“Kak! Kak Nada!”
Nada batal membelok masuk ke kelas oleh panggilan itu. Matanya sejenak mencari, dan menjumpai seorang anak perempuan bertubuh kecil setengah berlari mendatanginya. Pasti itu anak kelas X, terlihat dari raut wajah dia yang terintimidasi saat bertatapan muka dengan Nada.
“Ya, ada apa, Dik?” sahut Nada dan melihat name tag bertuliskan “SUSANTI” di d**a kanan sang adik kela.
“Ini ada titipan buat Kakak.”
Nada menerima sehelai kertas terlipat dari anak itu.
“Apa ini?”
“A-anu... itu... tinggal dicentang, di pilihannya,” anak itu juga mengulurkan bolpoin.
Alis Nada berkerut. Saat membuka lipatan kertas itu, tahulah ia apa yang sedang terjadi.
Tulisan pendek di kertas, ditulis semua dengan huruf kapital, berbunyi, “MAU TIDAK KAMU JADI PACAR AKU?”, dan di bawahnya terdapat dua kotak bertuliskan “YES” dan “NO”. Kedua kotak merupakan tempat di mana ia harus membubuhkan tanda centang.
Ia pernah beberapa kali melihat video berkonten penembakan semacam ini di media sosial.
“Dari siapa ini?” tanya dia, tak sengaja menggunakan intonasi galak.
Susanti seketika pucat saat menggeleng. “Saya nggak boleh bilang. Katanya... katanya... nanti Kak Nada akan tahu juga.”
“Dia anak kelas XI juga kayak aku?”
Santi menggeleng lagi, makin pucat. “Saya nggak boleh bilang. Nanti saya di-bully...”
Nada berkacak pinggang dan membuang napas.
“Begini aja. Ini kukembaliin ke dia. Tolong kamu bilangin ke dia, kalau mau nembak cewek, temui face to face dan bicara langsung, pakai mulut! Itu baru namanya gentleman!”
Susanti mengangguk-angguk saat menerima kembali kertas dan bolpoin dari Nada.
“I-iya, Kak. Baik.”
“Dan kalau dia lantas macam-macam sama kamu, bilang ke aku! Ntar kubikin dia kelenger!”
“Iya, Kak.”
Anak itu bergegas menjauh, dengan wajah yang makin terteror. Dan muka penuh mendung Nada jelas terlihat oleh Aren yang sudah lebih dulu tiba di bangku.
“What’s up? Ada plot twist lagi?” tanya anak itu.
“Iya. Aku ditembak seseorang pake kertas berisi kotak pilihan untuk dicentang.”
Aren terpana. “Wow! Kayak yang ada di sosmed!”
“Bedanya, yang ini tadi tidak direkam.”
“Emang dari siapa itu?”
“Mana aku tahu? Dia memperalat anak kelas X bernama Susanti. Dan Susanti nggak berani bilang identitasnya.”
“Trus, trus? Kamu kasih centang di ‘Yes’ apa ‘No’?”
“Nggak kucentang. Aku bilang ke Susanti, tuh cowok harus ngomongin langsung hal kayak gini di depan cewek yang dia suka. Baru itu namanya macho. Cowok beneran.”
“Kira-kira siapa ya? Nathan? Radit? Benu? Atau tokoh lain lagi? Habis sejak kamu glowing kayak gini, cowok-cowok jadi sering nanyain kamu ke aku. Kirim-kirim salam, nanyain nomor WA. Aku nggak kasih juga mereka tetap bisa tahu dari anak-anak cowok di kelas ini.”
“Iya. Jumlah DM di IG-ku meningkat pesat gara-gara foto kemarin dulu itu. Semua pada ajak kenalan, lalu belum apa-apa udah sibuk nanya ‘Lagi apa?’, ‘Udah makan belom?’, ‘Udah sholat belum?’. Dalam sehari aku bisa menerima 30 kali ‘Lagi apa?’...”
Aren tertawa. “Dan follower-mu nambah dari 500 ke 2.000 hanya dalam beberapa hari.”
“Iya,” Nada mendesah, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Aren. “Don’t worry! Aku nggak bakalan mau kalau penembakan ini tadi datangnya dari Nathan. Aku tahu kamu udah suka sama dia sejak awal kelas X dulu pas MOS dan dia jadi senior di kelas kita.”
“Aku sekarang juga nggak naksir dia lagi, setelah tahu papanya berbuat kayak gitu sama keluarganya Radit.”
Nada langsung celingukan.
“Radit belum nongol?” ia bertanya dengan suara rendah.
Nada dan Aren terlompat karena tiba-tiba ada yang menggebrak meja mereka luar biasa keras. Ternyata Haris.
“PERHATIAN! PERHATIAN!”
Nada mendelik. “Haris resek! Bikin kaget aja!”
Haris tertawa-tawa dan sibuk menghindar dari tampolan Aren pakai buku tulis.
“Teman-teman, barusan aku di-WA Pak Rudy, ada pengumuman penting!” teriak sang ketua kelas kemudian. “Karena belio ada rapat di Dinas Pendidikan, jam satu sama dua kosong. Sebagai gantinya, kita ditugaskan ke perpus untuk meresensi novel. Tugas dikumpulin ke aku di akhir jam kedua nanti. Novelnya bebas, terserah ambil yang mana aja di perpus! Ada pertanyaan?”
Nada tunjuk jari. “Boleh sambil nyalain HP?”
“Karena Pak Rudy nggak secara spesifik menyebut soal HP, maka berarti tidak ada larangan. Alias boleh, ngahahahaha...!”
Seketika kelas gaduh bukan main.
Dan tentu saja, siapa yang tak menyukai selingan? Begitu bel dimulainya jam pelajaran berbunyi, seisi kelas menunjukkan wajah-wajah bahagia saat migrasi ke perpustakaan sekolah yang ada di lantai dua gedung sekretariat, persis di atas ruang guru. Semua menenteng buku tulis catatan mapel Bahasa Indonesia, bolpoin, dan ponsel. Begitu masuk ruang perpus, Nada melongo karena wajah pertama yang ia lihat justru milik Nathan.
Anak itu duduk di meja terdekat dengan pintu, menghadapi buku peta dunia namun malah sibuk mainan ponsel dengan dua tangan. Dia juga nampak kaget melihat Nada, lalu buru-buru melambaikan tangan.
“Kok kamu di sini?” tanya Nada.
“Malas masuk kelas. Kamu sendiri?”
“Jam Bahasa Indo kosong. Diganti tugas resensi novel di sini.”
“Duduk bentar! Aku mau nanya sesuatu.”
Meski enggan, Nada tetap duduk juga menghadapi meja itu, dalam posisi berhadap-hadapan dengan Nathan.
“Ada apa?”
“Gimana kemarin? Nemu sesuatu?”
Nada terdiam, baru kemudian menggeleng pelan, dengan berat.
“Maksudnya?” Nathan bertanya penasaran.
“Aku tidak menemukan apa-apa, yang kaitannya sama ilmu hitam, santet, dan hal-hal gaib.”
Nathan terpana. Sangat perlu waktu untuk mencerna kata-kata Nada.
“Astaga! Jadi, maksudmu... sakitnya papaku emang beneran sakit?”
Nada mengangguk penuh simpati.
“Dan kalian sekeluarga belum ada yang tahu selain kamu?” tanyanya kemudian.
Nathan menggeleng. “Nggak ada yang tahu. Papa pasti nggak mau bikin kami semua syok dengan berita seperti itu. Apalagi bisnis Papa juga sedang turun.”
“O, ya?”
“Aku dengar dari Pak Roshad sih gitu. Ada banyak mismanagement yang bikin grup bisnis Papa sebenernya sedang enggak sehat, bahkan menuju kebangkrutan. Makanya belakangan ini Papa kayak memforsir energinya untuk mengegolkan satu bisnis properti di Jakarta sama Bandung. Kata Pak Roshad, cuman investasi di dua proyek itu yang bisa menyelamatkan keseluruhan bisnis Papa.”
Alis Nada berkernyit. Maka masuk akal mengapa Pak Santoso terlihat seperti desperate banget untuk mengambilalih tanah milik keluarga Radit. Itu benar-benar perjuangan antara hidup dan mati. Dan berkejaran dengan waktu pula.
“Yang di Bandung emangnya bisnis properti apa?” Nada mencoba menyelidik.
“Aku nggak tahu persis, tapi yang dikerjakan papaku kan biasanya kompleks apartemen, yang dijadiin satu sama mal.”
Nada terdiam. Nathan tidak tahu detailnya. Dan Radit pun belum tahu siapa sesungguhnya Pak Wawan.
“Kira-kira masih berapa lama lagi waktu yang dipunyai papa kamu?” tanyanya kemudian.
Nathan menggeleng. “Nggak tahu. Yang kudengar belum sampai ke urusan itu. Tapi kalau kankernya udah stadium berat kan waktunya nggak lama lagi...”
Satu kata lagi, dan cowok semacho dia pun tak akan tahan untuk mencegah air matanya turun.
“Aku turut prihatin mendengarnya. Semoga keluarga kalian dikuatkan...!”
Nathan mengangguk-angguk, sambil mengusap-usap sekitar mulut dan dagunya.
“Makasih, Nad. Dan makasih juga udah mau bantuin...”
Nada mengangguk. “Sama-sama.”
Ia terpaksa menoleh kaget karena mendadak muncul sesosok bayangan besar menutupi pandangannya. Itu ternyata Radit, yang datang masih sambil membawa tas. Berarti dia belum ke kelas, melainkan langsung ke perpus. Dan bahwa napasnya sedikit terengah menunjukkan bahwa ia barusan berpacu dengan waktu melawan penutupan gerbang yang dilakukan Pak Yamto.
Radit menyeret kursi dari meja lain dan menempatkan dirinya di sisi lain meja, sehingga ia tepat berada di antara Nada dan Nathan.
Indera Laba-laba milik Nada seketika berdiri tegak. Sesudah ada perkembangan situasi yang kayak begini, sekarang ia malah ditempatkan bersama dua cowok itu.
“Gimana, Bro?” tanya Radit pada Nathan. “Koleksi komik kamu udah ketemu semua? Kalau udah, biar aku ambil ke rumahmu.”
“Belum. Aku masih berusaha ngumpulin. Ntar kukabari kalau udah ready.”
“Oke, oke. Yang jelas ikhlas kan ngasihnya?”
Nathan mendecak muram. “Ya ikhlas lah. Lo to mungkin yang kagak ikhlas. Bukannya dikasih ke anak-anak panti, buku-bukunya malah lo simpan sendiri!”
Radit mendelik. “Enak aja! Gue menjalankan panti asuhan kan bukan baru sehari-dua hari!”
Nada melirik ke meja di jauh sana, tempat anak-anak sekelasnya sudah sibuk mulai bekerja—sambil ngerumpi. Aren menatap ke arahnya dengan sorot mata cemas. Tak jauh dari dia, ada Benu yang melirik-lirik ke arah sini dengan sinar mata mirip anak kecil yang terpaksa tinggal di rumah karena dilarang keras orangtuanya untuk main-main di luar.
Sesuatu yang terasa gatal di otak membuat Nada mendesah dan bangkit berdiri.
“Astaga! Aku nggak kuat!”
Dan kedua cowok itu melongo heran melihat Nada melintas pergi meninggalkan perpus.
“Dia kenapa?”
“Mana gue tahu?”