Puitis

1499 Kata
Nada membuka pintu yang terbuat dari besi baja luar biasa tebal itu. Saat tiba di dalam, ia sama sekali tak melihat dinding ruangan. Hanya ada kegelapan sempurna. Dan di tengah sana, dalam cahaya lampu redup 5 watt berwarna kekuningan, tampaklah Om Gading, duduk di kursi dengan kedua tangan dan kaki terikat. Wajahnya bengkak dan penuh lebam, seperti habis dipukuli warga satu kelurahan! Matanya membelalak saat melihat siapa yang datang. “Nad! Nada! Tolong! Ini aku di mana? Lepaskan! Lepaskan!” seru pria itu sambil meronta. “Akan aku lepaskan,” Nada tiba tepat di depan Om Gading, dan membuka tangan tempat di telapaknya terdapat sebentuk kunci emas berkilauan. “Tapi jawab dulu pertanyaanku!” Om Gading mengangguk-angguk. “Ya, ya. Akan aku jawab. Yang penting segera lepaskan aku dari sini!” “Apa betul Om Santoso akan membeli lahan tanah di Cibaduyut yang sekarang ini digunakan oleh Panti Asuhan Permata Bunda?” Om Gading mengangguk lagi. “Ya, memang betul.” “Dan apakah proyek itu dikejar mati-matian untuk menyelamatkan bisnis Om San yang sedang terpuruk?” “Iya. Perusahaan Mas San nyaris kolaps. Banyak skandal korupsi. Dan dia sendiri sering make duit perusahaan untuk beli mobil sama rumah.” “Tahukah Om bahwa Om San sedang sakit berat, dan mungkin waktunya nggak lama lagi?” “Ya, tentu. Dia selalu ajak aku kalau pas cek kesehatan dan periksa ke Mas Putut. Makanya dia berjuang untuk proyek di Jakarta sama Cibaduyut karena cuman itu harapannya untuk ninggalin warisan buat istri dan anak-anaknya. Kalau sampai gagal dan Semestaloka hancur, Mbak Yeni dan anak-anak bisa jatuh miskin sepeninggal Mas San.” “Tapi keluarganya belum dikasih tahu oleh Om San, kecuali Nathan kakak kelasku yang nggak sengaja dengar percakapan papanya dengan Pak Dokter Putut di telepon.” Om Gading membelalak. “O, ya?” “Dan kapan kira-kira Om San akan ngasih tahu keluarganya soal penyakitnya itu? Kalau dia sudah masuk UGD dan nggak bisa ngapa-ngapain?” “Begitu deal tanah di Cibaduyut tercapai. Yang di Jakarta sudah beres. Tinggal yang di Bandung aja yang belum.” “Apa tidak bisa nyari lahan di tempat lain? Mengapa harus yang itu? Ada panti asuhan di sana. Kalau sampai tanahnya diambilalih dan panti tergusur, perlu waktu agak lama untuk menampung anak-anak panti di tempat baru.” “Karena cuman itu spot yang paling bagus. Lokasinya strategis, tepat di jantung pusat keramaian Kota Bandung. Dan ada kepala naga di situ. Pasti cuan.” “Trus dapat ide dari mana sampai Om San kayak kalap lalu menteror pemilik panti pakai bom molotov?” Om Gading menunduk. “Dari aku.” Alis Nada berkerut saat berkacak pinggang, mirip guru BP memarahi murid yang hobi terlambat masuk sekolah. Dugaannya ternyata benar. “Oh, gitu? Rupa-rupanya Om Gading sering ya pakai cara kekerasan gitu untuk memaksa orang lain nurut dan ketakutan!?” Om Gading menunduk. “Kan aku punya bisnis leasing sepeda motor, sama pinjol juga. Pinjaman online. Anak-anak di lapangan bisa dimanfaatin untuk mengancam atau menteror klien atau calon klien yang ngeyelan dan kepala batu.” “Jadi itu para preman Om Gading yang sering menteror panti asuhan?” “Itu anak buah Mas San sendiri. Mereka kan preman-preman juga. Sudah pada tahu caranya, tinggal diperintah.” “Tapi polisi di Bandung tinggal menunggu nama aktor intelektual keluar dari mulut para preman yang kemarin tertangkap pas lempar-lempar bom molotov.” “Ya, tapi nggak bakalan sampai ke aku, atau Mas San. Apa gunanya punya anak buah kalau nggak dijamin bakal setia dan melindungi bos tertingginya? Kalau aktor intelektual tertangkap, mereka tinggal jalani sidang dan masuk penjara. Nanti kukirim lawyer terbaikku untuk membela mereka. Tanpa harus pakai uang suap ke hakim pun hukumannya bisa dibikin seringan mungkin. Ntar paling cuman kena beberapa bulan setelah potong tahanan. Itu kecil buat mereka. Kayak cuman pindah tempat ngorok sementara waktu. Dan mereka juga sudah kenal baik sama semua petugas lapas. Jadinya malah bukan kayak menjalani masa hukuman, tapi ngekos, hahaha...!” Susahnya, fakta di lapangan memang begitu. Dan bukan sekali-dua Nada mendengar berita tentang warga binaan di lapas alias lembaga pemasyarakatan yang sukses mengendalikan jaringan n*****a internasional dengan kongkalingkong sama petugas lapas dan para sipir. “Nah, sekarang soal lain. Di mana Om Gading kenal mamaku?” “Di IG lah. Orang sekarang di mana lagi bisa kenalan kalau bukan di sosmed?” “Medsos, Om. Bukan sosmed!” “Hah? Kok medsos?” “Ya kan Bahasa Indonesia pakai asas MD: menerangkan-diterangkan. Bendanya di depan, baru disusul kata yang menerangkannya. ‘Sepatu baru’. Kata ‘baru’ menerangkan kata ‘sepatu’. Kebalikan sama bahasa Inggris yang pakai asas DM, ‘new shoes’. Kata ‘new’ ada di depan, menerangkan ‘shoes’. Medsos singkatan dari media sosial. Kata ‘sosial’ menerangkan kata ‘media’, sejenis sama ‘media cetak’ dan ‘media elektronik’. Media apa? Media cetak. Media apa? Media sosial. Frasenya pakai kebalikannya baru bener kalau pakai bahasa Inggris, yang berarti bukan ‘sosmed’, tapi ‘socmed’, pakai huruf.... Alah! Ini apa sih kok malah jadi pelajaran Bahasa Indonesia!?” Mata Om Gading menyorot kosong. “Aku nggak mudeng kamu ngomong apa.” “Dasar t***l!” Nada mendelik. “Anyway, kenapa macarin mamaku kalau Om masih punya pacar-pacar lain? Pak Roshad lawyer Om San punya daftar nama dan nomor WA mereka semua.” “Mama kamu yang paling pintar. Yang lainnya cuman seksi dan bahenol. Nggak ada apa-apanya dibanding Dik Femna. Dia punya 3B: brain, beauty, behavior. Sempurna. Perfect banget.” Ya, kecuali kalau sudah telanjur sayang, kemudian terperosok jadi bucin! “Sudah berapa lama kalian pacaran?” “Dua bulan, kalau nggak salah. Ya, sekitar itu. Pas jadian itu, anak-anak sekolah masih libur panjang. Berarti itu sebelum pergantian tahun ajaran, sekitar Juni atau Juli. Ini kan September ya?” “Dan baru dua bulan, Om sudah merencanakan pernikahan?” “Kenapa memang? Kami sudah sama-sama dewasa, masing-masing punya karier bagus. Pada punya duit berlebih juga. Dan udah nggak ada lagi restu-restuan oleh ortu. Kedua ortuku sudah meninggal semua. Dan aku yakin eyang-eyangmu di Surabaya justru akan hepi kalau putrinya yang sudah lama menjanda dipinang oleh pengusaha sukses kayak aku.” Memang tak terlalu salah. Kedua eyangnya, orangtua Mama yang saat ini bermukim di Surabaya, bahkan sudah lama menganjurkan agar Mama menikah lagi. Jika tahu Mama akan dinikahi cowok yang bisa dengan gampang beli mobil seperti beli popcorn, mereka mungkin bakalan salto saking senengnya! Masalahnya, cowok kaya yang satu ini hobi main kekerasan dalam bisnis, yang jelas akan nular dalam urusan domestik rumah tangga. “Seberapa serius rencana itu? Atau ini cuman jebakan biar Mama mau terus nempel sama situ?” “Serius, Nad. Serius banget. Aku udah nemu cincin berlian, tinggal dikasih ke mama kamu bila momennya tepat. Nggak murah sih, 65 jeti, tapi sepadan untuk nilai keindahan Dik Femna yang sudah mewarnai langit kelabuku dengan pelangi.” “Om, nggak usah sok puitis deh! Ini kalau aku muntah, besok aku bisa ribet bersihin kasur sama spreiku!” “Yah, kan namanya juga lagi dimabuk cinta. Ntar kamu pasti juga gitu, Nad.” “Amit-amit jabang bayi! Moh!” “Kamu bisa bilang gitu karena belum mengalami.” “Sok tahu! Rencana Hari-H akad nikah dan resepsinya sendiri kapan? Masih dalam tahun ini juiga apa tahun depan?” “Penginku masih dalam tahun ini, dipaskan sama liburan Natal dan Tahun Baru. Kalau rencana berjalan mulus, aku mau ajak mama kamu dan kamu melihat kembang api di dekat Menara Eiffel. Keren nggak tuh?” Terus terang harus diakui, itu bukan rencana yang terlalu jelek juga. Aren dan anak-anak pasti heboh bukan main kalau ia kasih tahu ke mereka bahwa ia akan bertahun baru di Paris. “Dan biar bagaimana, Om tetep nggak akan melepaskan mamaku?” “Nggak lah. Gila apa? Aku bisa dapet mama kamu itu suatu anugerah tersendiri. Semua cowok pada ngiri, baik yang seumuranku maupun para berondong. Kamu kan tahu mama kamu fansnya bejibun!” Mendadak Nada teringat lagi perkataan Dayu tempo hari terkait Infiltrasi Mimpi, yang kayak di film Inception, bisa digunakan untuk menanamkan ide ke benak target. “Tapi karena Om amat nggak pantas buat mamaku, baiknya itu nggak dilanjutin lagi!” Om Gading melongo menatap Nada. “Apa maksudmu?” Nada balas melihat pria itu dengan pikiran fokus pada satu ide. “Aku mau kalian pisah! Jadi mulai detik ini nanti saat bangun, Om sudah nggak cinta mama aku. Sudah nggak mengingatnya secara sp...” Kalimat Nada terputus oleh kegelapan total. Tak beda jauh dengan kala listrik mati saat malam, dan kita tak bisa melihat tangan sendiri. Detik berikutnya, ia merasakan sekujur tubuhnya dikurung air yang menekan luar biasa berat. Nada menoleh ke segala arah. Gelembung-gelembung berhamburan dari hidungnya. Dan ia tak bisa bernapas. Ini bukan kegelapan total biasa. Ada air di sekelilingnya. Otak Nada agak lambat menyadari bahwa ia sepertinya tengah berada di laut, belasan atau mungkin bahkan puluhan meter dari permukaan air di atas sana, karena sama sekali tak ada cahaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN