Telepon Kembali Sesak

1520 Kata
Dalam 24 jam sehari, ada begitu banyak kegiatan yang bisa Risa lakukan untuk menguras tenaga sampai habis dan terkapar di ranjang setelahnya. Mencuci baju, merapikan rumah, berolahraga, bahkan mengoreksi naskah yang menumpuk biasanya ampuh untuk menghadirkan efek lelah pada Risa, kecuali hari ini. Usai pertemuannya dengan Miko sore tadi, Risa kembali ke rumah dengan susah payah. Tubuhnya luar bisa lelah tetapi pikiran dan hati kompak berkhianat. Bayangan sorot terluka yang memancar dari manik kelam Miko belum juga memudar dari ingatannya. Risa melangkah gontai menuju dapur untuk meraih sebotoh air mineral di dalam kulkas. Mendinginkan diri adalah tujuannya saat ini. Bagaimana bisa kau baik-baik saja dan melimpahkan semua penderitaan itu padaku? Risa menghentakkan botol minumnya di atas meja ketika suara lirih itu kembali terngiang dan membuatnya tersedak. Dadanya terasa perih oleh desakkan udara yang tiba-tiba menggumpal di kerongkongan. Tangannya bergetar ketika meraih benda pipih dari saku kanan jaket yang ia kenakan. Kontak bernama Vanilla akhirnya menjawab panggilan itu pada deringan ketiga. "Ya, Sa. Ada apa?" sambut suara menenangkan di seberang sana. Risa membuka mulutnya tanpa mampu berbicara. Kepalanya seperti berputar dan dadanya sangat sesak. Risa jatuh terduduk di lantai. "Sa? Kau baik-baik saja?" Risa menepuk dadanya dengan keras lalu keluar sedikit rintihan dari celah bibir pucatnya. "Tidak." jawab Risa sebelum air mata membanjiri wajah pasinya tanpa bisa dicegah. Risa menangis tersedu untuk alasan yang tidak bisa ia pahami. "Aku minta maaf karena membuatmu datang selarut ini." ujar Risa merasa sungkan. Setelah menutup teleponnya tadi, Vanilla bergegas menghampiri Risa yang tinggal tidak jauh dari kediamannya. "Aku rasa kau harus berdamai dengan masalah ini sebelum bertambah parah. Kesempatan itu sekarang, Sa." Risa menggeleng pelan. Genggaman di tangannya mengerat. "Aku bahkan tidak tau kenapa seperti ini, Vanilla. Apa aku kembali ke awal? Apa aku mengacaukan semuanya?" cecarnya khawatir. Vanilla mengusap tangan Risa yang berada dalam genggamannya dengan pelan kemudian tersenyum hangat. "Semua baik-baik saja. Kita bisa bicarakan ini besok. Istirahat dan jangan memikirkan apapun. Aku akan berjaga di sini." ujar Vanilla mengusap punggung Risa pelan. "Aku berusaha melupakannya, atau mungkin aku memang sudah lupa sebelum akhirnya bertemu lagi dengan orang itu. Dia mengacaukan semuanya. Van, aku tidak ingin kembali ke awal. Aku ingin terus maju. Aku-" "Risa, hey. Dengarkan aku." Vanilla berusaha menenangkan Risa yang kehilangan kendali. Perempuan itu seperti terhisap pusaran kekalutannya sendiri. "Kau baik-baik saja. Jangan panik. Semua bisa membaik secara perlahan. Ok? Aku akan memanggil Aksa jika kau mau." "Tidak perlu. Aku tidak ingin ini mempengaruhi pekerjaannya. Aku baik-baik saja." cegah Risa mencoba menghentikan gerakan Vanilla yang akan mengambil handphone dari saku jaket. Vanilla kembali tersenyum. "Sekarang kau jauh lebih baik. Teruslah berfikir logis. Tidak semuanya harus diselesaikan dengan perasaan." ujarnya menuntun Risa agar ke kamar untuk beristirahat. "Kau akan menginap, kan?" Vanilla mengangguk pelan dan berbaring di sisi ranjang Risa yang kosong. Risa tersenyum samar merekam tiap gerak Vanilla. Usia mereka hanya terpaut dua tahun tapi Vanilla terkesan lebih dewasa dan mengayomi. Seperti seorang kakak yang tidak pernah ia miliki. Malam membelah sunyi, detak jarum jam menjadi satu-satunya yang menyumbangkan bunyi dalam keheningan. Risa kembali menghela napas dengan gusar sedang Vanilla sudah terlelap tiga jam yang lalu. Dengan gerakan perlahan, Risa beranjak dari ranjang dan menyelinap keluar dari kamarnya. Ia mencoba agar langkahnya seringan kapas, terlalu berhati-hati agar Vanilla tidak terganggu. Kediaman yang telah Risa huni selama 4 tahun itu merupakan apartement studio seluas 62m² dekat pusat kota, dari balkon Risa bisa menikmati pemandangan khas Jogja dengan leluasa. Hilir mudiknya tidak menyesakkan walau macet juga ikut meramaikan. Angin malam yang lebih tajam mulai menusuk kulit ketika Risa berdiri lebih lama untuk menatap langit. Tangannya saling merengkuh, rasa sesak kembali menyerangnya. "Belum tidur?" Risa menarik sudut bibirnya mendengar suara di seberang sana menyapa. Terlanjur cepat seolah sedang menantinya untuk memberi kabar. "Penasaran dengan hasilnya?" goda Risa membayangkan ekspresi gemas di seberang. "Bagaimana bisa itu disebut penasaran? Lo yang nelpon gue lebih dulu." sangkalnya membuat Risa terkekeh. "Gagal. Orang tuanya memberi reaksi yang bagus tapi itu tidak alami." Manda mengangkat kedua alisnya terkejut mendengar laporan Risa. Tangannya yang memegang secangkir cokelat panas menggantung di udara. "Lo.. gimana?" tanyanya berhati-hati. "Aman. Mereka ternyata gak kaget karena udah terbiasa menghadapi drama. Kenapa lo gak bilang kalo orang tua Miko itu veterannya dapur rekaman?" "Lo gak bisa ngaca apa emang udah lupa diri? Yang temen sekolahan dia kan lo. Kenapa protes ke gue?" Risa mengerucutkan bibirnya mendengar pembelaan diri Manda. "Di sana lagi ada Vanilla?" Risa menoleh ke dalam, sedikit takjub dengan insting yang dimiliki Manda. "Ngapain?" imbuhnya yang belum juga Risa jawab. "Girl's time." Manda berdecak kesal mendengar jawaban Risa. "Kenapa gue gak diajak? Lo selingkuh sama Vanilla, ya?" rajuknya yang dihadiahi tawa ranyah Risa. "Gila, lo." umpat Risa masih menyisakan tawanya. "Tapi gue salut sama kekuatan insting lo soal Vanilla. Dia cuma mampir terus kita ngobrol. Karena udah kemaleman jadinya gue tawarin nginep." jelas Risa sembari masuk ke dalam dan menutup jendela pembatas balkon. Walaupun Risa tidak melihatnya, Manda tetap mengangguk. Cangkir yang tadi di genggamannya telah lama berpindah ke meja dengan isi yang masih setengah tandas. Pembicaraan mereka mengalir menjadi beberapa topik. Berbicara dengan Manda selalu berhasil membuatnya 'kembali'. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari ketika pintu kamar Risa berderit dan menampilkan Vanilla yang masih setengah sadar bersama aura mempesonanya. "Nih anaknya bangun. Gara-gara lo." tuduh Risa kemudian menyodorkan handphonenya kepada Vanilla. "Kenapa belum tidur?" sapa Vanilla dengan suara seraknya. Risa melangkah ke dapur dan menyiapkan dua gelas teh. "Ciwi-ciwiku juga belum tidur." sanggah Manda setengah mengantuk. Suara Vanilla yang sejuk membuatnya selalu mengantuk. "Risa, baik-baik aja?" Vanilla menatap Risa yang menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa ia tidak boleh mengatakan apapun soal kejadian sore tadi. "Dia oke." tandas Vanilla mengembalikan benda pipih itu kepada empunya. "Aku berisik, ya?" Risa menatap Vanilla dengan rasa bersalah, dan dibalas gelengan kecil oleh Vanilla yang masih menyesap tehnya dalam diam. Telepon bersama Manda berakhir setelah tersadar mereka sudah bicara selama satu jam lebih. "Nggak. Belakangan aku sering kebangun jam segini." bantah Vanilla bersandar di sofa. Di sisi kirinya, Risa menatap lurus ke layar tv yang mati. "Aku baik-baik saja sekarang. Maaf membuatmu cemas tadi." gumam Risa pelan nyaris berbisik. Vanilla mengusap lengan Risa, memberi dukungan. "Tadi memang tidak baik, tapi sekarang kau jauh lebih baik. Tapi lari bukan solusi. Aku yakin logikamu juga-" "Aku harus menghadapinya. Betapa inginpun, aku tetap harus menghadapinya. Itu yang kupikir akan menyelesaikan semua ini." sela Risa ketika berhasil menebak kemana arah pembicaraan yang Vanilla inginkan. Wanita berkuncir kuda itu tersenyum puas mendengar jawaban Risa. Sejenak, Risa terlihat tidak jauh berbeda dari perempuan kebanyakan. Hanya saja, Risa sedikit unik. Menurut survey yang tersebar, perempuan lebih mengandalkan perasaannya dalam memutuskan sesuatu dan yah, Risa justru menggunakan logika untuk semua keputusannya. Bagi Risa, sesuatu yang berhubungan dengan perasaan selalu menjadi rumit dan menjengkelkan. Banyak dari masalah hidup yang ia alami bersumber dari sebuah perasaan. Meski begitu, faktanya kini Risa tengah mempelajari perasaan-perasaan yang menyebalkan tersebut. Jika ingin menjadi manusia, ia tidak hanya butuh logika, tapi juga perasaan. Itu yang dikatakan logikanya bertahun-tahun silam. "Kau akan menemuinya lagi?" Risa menoleh ke arah Vanilla dan mendapati perempuan bersurai cokelat pekat itu tengah menatapnya gamang. "Ada jalan pintas lain?" Risa menatap jenaka membuat Vanilla ikut terkekeh setelahnya. "Aku tidak yakin. Begini pun sudah sangat baik. Kau tidak perlu terluka lebih jauh." ujar Vanilla yang tiba-tiba memeluk Risa dengan ringkih. "Membayangkanmu kembali ke titik awal membuatku berpikir bodoh. Aku tau kau akan mampu, tapi aku selalu takut dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya, akulah yang butuh meyakinkan diri. Bukan kau, Risa." "Kau harus kuat karena sudah membawaku sejauh ini. Kalaupun aku kembali... kau 'kan ada di sana untukku, kan?" Risa menepuk punggung Vanilla, meyakinkannya juga diri sendiri bahwa ia siap melangkah maju. Tidak hanya berlari dan menghindar. "Kembalilah tidur, pagi ini kau pasti sibuk." Vanilla meringis teringat panjangnya agenda yang harus ia selesaikan ketika Risa mengajaknya kembali ke kamar. Langkah Risa terhenti ketika Vanilla yang berjalan di belakang memanggilnya dengan lantang. Wajahnya yang terlihat tegang membuat Risa mau tidak mau juga ikut terbawa suasana. "Aku selalu ada. Apapun hasilnya, aku ada. Melihatmu yang tersenyum, marah, sedih, dan takut saat ini adalah bukti bahwa kita akan terus bangkit berapa kalipun terjatuh kedepannya. Tidak usah cemas." tegasnya dengan susah payah. Raut cemas itu berangsur pudar ketika tawa Risa memenuhi ruang. "Kau terlalu sering bermain dengannya, sekarang kau ikut bersikap drama. Aku bukan pasien penyakit kronis. Kenapa kau harus secemas itu?" ledeknya menyadarkan Vanilla kalau kata-kata yang dilontarkan perempuan itu sedikit berlebihan. Risa merasa hatinya bergetar walaupun senyum jenaka masih bertengger guna melengkapi sandiwara. Ia ingin segala gundah itu menjadi miliknya seorang. Malam telah usai. Meski dalam keadaan terus terjaga, Risa merasa luar biasa siap menghadapi harinya, berbanding terbalik dengan Vanilla yang bangkit dengan rintihan akibat rasa remuk di seluruh tubuh walaupun ia adalah orang pertama yang jatuh terlelap ketika mendaratkan tubuh di ranjang. Melewatkan jam tidur adalah pantangan baginya. "Terima kasih sudah menjagaku semalam." sindir Risa ketika Vanilla berpamitan untuk berangkat kerja. Pertarungan ini akan dimenangkan olehku apapun yang terjadi. Jika menang maka aku akan melangkah maju dengan bangga. Kalaupun kalah, aku hanya kalah dari diriku sendiri. Tidak perlu menyesal dan segera bangkit. Menyesal hanya untuk mereka yang tidak pernah berani mencoba.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN