"Ayo, Baby. Mendekatlah." bujuk pria berseragam putih abu-abu dengan suara seraknya kepada perempuan yang masih berdiri di depan pintu. Tatapan penuh nafsunya menyalang tajam menggeledah sesuatu di balik seragam itu.
"T-tapi..." cicit si perempuan sembari memilin ujung seragamnya.
"Tidak usah takut." sela sang pria menarik perempuan berambut panjang dengan mata cokelat itu tidak sabar kemudian mendorongnya pelan berbaring di atas kasur. Keduanya bertukar tatap, sang perempuan menggeram tertahan ketika bagian sensitifnya disentuh dengan lembut oleh kecupan maut kekasihnya.
"Ko, aku-"
"Ssst. Percaya padaku. Ini tidak akan sakit. Kau pasti suka." Setelahnya tidak lagi terdengar bantahan dari perempuan itu karena tenggelam dalam rayuan prianya. Malam menjadi panjang disertai rintihan dan erangan keduanya.
14 hari kemudian...
“Risa...” lirih Miko hampir tidak percaya bahwa perempuan yang berdiri di hadapannya saat ini dengan seragam putih abu-abu super kusut adalah seseorang yang selalu hadir dalam mimpinya.
“Miko, siapa-”
“Aku hamil, Ko.” sela Risa dengan sedikit tergugu memotong ucapan dua manusia paruh baya yang sedang berdiri di sisi Miko. Keduanya tampak sangat terkejut dan yang terjadi kemudian adalah pekikan minta ampun dari Miko disertai penghakiman searah oleh kedua orang tuanya.
Ibu kota, tidak melahirkan kota-kota tapi disebut ibu. Risa Irasari, melahirkan banyak tanda tanya dan disebut b******n oleh pemuda yang duduk di hadapannya dengan penampilan bonyok akibat bogem mentah sang ayah di sisi kiri. Rambutnya hampir botak setengah ulah tangan lentik ibundanya di sisi kanan sedang tubuhnya terbelit sabuk pinggang dengan erat. Suasana pertemuan empat orang dua generasi sore itu di sebuah cafe bandara terlihat hangat meski tidak banyak suara yang terdengar. Keributan yang berhasil dilerai petugas beberapa menit yang lalu nyatanya masih menyisakan api.
"Jadi, kamu hamil Miko punya anak?" buka perempuan paruh baya di hadapan Risa setelah menyesap tehnya dengan tenang. Logat khas timur berpadu kontras dengan wajah jawanya. Risa terdiam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka mulutnya kalau saja Miko tidak mengumpat dan memakinya, lagi.
"Miko Sujaya! Kau tidak Papa ajar jadi mulut sampah, e!" Pria paruh baya itu kembali geram.
"Jawab saja, nak Risa. Tidak usah takut sama Miko. Kalau dia pukul, nanti tante ikat lagi dia." bujuk perempuan tersebut dan dibalas oleh gelengan kecil dari Risa. Ia memilin ujung seragam dengan gelisah. Risa mengangkat wajah, menatap satu persatu tiga orang di hadapannya dengan kalut. Matanya mulai berkaca-kaca, siap meluncurkan air mata.
"Be-begini... kejadiannya dua minggu yang lalu. Waktu itu..." cicitnya ragu ketika akan bercerita.
"Ssst. Percaya padaku. Ini tidak akan sakit. Kau pasti suka." Setelahnya tidak lagi terdengar bantahan dari sang gadis karena tenggelam dalam rayuan prianya. Malam menjadi panjang disertai rintihan dan erangan keduanya.
"Serius, rasanya mau muntah." umpat Risa ketika selesai membaca naskah di tangannya. Badannya meringsut di sofa sembari bergumam tidak jelas.
"Masih belum baikan? Mau gue belikan obat kuat?" Risa memicingkan mata kepada manusia berpiyama merah dengan rambut perak sebahu yang dengan santai duduk dan memangku kakinya.
"Beneran deh, Manda. Gue gak kuat bacanya. Cerita lo makin kesini makin mirip film mantap-mantap dibanding romance thriller. Apalagi tokohnya-"
"Please ya, Risa Irasari. Jatmiko is not Miko yang lo kenal. Kenapa lo segitunya, sih? Miko di dunia ini gak hanya dia." seloroh Manda sengit. Walaupun mulutnya sibuk mendebat Risa, tangannya tetap aktif bergerak memijat kaki perempuan itu.
"Gak bisa, Amanda! Gue gak bisa cuci otak gue yang seuprit ini kayak lo cuci otak penonton." sungutnya menarik kaki dari jangkauan Manda. Perempuan itu berjalan ke meja di ruang makan dan meneguk air dengan rakus. Manda menghembuskan napasnya kasar. Risa terlalu banyak menghindar akhir-akhir ini, pikirnya.
"Lama-lama lo jadi pembangkang ya, Sa." sindir Manda berlagak tidak paham jika saat ini Risa melotot padanya. Ia menyibukkan diri membolak balik halaman naskah yang baru saja dibaca Risa.
"Oh, mulai ngungkit-ngungkit nih ceritanya?" Risa mendekat sambil berkacak pinggang. Manda tergugu dan mengalihkan pandangannya ke segala arah.
"Udah malem. Lo pulang sana." sergahnya ketika Risa akan membuka mulut guna memperdebatkan 'ketaatan' yang dicelanya tadi. Risa menatap jam tangan yang bertengger manis di pergelangan kirinya sembari mengernyitkan dahi.
"Kok kamu gak bilang udah jam segini?" protes Risa kembali mendudukkan dirinya di sofa. Manda memicingkan mata pertanda curiga. Perempuan itu pasti berencana akan menginap, terbukti dari bahasanya yang berubah halus dan lagi, bukannya segera berlari pulang Risa justru terlihat nyaman bersandar di sisi sofa.
“Ini artinya lo bersedia, kan?” Risa mengangkat bahunya acuh, jawabannya sudah pasti iya. Manda berseru senang sembari bangkit dari sofa untuk menyiapkan kamar agar Risa bisa menginap dengan tenang di rumahnya malam ini.
“Orang tuanya aman? Ini bisa jadi pembunuhan kalau sampe orang tua Miko kena serangan jantung gara-gara praktek lapangan lo yang super penting ini.” Manda berdecak kesal ketika Risa terus menanyakan hal yang sama sejak lima hari yang lalu. Perempuan bermata cokelat dengan wajah kaukasianya yang khas itu pun ikut berdecak kesal karena reaksi Manda yang juga sama seperti lima hari silam.
“Aman~. Sudah teruji klinis dan gak mungkin gue membahayakan target. Pokoknya lo tinggal datang di momen yang pas ketika Miko sedang bersama orang tuanya, mengaku hamil, rekam baik-baik semua responnya dan taraaa! Tugas lo beres.” Penjelasan Manda sama sekali tidak membuat Risa lega. Ini kali kesekian ia mendengarnya.
“Bukan-” protesnya terpotong ketika Manda menempelkan jari telunjuknya ke bibir Risa.
“Apapun jenis masa lalu lo dengan Miko, gue gak akan bermain dengan nyawa orang. Paham?” tegas Manda dengan serius mencoba meyakinkan Risa bahwa ia bukan dibayar untuk membunuh dua orang paruh baya dengan alasan konyol seperti praktek lapangan yang ia inginkan. Risa menganggukkan kepalanya pelan. Manda tersenyum simpul kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya merapikan kamar tamu untuk Risa.
“Princess sudah bisa istirahat sekarang. Mau abang temani?” godanya mempersilahkan Risa menempati kamar tamu. Risa menepuk bahunya pelan dan mengunci pintu segera setelah memasuki kamar, meninggalkan Manda yang terkekeh di balik pintu.
Penjelasan panjang lebar Risa tentang apa yang sebenarnya ia lakukan, kenapa menargetkan orang tua Miko yang notabenenya adalah kawan lama, dan resiko yang sudah siap ia tanggung jika sesuatu terjadi di luar dugaan membuat kedua orang tua Miko berangkat ke Sulawesi dengan tenang. Mereka bahkan tertawa tatkala Risa berkata bahwa ia sangat khawatir jika orang tua Miko terkena serangan jantung.
Ibunda Miko menyangkal dengan mengatakan bahwa mereka sudah lama berkecimpung dalam dapur rekaman, kejadian-kejadian yang seperti sinetron tidak lagi mengejutkan bagi mereka. Adapun aksi jambak dan bogem gratis yang mereka lakoni semata-mata untuk melampiaskan kekesalan karena Miko belum juga membawa kekasih untuk dinikahi sedang usia keduanya semakin uzur.
1 jam berlalu tanpa suara sejak orang tua Miko meninggalkan bandara dan menyisakan mereka berdua yang masih betah berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Risa tersenyum lega setelah menyusun laporannya. Keramaian bandara yang riuh oleh tawa bahagia mereka yang kembali berjumpa atau sesegukan tangis perpisahan itu seolah hening di sekitar keduanya.
Hari dimana bertemu dengan Miko tidak bisa dihindari adalah sesuatu yang tidak Risa harapkan terjadi dalam hidupnya. Tapi nyatanya takdir mereka tidak berhenti bersinggungan begitu saja. Mereka masih harus berbagi potongan kisah walau rasa benci dan tidak nyaman masih bersarang lebat di hati.
Masa lalu mereka terlalu buruk untuk dikenang. Bersama hanya akan melukai keduanya tapi tidak cukup untuk mendorong baik Miko atau Risa agar segera berpisah. Setelah tujuh tahun berlalu, mengamati perubahan diri masing-masing menjadi rasa penasaran yang ingin dipuaskan. Itulah alasan yang mereka yakini sebagai penyebab mengapa meski telah berlalu beberapa cangkir teh dan kopi, mereka masih bertahan di tempat yang sama.
Bagi Miko, Risa tidak banyak berubah. Kebiasaanya berbicara dingin dan kasar masih bisa dijumpai meski sekarang lebih banyak ekspresi yang wanita itu berikan. Miko harusnya puas hanya dengan melihat perubahan kecil itu, tapi sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa cukup.
"Jangan bersikap seolah kau nyaman bersamaku, bukankah kita adalah orang asing?" Miko menatap lurus manik cokelat Risa. Rahangnya mengerat dan udara terasa menipis. Risa menatap sekeliling mereka, seolah tidak mendengar apa yang Miko katakan sebelumnya.
"Kurasa kaulah yang berbohong. Berhenti merengek seperti bocah. Aku bahkan belum memulai apapun." gumam Risa menandaskan cangkir tehnya dengan nikmat. Walaupun matanya terpejam, Risa bisa merasakan bahwa Miko luar biasa marah saat ini.
"Bagaimana bisa kau tersenyum lebar seperti itu?" Miko menatap lamat, lurus dan tajam ke manik Risa yang bulat bening nan menyesatkan. "Sepertinya kau sedih." pungkasnya diakhiri senyuman miring. Mencemooh.
"Karena kau pernah sepertiku?”
"Sama sekali tidak. Kenapa harus?"
“Aku baik-baik saja. Tidak. Sebenarnya aku masih sangat membencimu yang membiarkanku pergi begitu saja." Risa meremas cangkirnya setelah mengatakan kalimat yang sudah lama ia telan bulat-bulat. “Itu yang ingin kau dengar atau kau katakan?” imbuhnya menikmati keterkejutan Miko.
“Apa yang kau bicarakan? Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan mudah setelah melibatkanku dalam masalah konyolmu ini.” Dengan cepat Miko menyamarkan ekspresinya dan bertingkah seolah dirinya baik-baik saja.
“Lalu?”
“Berikan aku identitas dan nomer teleponmu. Kau harus bertanggung jawab atas luka yang kualami.” tegasnya yang disetujui dengan mudah oleh logika Risa. Perempuan itu merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kartu nama.
“Kenapa?” Miko bergumam lirih seraya menatap kartu nama yang Risa berikan. Tatapannya jauh menerawang, mungkin ke masa lalu. “Kenapa kau baik-baik saja setelah menghancurkan hidup seseorang?”
"Pertanyaan itu... Aku juga ingin mengatakannya padamu. Bagaimana?"