Bowo

1438 Kata
Nada, Radit, dan Haris menoleh bersamaan ketika pintu ruangan dalam UGD Rumah Sakit dr. Moewardi terbuka dan Bapak serta Ibu Irfan muncul dari sana dengan raut wajah serius. Anak-anak bangkit berdiri, tepat ketika kedua orangtua Aren itu tiba di tempat mereka semua tadi duduk menunggu dengan tegang. Yang juga ikut bergegas mendekat adalah Bu Siwi dan Pak Rudy. Tadi mereka ikut ke sini dengan mobil sekolah untuk mengantar Aren. “Bagaimana kondisi Aren, Pak Irfan?” tanya Bu Siwi. “Masih belum sadarkan diri, tapi udah stabil,” jawab Pak Irfan. “Ini sudah mau dibawa ke kamar inap biasa.” “Trus apa kata dokter soal Aren yang tadi kejang?” tanya Pak Rudy. “Masih diobservasi, tapi mungkin cuman demam. Dulu pas kecil, Aren sering demam tinggi sampai step. Mungkin serangan kayak begitu terjadi lagi tadi pas dia di sekolah.” “Memang tadi Aren terlihat agak kurang sehat pas menemui saya,” kata Bu Siwi. “Wajahnya agak pucat.” Dan Nada memang membenarkan itu. Meski masih tetap ceria seperti biasa, seharian ini tadi Aren jauh lebih pendiam daripada biasanya. “Yah, yang penting tidak ada penyakit gawat dan dia bisa segera sembuh lagi,” kata Pak Rudy. “Amin, amin...” Pak Irfan mengangguk-angguk dengan wajah penuh harap. Setelah kedua guru itu berdiskusi sebentar, mereka kemudian bertolak dari situ. Pak Rudy sempat bertukar nomor telepon dengan Pak Irfan, dan berjanji akan terus mengawasi perkembangan kondisi Aren. Karena peristiwa kolapsnya Aren tadi terjadi di sekolah, maka perawatannya ikut menjadi tanggung jawab sekolah juga. Kata Pak Rudy, para guru mungkin akan menjenguk Aren magrib nanti pada jam bezuk reguler untuk umum. Mereka semua pun kemudian minta diri, kecuali Nada yang ditahan Pak Irfan sebentar. Anak itu kembali ke tempat semula, seraya menyampaikan pada Bu Siwi bahwa ia akan menyusul secepatnya. “Ada apa, Pak?” tanyanya kemudian, saat telah duduk bertiga dengan ibu Aren juga. “Aren bilang, kamu bisa melihat hal-hal yang tak terlihat oleh mata orang biasa. Dan kemarin, pas main ke rumah kami, kamu melihat sesuatu. Apa betul?” Nada mengangguk. “Betul, Pak. Sejenis lelembut yang amat jahat. Saya bilang ke Aren, itu kuntilanak pendatang, yang ke rumah Bapak dan Ibu karena terusir dari tempatnya yang lama. Lalu selama di sana, dia menyedot energi Aren sehingga dia sering sakit-sakitan. Saya ngomong begitu cuman agar nggak bikin dia kaget, karena fakta sesungguhnya bukan itu.” Pak Irfan saling tatap sesaat dengan istrinya. “Memang yang sebenarnya seperti apa?” ia bertanya was-was. “Si lelembut bilang sendiri sama saya, dia dikirim seseorang dari arah timur. Dan pengamatan saya mengarah pada satu nama yang memang ada di timur, yaitu Ibu Dita. Nama lengkapnya Bu Erdita Auliani. Bapak pasti kenal nama itu.” Pak Irfan sungguh-sungguh berjingkrak, lalu saling pandang lagi dengan istrinya. Kali ini dengan sorot mata nanar menjurus kosong. “K-kok kamu Dita?” “Yah, dari satu dan lain hal yang saya lihat secara khusus. Saya juga lihat, Bu Dita dulu pernah dekat sama Bapak, waktu SMA dan kuliah dulu.” Pria itu kembali melihat istrinya. “D-dia mantan saya. Mantan pacar, sebelum saya menikah sama ibunya Aren ini. M-memangnya, lelembut itu datang dari timur, karena yang mengirim adalah Dita, begitu maksudmu?” Nada menggeleng. “Belum pasti. Makhluk itu juga nggak mau nyebut nama pas saya tanyai siapa yang suruh dia. Cuman dia bilang, asal datangnya dari timur. Dan Bu Dita memang tinggal di arah timur, bukan?” “Ya, dia di Surabaya. Saya dan istri saya ini dulu juga orang sana.Asli kelahiran Surabaya. Tapi masa Dita sampai kepikiran untuk mengganggu keluarga saya pakai ilmu hitam seperti itu?” “Karena, dari info lain yang saya amati, Bapak sempat ninggalin Bu Dita untuk pacaran dengan orang lain. Namanya Ibu Ruth, kalau nggak salah.” “Oh, si Ruth. Yang bapaknya punya mini market itu!” Bu Irfan nyeletuk spontan. Pak Irfan membelalak. “Ruth? Saya pacaran sama dia? Waduh, enggak! Yang terjadi justru sebaliknya. Dita ninggalin saya karena dia pacaran sama Bowo yang sesama orang kaya. Makanya saya yang dari keluarga miskin sama sekali nggak dianggap. Habis itu selama setahun bahkan saya nggak bisa menghubunginya, karena memang dihalang-halangi. Telepon nggak diangkat, email nggak dibalas, pokoknya dia bener-bener nutup kontak dari saya.” “Nah, mungkin Bapak bisa menjelaskan peristiwanya dari sisi Bapak. Siapa tahu nanti ada momen di mana itu bisa dipakai untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya pada Bu Dita.” Pak Irfan menggaruk dahinya, menatap sejenak lantai rumah sakit dengan dahi penuh kerutan. “Saya dan Ruth memang akrab, karena memang kami teman segeng. Dengan Dita juga, dan beberapa teman lain. Sesudah Dita pindah ke Bandung untuk kuliah, saya jadi sering ketemu Ruth. Bukan kenapa-kenapa, karena ya teman yang ada cuman dia. Dan kalau pas teman-teman lain berhalangan, kami pun hanya keluar berdua saja. Jalan, makan, nonton. Dan pas awal tahun 2000-an itu internet kan baru saja ada. Saya dan Ruth sering pergi berdua ke warnet, cek email sama chatting-an pakai mIRC. Tapi nggak ada apa-apa sama dia. Bahkan tempat saya curhat soal ngilangnya Dita ya Ruth. Dan Ruth pun lama-lama ikut hilang kontak juga dengan Dita.” “Sudah kubilang sejak dulu, ini kayaknya ulah si Bowo itu!” Bu Irfan menyela penuh emosi. “Pak Bowo memangnya kenapa, Bu?” Nada menoleh penasaran. “Dia itu kan sudah sejak awal sirik sama bapaknya Aren ini. Dia yang miskin kok bisa pacaran sama Dita. Dan Dita cuek bebek sama Bowo meski tiap apel, dia datang naik Mercy. Saya curiga karena persis pas Dita kuliah di Bandung, Bowo tahu-tahu ikutan daftar kuliah di sana. Sementara bapaknya Aren kan nggak kuliah. Sesudah lulus SMA, dia langsung ikut kerja bantuin bapaknya jualan di pasar ikan. Bagi orang kaya seperti Bowo, mau kuliah dan bayar uang gedung yang mahalnya kayak apa juga kan enteng saja. Yang penting dia bisa ikut tinggal sekota dengan Dita dan melakukan pendekatan. Dan salah satu cara pendekatannya adalah dengan jelek-jelekin bapaknya Aren di depan Dita. Kabar suami saya pacaran dengan Ruth itu pun pasti karang-karangan Bowo juga. Makanya karena dibilang dia pacaran sama Ruth, Dita lantas marah dan menutup kontak total.” “Tapi itu kan belum terbukti,” tukas Pak Irfan. “Ya karena Bapak terlalu baik aja, selalu berprasangka baik sama orang,” Bu Irfan lalu kembali menatap Nada. “Tapi masuk akal, kan?” “Bisa jadi,” Nada menyahut hati-hati. “Tapi saya juga belum tahu karakter Pak Bowo seperti apa.” “Kalau tahu, kamu pasti mengerti. Bowo itu bener-bener contoh anak tanpa guna hanya karena lahir ceprot sudah langsung kaya. Bapaknya punya usaha travel agent. Cukup besar. Hadiah ulang tahunnya saban tahun adalah mobil, dan yang terbaru. Dan dia petentang-petenteng mendekati cewek-cewek cuman bermodal itu. Kan kemudian terbukti dia memang berengsek. Dita menceraikan dia karena sering dipukuli.” “Tapi kemudian apa Bapak sejak saat itu nggak pernah ketemu lagi dengan Bu Dita?” Nada kembali bertanya pada Pak Irfan. “Nggak pernah. Saya juga nggak diundang pas resepsi nikahnya sama Bowo. Makanya apa yang terjadi di antara kami sampai sekarang ya berhenti sebatas dugaan-dugaan saja. Dia menduga saya begini-begini, saya juga menduga dia begitu-begitu di sana bareng Bowo.” “Yang penting kita sekarang sudah sedikit lebih tahu bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya.” “Trus, peristiwa yang sekarang ini menurut kamu seperti apa? Kata Aren, makhluk halusnya sudah kamu suruh pergi. Tapi sekarang dia sakit lagi seperti ini. Dan tadi dokter sebenernya agak bingung menentukan diagnosis awal untuk penyakit Aren. Yang awalnya tadi mau saya tanyakan ke kamu adalah, apa yang ini juga gangguan lelembut lagi?” “Saya baru bisa tahu persis kalau bisa ke rumah Bapak dan Ibu lagi, atau melihat Aren sekarang ini. Kemungkinan sumber gangguan gaib cuman ada dua: di rumah tempat tinggal atau langsung pada orangnya.” “Nah, pas. Bentar lagi Aren akan dibawa ke ruang inap biasa. Kamu bisa cek dia.” Nada meraih ponsel untuk mengirim pesan ke Radit agar dirinya ditinggal saja, nanti dia akan naik ojek daring untuk kembali ke sekolah. Namun tepat saat itu seorang perawat datang dan mengabarkan pada Pak Irfan bahwa Aren sudah siap dipindah. Ketiganya seketika bangkit dan setengah berlari menuju ke pintu ruang periksa UGD yang terbuka dan Aren di pembaringan beroda didorong keluar. Alat bantu pernapasan terpasang di hidung dan mulutnya, dan jarum infus tertancap di urat nadi pada punggung tangannya. Dan tepat saat itu Nada melihatnya pada diri Aren—sesuatu yang tak dapat disaksikan oleh orang-orang yang tidak berkemampuan khusus sepertinya. Ia ternganga pucat pasi. Yang ia lihat bahkan berkategori luar biasa untuknya. Kedua lututnya bahkan goyah oleh rasa gentar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN