Panggilan dari Aren muncul tepat ketika Nada menaruh sepatu di rak dekat kamar mandi. Ia menerimanya sembari melangkah menuju kamar dan menghidupkan AC.
“Aku udah nyampai rumah nih,” kata anak itu. “Udah mandi juga malahan. Kamu di mana?”
“Persis baru masuk rumah. Taksiku agak lemot tadi. Nggak kayak taksimu.”
Tadi mereka pulang dengan taksi online berbeda yang dipesankan Nathan, masing-masing sudah full dibayar. Nada masih sempat berbasa-basi dengan mengatakan bahwa taksi yang dipesan lebih baik satu saja. Sayang Nathan benar bahwa taksi akan terpaksa berputar-putar mengelilingi Kota Surakarta, karena rumah Nada dan Aren berlokasi di jurusan yang saling berlawanan.
Maka keduanya terpaksa manut saat masing-masing dipanggilkan taksi yang berlainan. Punya Aren datang duluan, yang membuat Nada punya waktu berduaan saja dengan Nathan selama kira-kira lima menit.
“Iya. Driver-nya mungkin bekas pembalap F1. So, ada berita apa yang tadi kamu bilang urgen banget di WA?”
Nada melepas baju atas seragamnya, dan hanya berkaus dalam memasang diri tepat di bawah AC untuk menurunkan suhu eksternal tubuh. Suasana sepi. Mama belum pulang pada malam yang sudah menunjukkan pukul 20 lewat. Nada langsung punya dugaan, Mama sedang sibuk dengan Om Gading mempersiapkan pernikahan.
“Oke, yang pertama, tadi aku nggak menemukan unsur klenik jahat apa pun di sekitar rumah itu dan terutama pada diri papanya Nathan. Memang ada, tapi nggak yang sampai merusak kesehatan kayak punyamu. Apalagi yang sengaja dikirim oleh pesaing yang iri untuk membuat Om Santoso berpenyakit.”
“Astaga! Jadi sakitnya karena emang beneran sakit medis?”
“Yap. Dan kalau benar kata Nathan bahwa stadium kankernya sudah berat, itu berarti hanya tinggal menghitung hari aja, atau bulan dan tahun. Susahnya, keluarga Nathan kayaknya kan belum pada tahu soal itu, kecuali dia, gara-gara mencuri dengar.”
“Trus, kamu udah kasih tahu dia sesudah aku cabut tadi?”
Nada membuang napas. “Belum. Tadi kata-katanya nggak keluar. Nathan juga nggak nanya. Mungkin besok, kalau dia nanya.”
“Lantas yang kedua apa?”
Nada menarik napas. “Kamu udah siap untuk mendengar plot twist semacam yang ada di novel-novel thriller?”
“Emang ada apa, sih?”
“Jadi... ternyata... pengusaha besar yang ngotot pengin beli tanah milik ortunya Radit dan sampai repot-repot kirim preman teroris yang melempar bom molotov adalah ayahnya Nathan! Gila nggak tuh!?”
Sudah pasti Aren heboh.
“HAH? SERIUS!?”
“Sangat, sangat serius.”
“Kamu tahu dari mana? Dengan baca pikiran Om Santoso pas ketemuan tadi?”
“Tidak perlu sampai ke sana. Yang ini tadi pure luck. Dan karena sikonnya pas juga.”
Nada menceritakan peristiwa tadi saat hendak ke toilet yang ada di ruang kerja papanya Nathan. Juga bahwa ia sempat melihat seluruh foto di folder itu. Pak Santoso sepertinya mengupah mata-mata untuk memotret seluruh sudut lahan yang kini digunakan sebagai panti asuhan. Sejak eksteriornya, halaman samping dan belakang, hingga bagian dalam bangunan termasuk kamar-kamar para penghuni panti. Ada juga foto-foto lain yang menggambarkan suasana desa tepat di sekeliling gedung panti.
“Radit betul. Setelah mengambilalih lahan panti, tujuan berikut pasti untuk membeli keseluruhan tanah di sekitarnya, mungkin sampai hitungan satu RW. Habis itu, tempat itu bisa dijadikan superblok apartemen eksklusif yang pasti balik modal dalam waktu beberapa tahun. Dan aku berani taruhan, Om San pulang mendadak dari Jakarta gara-gara insiden semalam yang menggagalkan salah satu rencana terornya untuk bikin ciut nyali ayahnya Radit. Makanya dia lantas balik ke rumah dan mengundang orang-orang dekatnya untuk rapat darurat.”
“Tapi... tapi masa papanya Nathan tega melakukan hal seperti itu?”
“Namanya juga pebisnis. Tetep saja business is business. Faktanya, dia orang superkaya. Pasti punya anak buah dan deretan bodyguard yang bisa disuruh apa saja, bener-bener mirip bos mafia. Dan pas pulang dan melewati lantai bawah tadi, aku sempat denger si bapak yang datang belakangan itu manggil Om San dengan ‘Pak Wawan’. ‘Wawan’, persis seperti info dari Radit! Dia nggak tahu nama lengkap si pengusaha yang memaksa papanya jual tanah. Cuman denger-denger namanya Pak Wawan. Nama lengkap papanya Nathan kan Santoso Ernawan. Awan. Wawan. Itu mungkin nama panggilannya pas sekolah, atau panggilan di rumah waktu kecil dulu.”
“Astaga...! Buset! Kenapa malah jadi seperti ini? Dan Radit sama Nathan belakangan ini sering ketemu untuk urusan ngumpulin buku. Kira-kira Nathan tahu nggak ya urusan papanya dia sama papanya Radit?”
“Kayaknya kok belum. Para ortu kan nggak bakal ngasih tahu detail apa-apa aja yang dia kerjakan di luar rumah, bahkan pada istri. Aku aja sebagai anak nyaris nggak tahu apa-apa soal pekerjaan Mama, apalagi hubungannya sama Om Gading.”
“Dan Om Gading kayaknya deket banget sama Om San. Bahkan kayaknya dia adalah tangan kanan Om San. Bisa saja dia ikut terlibat dalam aksi-aksi teror itu.”
“Aku juga mikir ke sana. Malah sepertinya dari Om Gading lah papanya Nathan sampai kepikiran bikin aksi-aksi kayak gitu. Obrolan dia di HP pas aku menyelinap masuk rumahnya kemarin dulu itu kayaknya dengan Om San, pas dia memprovokasi Om San agar pakai cara kekerasan untuk nyelesaiin masalah. Aku masih ingat, waktu itu dia menganggap pihak sana nggak tahu diri karena udah dikasih harga bagus. Itu pasti papanya Radit, yang tetep ngotot nggak mau jual meski udah ditawari harga pembelian yang tinggi.”
“Gawat! Caranya begitu, mama kamu nggak boleh lanjutin rencana nikah sama dia. Bisa gawat ntar!”
“Mangkanya itu. Tapi aku masih bingung gimana caranya. Nggak mungkin kalau pas Mama kasih tahu nanti, aku dengan lugunya bilang, ‘Jangan nikah sama pentolan teroris, Ma!’. Pasti aku dikira cuman nggak rela aja ada cowok lain yang menggantikan tempat almarhum Papa, meski aku bisa dibilang nggak tahu apa-apa soal Papa.”
“Memang. Aku juga nggak bakalan rela kalau nanti ada ayah lain selain bapakku yang sekarang ini.”
Nada kaget sampai terbatuk.
“Heh! Kamu napa malah ribut sendiri?”
Dan Nada sampai perlu membongkar tasnya untuk mengeluarkan botol minum yang tinggal bersisa beberapa tetes untuk menerangi kerongkongan yang tersumbat.
“Nggak kok. Cuman keseleg charger HP. Kita lanjutin diskusinya nanti. Aku mau mandi dulu. Lagian Mama pulang tuh kayaknya.”
Sambungan diakhiri. Nada keluar kamar untuk mengambil handuk. Mama memang sudah pulang. Persis saat Nada menenggak air dari botol di kulkas, mesin mobil Mama dimatikan. Tak sampai dua menit kemudian, perempuan itu menapak ke meja makan dengan langkah lunglai dan tampang kucel loyo. Seperti biasa, barang bawannya banyak. Mayoritas berupa makanan-makanan enak.
“Mau mandi?” tanya Mama, menaruh sebuah tas berisi kardus besar yang sepertinya adalah soft cheese cake lezat.
“Iya.”
“Duduk! Mama mau ngomong bentar.”
Nada mendesah dalam hati. Tanpa ilmu penerawangan mistis juga ia tahu apa topik yang akan diobrolkan Mama. Namun demi kesopanan, ia tentu tak bisa mendului menebak.
Ia duduk dengan gerak-gerik pelan, tepat di dekat tas bawaan Mama yang berlogo warung ayam goreng kremes.
“Ada apa?”
Mama tak langsung menjawab. Pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal hanya untuk menggeser-geser halaman layar bolak-balik.
“Umm... menurut kamu... Kalau pendapatmu... gimana kira-kira kalau... Kalau... umm... Mama serius sama Om Gading?”
Nada mati-matian memasang wajah datar. Pokoknya bagaimana saja caranya agar urusan terkait om satu itu nampak tak terlalu penting di matanya.
“Kan sekarang udah serius juga.”
“Maksud Mama, yang lebih serius dari itu.”
“Yang ke arah tunangan gitu? Nikah?”
Saat mengangguk cepat, ekspresi Mama sungguh mirip anak SMP yang diinterogasi orangtuanya karena ketahuan pacaran dengan kakak kelas.
“Yah, kan Mama yang menjalani, bukan aku. Yang penting Mama bahagia.”
“Jangan gitu. Kamu harus jujur sama Mama. Biar bagaimanapun, ini urusan kita juga. Mama perlu pendapat kamu. Om Gading nggak hanya akan jadi bagian hidup Mama, tapi hidup kamu juga. Karena mungkin... mungkin bagi anak sepertimu akan jadi agak sulit menerima sosok ayah baru... tapi yakinlah! Ini bukan berarti Mama nggak mencintai papa kamu lagi. Tetep sampai kapan pun, Papa akan tetap ayah kamu. Ayah kandungmu. Makanya, kalau misal... misal kamu tetap akan... tapi kamu...”
“Iya, Ma, aku ngerti,” Nada sigap memotong kalimat mamanya yang mulai ngelantur. “Buatku, yang terpenting adalah kebahagiaan Mama. Ntar aku yang berusaha menyesuaikan. Yang penting nanti kehadiran Om Gading di tengah kita kan nggak akan mengubah drastis semua yang sudah ada selama ini.”
Mama menatap Nada dengan sorot mata mellow.
“Ya ampun! Kamu kok bisa dewasa banget gitu, sih? Anak Mama udah gede...”
Ya kan ini bukan kata-kata gue, batin Nada saat kemudian Mama bergeser memeluknya dan terisak.
“Beneran? Kamu siap dan ikhlas menerima kehadiran Om Gading buat Mama?”
Nada mengangguk dan menyeka air matanya. Biar penginnya nggak nangis, tetap saja mewek juga. Dasar air mata buaya!
“Iya, Ma. Kan Om Gading udah mapan dan bukan orang jahat juga. Dia bukan teroris yang suka lempar-lempar bom molotov ke rumah saingan bisnisnya, kan?”
Mama tertawa dan menyedot ingus dari tangis pelannya.
“Ya enggak lah! Konyol kamu ini! Makasih ya pengertiannya, Sayang?” ia kecup kedua pipi Nada, persis seperti 10 tahun lalu waktu Nada masih kecil. “Kamu bener-bener anak Mama yang super spesial.”
Sepuluh menit kemudian, Nada menjotosi boneka beruangnya yang berukuran separo tinggi badannya.