Gentleman

1290 Kata
Mereka keluar dari kelas berombongan dengan anak-anak lain, tapi kemudian Aren menyempal di ujung koridor. “Ntar aku nyusul ke kantin,” kata anak itu pelan. Nada mengangguk. Ia lalu berlarian menyusul Karin dan Ratri, yang pastinya juga akan berlabuh ke tempat yang sama. “Aren mau ke mana?” Ia menoleh. Seketika tak jadi lari. Ada Nathan menjajarinya. “Dipanggil Bu Siwi, persiapan lomba debat berikutnya.” “Ini mau ke kantin, kan?” Nada mengangguk. “Mau ini?” Nada mendelik ketika sebentuk benda batangan dalam pembungkus kertas merah gelap yang berdesain sangat elegan menutupi hampir seluruh pandangan matanya. “Apa ini?” “Cokelat lah. Masa kayak gitu namanya kemiri?” “Buatku?” “Iya.” Nada menerimanya dengan ragu. Pasalnya, bentuk dan merek cokelat itu tak biasa terlihat di sekitar Solo, atau bahkan Jawa Tengah sekalipun. Serupa dengan merek-merek minuman yang kemarin ia cicipi di rumah Nathan. “Dalam rangka apa ini? Kamu ultah?” Nathan menggeleng. “Nggak sih. Ya cuman pengin ngasih kamu aja.” Alis Nada berkerut. “Mencurigakan...” Nathan ketawa. “Mencurigakan gimana?” “Iya lah. Ada rekues bantuan soal dunia gaib lagi? Soalnya kalau iya, kamu nggak perlu bayar pakai cokelat atau apa pun. Aku nggak ngobyek ini. Setidaknya belum. Jadi ya masih mau bantuin gratisan.” “Bukan soal itu kok.” “Lantas?” Nathan menarik napas panjang, seperti sengaja menyempatkan diri untuk itu. “Well, karena aku terbiasa ngomongin ginian sama cewek, maka aku nggak akan grogi atau canggung lagi menyampaikannya padamu. Intinya, aku suka sama kamu, Nada. Aku mau kamu jadi pacarku. Mau tidak?” Nada melongo. Lebih karena cara Nathan mengucapkannya sangat lugas dan seperti sudah sangat terlatih, bukan karena semata kontennya. “Apa?” “Mau diulangi? Aku suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?” Langkah Nada terhenti, membuat anak-anak di belakangnya membelok mendadak dan berteriak protes. “Otakmu sudah mencair apa bagaimana, nembak cewek dengan cara begini, di tempat seperti ini?” “Loh, apa salahnya? Yang penting kan aku udah gentleman, ngomongin langsung di depan cewek yang aku suka. Daripada beraninya cuman lewat WA, atau DM di Twitter? Itu mah cuman buat cowok pecundang yang penakut.” Mata Nada menyipit memandangi Nathan. “Sudah kuduga yang kemarin itu memang kamu. Nggak aneh kamu bisa bikin anak kelas X mengkeret ketakutan seperti itu!” Nathan melongo. “Yang kemarin? Anak kelas X? Siapa?” “Itu, si Susanti. Dia kemarin bawain titipanmu ke aku. Jangan pura-pura nggak inget!” “Titipan apa? Aku nggak paham.” “Kertas berisi tulisan penembakan, lalu ada dua kotak opsi ‘yes’ sama ‘no’, dan aku harus ngasih tanda centang di salah satunya. Dan kubilang sama Susanti, bilang sama yang nyuruh dia agar jadi cowok gentleman yang berani ngomong langsung di depan cewek. Nggak cuman dari jauh lewat tulisan!” “Soal gentleman memang iya. Itu prinsipku sejak dulu. Aku nggak pernah pakai alat pas nembak cewek. Pasti langsung, face to face. Tapi soal si Santi siapalah itu, aku nggak tahu. Beneran. Suer. Sumpah!” “Kalau bukan kamu lantas siapa?” “Halah, palingan si anak baru yang sok gegayaan itu!” “Radit?” “Iya lah. Siapa lagi? Aku tahu dia juga suka sama kamu. Makanya aku nembak duluan sebelum kalah cepat dari dia.” “Heh! Cinta itu bukan siapa cepat dia dapat! Memangnya ini nomer antrean di teller bank!? Cinta itu soal kecocokan, dan chemistry sesudah saling mengenal baik dan tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari situ kamu bisa memilih untuk bersama dengan seseorang yang bersamanya, kamu bisa membangun sesuatu yang besar, bukan cuman soal cinta-cintaannya doang! Mudeng?” Nathan mendelik. “Buset! Sejak kapan kamu jadi psikolog?” “Sejak aku jadi indigo bersertifikat. Makanya aku nggak lantas gampang mellow cuman karena dideketi mantan kapten tim basket sekolah yang juga cowok terganteng di sekolah! Dan apa kamu nggak mikir kalau perbuatanmu ini akan mencelakakanku? Ntar fans beratmu para cewek ekskul cheerleaders bakalan nge-bully aku habis-habisan.” Nathan melongo lagi. “Cewek cheerleaders apaan? Di sini kan nggak ada ekskul cheerleaders! Kamu terlalu banyak baca novel teenlit!” Nada termangu. “O, iya...” Nathan tertawa keras. “Nah, itu salah satu yang bikin aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Kepolosanmu mengalihkan duniaku.” “Nggak usah sok puitis kayak Om Gading!” Nathan mendelik seketika. “Apa? Dia juga ngegodain kamu?” Nada gelagapan dan pura-pura batuk. “Eh, oh... bukan! Maksudku, dia sok puitis pas ngegombalin mamaku. Kapan itu aku pernah nyuri baca WA Mama.” “Oh, kirain... Yah, intinya, aku udah menjalankan tugasku sebagai cowok. Tinggal tugasmu ngasih jawaban. Kamu bisa berpikir dalam dua-tiga hari ini.” Nada mendengus. “Nggak usah mikir juga jawabannya udah ada.” Nathan lekat memandangi Nada, antara cemas dan excited. “Okeee... dan lantas, jawabannya adalah...?” “Jelas bukan ‘yes’, tapi ‘no’ juga bukan. Karena indigo, aku jadi agak aneh. Dan salah satu keanehanku untuk saat ini adalah sama sekali nggak tertarik untuk jadi pacar orang!” Nathan garuk-garuk kepala. “Kok gitu? Biasanya pasti ‘yes’. Nggak ada yang bilang ‘no’. Ini baru yang pertama.” “Well, selamat berkenalan dengan teman barumu yang bernama realita, Anak Muda!” Nada lalu mendelik galak. “Dan cokelatnya enggak bisa ditarik balik, asal kamu tahu!” Nathan mengangguk dan menelan ludah. “Eh, ya... tentu saja. Kan aku udah ngasih ke kamu.” Padahal intonasi ketidakrelaan jelas terasa di sana. “Bagus. Itu baru gentleman namanya. Dan jangan ikut ke kantin! Aku mau menginterogasi Radit.” “Tapi...” “What? Warung di sini kan nggak cuman satu. Kreatif dikit dong!” Nada berlalu meninggalkan Nathan. Begitu tiba di kantin, fokus perhatiannya adalah pada anak-anak sekelasnya. Ia menemukan Haris and the gank di salah satu meja kantin, rame-rame makan soto dan bakso dan cilok. Radit tentu ada di sana. Kebetulan masih ada sisa tempat di sebelah Haris, tepat di depan Radit. “Mau ini?” ia duduk dan menaruh cokelat di meja. Seketika keributan terjadi. Batangan cokelat segera berpindah tangan. Dan jika bukan karena kebijaksanaan sang ketua kelas, Nada pasti sudah tak kebagian. Anak-anak perempuan di sisi sebelah sana menjerit-jerit karena hanya mendapatkan kertas pembungkus. “Dapet cokelat dari mana?” tanya Radit sambil sibuk mengunyah, cilok dan cokelat bersamaan, curiga. “Ada temen yang minta bantuan soal perhantuan, dan dia bayar pake itu tadi.” “Nathan ya? Soalnya aku dengar kemarin kamu sama Aren ke rumah dia untuk mengerjakan semacam paranormal investigation. Dan itu tadi cokelat mahal, yang cuman bisa dibeli anak orkay kayak dia.” “Betewe, kamu dapat salam dari Susanti.” Radit mengangkat wajahnya menatap Nada. “Susanti? Temennya Upin sama Ipin?” “Bukan. Susanti anak kelas X, tapi aku nggak tahu kelasnya yang mana.” “Kelas X-2,” celetuk Nurman. “Aku kenal dia karena ibunya kerja sebagai penjahit kebaya. Mamaku sering jahitin di sana.” “Nah, iya. Susanti anak kelas X-2,” sahut Nada. “So? Memangnya dia kenapa titip salam ke aku?” tanya Radit. “I don’t know. Mungkin karena kamu baru aja nitipin sesuatu ke dia, untuk dikasih ke aku.” Dahi Radit berkerut. “Kamu cantik tapi suka agak geser. Ngomongin apa kamu ini? Susanti yang mana, sih?” Kehebohan dari arah lain membuat mereka semua menoleh. Nada yang masih belum tersambung sepenuhnya ke dunia sekeliling memandang dengan mata nanar saat Windy, anak kelas sebelah yang teman satu sekolah pas SMP dulu, melambaikan tangan dengan kacau ke arahnya. Wajah anak itu pucat. “Nad! Nada! Aren jatuh. Kejang-kejang!” Nada mendelik. “Apa!?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN