Santoso

1515 Kata
“Whoaaa...!” Mata Nada dan Aren seketika melebar sejadinya saat pintu pagar tinggi itu bergeser dan Nathan memajukan mobilnya melewati gardu satpam. “Biasa aja kalee,” sang pengemudi tertawa pelan. “Buatmu, ini biasa. Buat aku sama Nada, ini kayak cuilan surga!” tukas Aren spontan. “Lebay!” tukas Nada. Nathan ngakak. Pasalnya, yang dilihat Nada dan Aren memang bukan pemandangan biasa. Rumah berpilar raksasa dengan dua lantai, pekarangan seluas lapangan bola dan dihias kolam air mancur berbentuk bundar di tengahnya, dan halaman samping yang difungsikan sebagai lapangan tenis, terang bukan sesuatu yang rutin mereka saksikan saban hari. Pemandangan kian dramatis karena jejeran pohon palem di sebelah sana itu, dekat lapangan tenis, menghadirkan bayangan-bayangan panjang dari matahari sore pukul 16.30 yang berwarna keemasan. “Selain yang ini, papa kamu punya rumah di mana aja, Kak?” tanya Nada, tangan siaga melepas sabuk keselamatan. “Di Jakarta ada. Di Surabaya sama Bandung juga. Trus di Puncak sama Batu ada villa. Aku paling sering weekend-an ke Batu. Hawanya asik.” “Kamu tinggalnya juga di sini?” tanya Aren, kepala sibuk mencelat ke segala arah. “Iya, resminya. Tapi aku lebih sering tidur di The Village. Ada kamar tidur di sana.” Nathan memarkir mobilnya di tempat parkir yang kosong melompong, lalu membimbing kedua adik kelasnya itu menuju pintu depan yang luar biasa besar dan teduh karena dinaungi kanopi mirip hotel. “Papa kamu di mana saat ini?” tanya Nada, sesudah ia dan Aren melepas sepatu dan menapak karpet empuk ruang depan yang bersuasana mirip rumah-rumah di sinetron. “Nggak tahu. Lagi di Jakarta kayaknya. Aku nggak selalu tahu jadwal pergi-perginya tiap hari. Duduk dulu! Kusuruh Bibik di belakang bikinin minum.” Nada duduk di kursi terdekat darinya, yang terbuat dari kayu dan bermodel sangat antik, mirip perabotan rumah dari masa kolonial. Yang tak langsung duduk adalah Aren. Anak itu makin sibuk menoleh kian-kemari. Sama sekali tak keberatan untuk menjadi ndeso sesaat. “Aku nggak tahu Kak Nathan setajir ini,” gumamnya. “Kupikir dulu dia cuman anak orkay biasa. Jebul bapaknya salah satu orang terkaya di Indonesia!” “Trus kenapa? Makin naksir?” “Ya iya lah. Gila apa?” Interior rumah memang berkarakteristik luar biasa. Luas dan lapang, serta dihias begitu banyak bufet kaca berisi barang-barang antik. Ada juga guci dan jambangan-jambangan bunga yang jelas tidak didapat di supermarket. Di kejauhan sana ada telundakan menuju lantai atas. Tidak melengkung memutar megah, tapi tetap saja sangar dan mengintimidasi. Dibandingkan dengan yang ini, rumah kediaman Om Gading jadi terlihat mirip gubuk di tengah sawah. “Trus gimana?” tanya Aren kemudian, saat sudah puas melihat-lihat dan duduk di sebelah Nada. “Ada elemen ilmu hitam di sini?” Nada mengamati sekitar, namun dengan pendekatan visual yang berbeda. “Ada beberapa kunti dan gendruwo, dari jaman sejak lahannya belum dibeli pengembang Lazuardi. Tapi mereka bukan ancaman serius, yang sampai bisa menimbulkan akibat jahat kayak si kunti di rumahmu kemarin.” Aren ternganga. “Jadi... kalau gitu...?” “Belum tentu juga. Masih ada kemungkinan Pak San memang disantet, which is baru bisa kulihat kalau aku ketemu langsung sama dia. Nanti kita minta Kak Nathan antar kita tur keliling rumah, terutama ruang kerja atau kamar tidur papanya. Mungkin bisa kulihat sesuatu di sana.” Aren menjentikkan jari. “Gud aidia!” Dan ketika muncul kembali bersama seorang pembantu rumah yang membawakan minuman serta kue-kue, Nathan langsung menyetujui usul itu. “Yuk, kita langsung aja ke atas!” katanya, setelah Nada dan Aren minum teh lemon dingin dan ngemil secukupnya. “Kebetulan papaku ternyata pas ada di sini.” Nada menoleh cepat. “O, ya?” “Yap. Papaku ada bisnis mendadak. Makanya siang tadi buru-buru balik ke Solo. Yuk, sekalian kalian kukenalin ke Papa!” Nada dan Aren bangkit penuh semangat, mengikuti Nathan yang bergegas menaiki telundakan. Lantai atas sebagian besar difungsikan sebagai ruang bermain dan ruang entertainment. Ada TV layar raksasa dengan kursi-kursi berderet yang di-layout mirip gedung bioskop, ada juga TV lain yang dikonekkan ke mesin konsol video game. Itu pasti barang hiburan milik Nathan. “Itu kamar tidur ortu,” Nathan menunjuk salah satu pintu di ujung. “Dan yang sebelahnya itu ruang kerja Papa. Kamarku di sebelahnya lagi.” “Mama kamu di mana?” sahut Nada. “Biasa, kumpul sama temen-temennya di organisasi amal. Kayaknya hari ini tadi mereka ketemuan di Grand Mall.” “Kakak-adik?” tanya Aren. “Kakakku kuliah di Melbourne. Adikku masih SMP, jam segini lagi les piano. Nanti pulang dijemput Mama.” Nathan mendului menuju pintu yang barusan ia tunjuk sebagai ruang kerja Pak Santoso. Ia mengetuk pelan, dan sebuah suara berwibawa terdengar dari dalam, memerintah untuk masuk saja. Seorang pria yang mengenakan kemeja dan dasi namun tanpa jas duduk di meja, menghadapi laptop. Ia menoleh. “Lho, kok malah kamu, Nat,” celetuknya. “Pak Alan sudah datang?” Nathan menggeleng. “Nggak tahu. Aku juga barusan masuk.” Pria paruh baya yang berkepala pelontos dan memelihara kumis serta cambang rapi itu seketika bangkit berdiri begitu melihat putranya datang bersama kawan-kawan sekolah. “Welha! Ini siapa saja kok ada bidadari-bidadari turun dari kahyangan?” Nada dan Aren mau tak mau terpaksa ketawa malu saat dikenalkan Nathan dan berjabat tangan sopan dengan pria itu. Di mata Nada, Pak San terlihat tinggi menjulang jauh di atas puncak kepalanya. Dan Pak San seketika heboh begitu mengetahui dari Nathan soal ibu Nada. “Wooo lha kalau sama Mbak Femna jelas kenal baik. Sudah seperti saudara malahan. Apalagi dia kan bentar lagi akan jadi Nyonyah Gading Permana Harsasusena!” Nada melongo. “Serius, Om?” “Serius. Si Gading itu ajak saya dan istri saya pas milih-milih cincin berlian buat mama kamu. Nyarinya bahkan sampai Seoul dan Tokyo. Masa kamu belum dikasih tahu mama kamu soal rencana pernikahannya dengan Gading?” Nada menggeleng. “B-belum.” “Pasti bentar lagi,” Pak San menepuk bahu Nada. “Yang jelas pesta pernikahannya nanti bakal luar biasa. Saya ikut bantu nyiapin, termasuk honeymoon-nya juga. Beruntung kamu, Nad, bakal punya bapak sambung kayak Gading.” “Minimal Lamborghini,” Aren nyeletuk asal. Pak San dan Nathan tertawa. Kemunculan seorang pria berpakaian perlente di pintu mengalihkan perhatian mereka semua. Pria itu, bertubuh tinggi kurus mirip pemain basket, mengetuk pelan daun pintu yang tadi tidak ditutup oleh Nathan. “Sore, Pak, maaf mengganggu,” kata pria itu sopan. “Oh, nggak. Ini pas kebetulan anak saya main sama temen-temen sekolahnya,” sahut Pak San. “Kita minum di bawah saja!” Pria itu mengangguk, dan berdiri menunggu di luar ruangan dengan sikap tegak sempurna. Pak San lalu menoleh pada anak-anak. “Silakan kalau mau main sepuasnya di ruang tengah situ,” katanya. “Di sini juga ada banyak buku, kalau suka baca. Dan boleh dipinjam.” Nada tersenyum dan mengangguk. “Siap, Om. Matur nuwun.” Dan ia memang langsung mupeng begitu oleh matanya yang tajam, terlihat bahwa salah satu buku di rak tepat di belakang meja kerja Pak San tadi bertuliskan judul The 100 Years of Solitude, bersebelahan dengan My Name is Red. Selera bacaan Pak Santoso ternyata sangat elegan. Begitu kedua pria itu menghilang, Nathan mengajak Nada dan Aren bersantai di ruang tengah, nonton TV. Ada kulkas besar di sana, berisi aneka macam soft drink yang membangkitkan selera. Aren langsung mengambil sebotol jus jeruk, sedang Nada tertarik pada teh matcha s**u. Masing-masing dilengkapi label merek yang tak biasa terlihat di toko-toko seputar tempat tinggal mereka. Sambil mengobrol, pikiran Nada mengembara ke tempat lain, terutama hal yang dikatakan Pak San barusan soal pernikahan. Masa hubungan mamanya dan Om Gading sudah sampai tahapan itu? Padahal seingatnya, mereka belum begitu lama berkenalan. Bakalan sangat mengenaskan kalau pas sesudah jadi istri nanti, Mama baru tahu bahwa Om Gading punya banyak cewek. Dan kandung kemihnya jadi penuh jauh lebih cepat gara-gara berpikir keras mengenai dengan cara bagaimana ia bisa menggunakan kekuatan supernya menggagalkan rencana pernikahan itu. “Toilet di mana?” ia menjawil pundak Nathan. “Di ruang Papa yang itu tadi ada satu. Pakai yang itu aja!” Nada mengangguk. Saat masuk kembali ke ruang kerja Pak Santoso, pikirannya teralih sepenuhnya ke pria itu. Jika ada berita bagus yang bisa ia sampaikan pada Nathan, itu adalah bahwa sama sekali tak ada ancaman ilmu hitam di sekitar sini, baik yang membayangi rumah maupun yang secara spesifik mengincar Pak San. Namun itu berarti bahwa kabarnya langsung jadi berita buruk. Mengikuti petunjuk Nathan, ia langsung menuju pintu tertutup yang terletak persis di belekang meja kerja Pak San, tak jauh dari rak buku. Sayang langkahnya terbelokkan oleh pemandangan dari laptop yang dengan seketika membetot perhatiannya. Mata mencorong fokus saat ia mendekati laptop dengan langkah mengendap mirip maling. Ada foto-foto terpampang di layar, dari sebuah folder yang bernama Foto-foto Bandung. Nada membuka salah satunya ke mode layar penuh. Napas tertahan di ujung hidung. Mata mencermati foto di layar tanpa berkedip. Gambar itu sangat familiar baginya, sebab semalam ia baru saja ke sana. Dan persis di sudut foto terpotret papan nama bertuliskan “PANTI ASUHAN PERMATA BUNDA”. Tekanan di kandung kemihnya seketika menguap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN