya ketika Aksa kembali melangkah dan mengacuhkan ajakan makan siangnya. “Lari sejauh apapun, tidak akan membuat kita terpisah. Fakta bahwa dalam tubuh kita mengalir darah yang sama... tidak akan berubah walaupun mas sangat benci itu!” teriak Naya yang tidak juga mendapat respon dari Aksa. Pria itu menghilang di balik lift tanpa menoleh sekali pun padanya. “Silver Top.” titah Aksa kepada sopir yang sudah menunggu di lobi. Mengemudi setelah bertemu dengan Kanaya tidak baik baginya. Mobil putih itu segera melaju membelah kota di tengah teriknya matahari setelah Aksa mengatakan tempat tujuannya. Beberapa pasang mata secara terang-terang menatapnya takjub sedang sisanya berpura-pura tidak tertarik meski setengah mati penasaran saat ia memasuki sebuah cafe di kawasan Condongcatur. Penampilan yang mencolok itu jelas menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Seorang pria berambut perak sebahu dengan kulit seputih s**u dan terlihat licin serta proporsi wajah yang cantik dan tampan bersamaan, siapa yang tidak menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya? “Mau pesan apa, mbak, eh mas, eh... kak?” tanya seorang pelayan ketika Aksa mendudukkan dirinya di pojok ruangan bernuansa cozy itu. Musik yang mengalun pelan tidak mampu menyembunyikan degup jantung sang pelayan ketika berhadapan dengannya. “Americano.” Pelayan itu segera menghilang setelah mencatat pesanan sementara Aksa mulai mengeluarkan barang-barangnya dari tas ransel. Sebuah perangkat canggih yang membantunya untuk menyalurkan ide, alat perekam, pengisi daya dan buku catatan kecil. Sementara menunggu orang yang mengajaknya makan siang bersama, Aksa menyibukkan diri dengan melanjutkan naskah barunya. Setengah jam beralalu, dan Aksa telah menghabiskan dua gelas kopi sedang tamunya belum juga datang. “Permisi kak, kakak cantik banget. Boleh minta foto bareng?” sapa seorang remaja yang Aksa tebak berusia delapan belas tahun itu dengan ragu. “Tidak.” jawabnya tegas dan terkesan kasar. Perempuan remaja itu terlihat kaget dan tidak tahu harus berbuat apa karena merasa Aksa tersinggung dengan ucapannya. “Saya tidak suka berfoto dengan orang asing karena saya bukan artis. Permisi?” usirnya dengan halus. “Maksud saya kakak keliatan ganteng dan cantik. Saya pengen-” “Saya tidak perduli seperti apa wajah saya. Ok? Sepertinya tempat ini tidak memberi jaminan privasi.” Aksa bersiap untuk mengemasi barangnya. Ia mulai kesal. Gerakannya terhenti saat isakan kecil lolos dari bibir si remaja yang masih berdiri dengan canggung di sisi meja. “Kenapa menangis? Hey. Saya tidak marah. Berhenti menangis!” cecarnya dengan panik. Bukannya berhenti, remaja itu justru meloloskan rengekan yang lebih keras sehingga mereka menjadi pusat perhatian. “Terima kasih, kak.” ucap si remaja setelah berhasil mendapatkan traktiran besar dari Aksa. Daripada mengabulkan permintaan berfoto, Aksa lebih memilih mengeluarkan uangnya. Aksa menghembuskan napas dengan pelan sembari menatap jam pada layar ponselnya. Sudah tiga jam. Aksi beres-beresnya kembali terjeda ketika melihat seorang pria yang berdiri kebingungan di depan pintu masuk, tampak seperti sedang mencari seseorang. Dengan segera Aksa mengembalikan peralatannya ke tempat semula dan berlakon sedang sibuk dengan apa saja yang ada di dalam layarnya. “Amanda?” sapa suara yang tidak asing itu berdiri tepat di hadapannya. “Mau sampai kapan berdiri di situ?” jawabnya dengan sarkas setelah mengabaikan pria tersebut selama lima menit. Dengan canggung, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Miko, sutradara yang akan menggarap naskahnya menjadi film layar lebar. Pembicaraan mereka berlangsung alot dan panas karena Aksa berulang kali menyulut emosi Miko. “Lo sendiri yang bilang gak peduli gue bakal datang atau nggak, sekarang lo ngungkit masalah gue telat? Jangan kayak cewek deh, lo!” bentak Miko yang seketika membuatnya kehilangan fokus. Kalimat yang diucapkan pria itu seolah menancap ke hatinya dan mengoyak sesuatu yang sudah membusuk sejak awal. Tanpa sadar wajahnya menjadi keras dan merah, meredam amarah dan ketegangan yang mengusai pikirannya. Miko juga tampak menyesal telah mengatakan hal tersebut kepada Aksa. Mereka terdiam cukup lama hingga akhirnya panggilan dari kontak bernama Bunny memecah hening. “Sorry. Gue-” kalimat itu tidak selesai didengarkan Aksa karena ia buru-buru mengemas barang dan menilnggalkan Miko yang masih diliputi rasa bersalah. “Lo udah telepon Jhoan?” tanya Aksa kepada lawan bicaranya di telepon sembari memasukkan tas ransel ke dalam mobil. “Biar saya yang bawa, pak.” imbuhnya pada sang sopir. Setelah memastikan Pak Kadir duduk di jok penumpang, Aksa kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan yang cukup membuat sang sopir merapal doa meminta keselamatan. Tergambar jelas di wajahnya bahwa saat ini ia sedang panik. Setiap mendapati lampu merah, kalimat umpatan tidak absen dari mulutnya. Lo harus bayar mahal, Miko. ——— *Husbu :  sebutan khusus untuk tokoh pria anime yang dicintai perempuan otaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN