Gateway

1448 Kata
Nada memaksa dirinya keluar dari mimpi dan bangun. Sedetik setelah sejuk hawa AC memastikan bahwa ia sudah tiba kembali di alam nyata, matanya menengok ke ponsel yang ada di meja belajarnya. Pukul 3.15 WIB sekarang. Ia menyumpah pendek. Apa pun rupa kejadian yang tadi ia lihat dalam bentuk noktah tanda bahaya, itu pastinya sudah terlewat saat ini. Belum lagi ia keluar dari selimut, pintu kamar diketuk dan langsung dibuka dengan cepat. Seseorang menyelinap masuk dengan gerakan ringan seolah itu kamar dia sendiri. Mata Nada melebar. Sosok ramping apik dalam balutan busana serba hijau itu tak lain adalah Dayu. Dan tentu bukan perkara susah bagi indigo kelas kakap sepertinya untuk melakukan Shortcut hanya beberapa detik setelah keluar dari Infiltrasi Mimpi. “Sial! Ternyata beberapa menit di mimpi tadi memakan waktu cukup lama dalam ukuran waktu dunia nyata planet Bumi,” katanya pelan, agar tidak membangunkan Bu Femna. “Iya. Trus sekarang bagaimana? Aku takut kondisi Aren makin memburuk sekarang ini.” Dayu terdiam berpikir. Otaknya seperti tengah melakukan pekerjaan yang sangat berat dan harus keluar dengan solusi secepat mungkin. “Begini saja, sekarang kita Shortcut ke rumah sakit. Habis itu kita shift ke alam gaib untuk mengkonfrontasi langsung makhluk Arheum itu. Kalau dengan dia beres, kita balik ke sini untuk infiltrasi lagi, kali ini ke mimpi Gading.” “Memaksa dia ngasih tahu apa yang dia lakukan pada Radit, kalau memang terjadi sesuatu sama anak itu?” “Ya, tapi aku juga belum tahu persis apa yang sebaiknya kita lakukan di sana. Ntar idenya pasti ada. Sekarang yang penting kita cek keadaan Aren dulu, karena firasatku bilang, situasi sangat tidak kondusif di sana.” Nada mengangguk, lalu buru-buru membongkar lemari untuk mencari celana jins dan jaket. “Nggak usah pakai helm dan masker! Di alam sebelah, kamu bisa ciptakan baju superhero sesukamu, kayak tadi pada di mimpi aku pake topi dan rompi NCIS.” “Kenapa NCIS? Memangnya kasus ini berkaitan dengan Angkatan Laut?” “Ngefans aja sama serialnya. Besok lagi aku bisa pakai kostum Daredevil.” Nada mengenakan celana dan merapatkan ritsleting jaket hingga ke leher. Habis itu ia kenakan tudung jaket hingga hampir menutupi seluruh bagian muka. “So, gimana sekarang? Kita jalan ke pintu?” “Nggak perlu serepot itu. Pejamkan saja matamu, lalu maju dua langkah!” Nada menatap heran, tapi tetap saja nurut. Ia merem, dan bergeser dua tapak ke arah yang seharusnya mendekati pintu kamar. Angin menyambar lumayan kencang. Mata mendelik saat membuka kembali. “Buset! Ini sih tingkat tinggi!” Dayu tertawa. Tak aneh Nada heboh, sebab saat itu mereka sudah ada sebuah koridor yang tak pelak lagi merupakan bagian dari sebuah rumah sakit. Letaknya di luar gedung, tepat membelah taman-taman kecil penuh bunga, yang kuyup dengan hembusan angin dini hari bulan September yang mulai terasa basah. Nada celingukan. Sepi sejauh mata memandang. Ini pastinya RS dr. Moewardi. Hanya saja ia tak tahu ini di sebelah mananya dari bangsal tempat Aren menjalani rawat inap. “Suatu saat nanti kamu akan sampai juga ke level ini. Yuk, bergerak! Aren ada di sebelah mana?” “Bangsal Melati, kamar 4-D. Kita cari denah, soalnya aku nggak hapal tempat ini.” Dayu celingukan. Ia menuding. “Nah, itu dia!” Memang ada papan denah terpajang di ujung koridor sana. Ia dan Nada berlarian ke sana, membaca gambar dan tulisan yang ada di sana dengan saksama. “Oh, ternyata nggak jauh lagi,” kata Dayu. “Dari sini tinggal belok kanan lalu masuk pintu bangsalnya. Ayo!” Mereka seketika berlarian ke arah sebagaimana yang ditunjukkan oleh denah. Dalam beberapa meter, memang segera saja terihat gedung besar bertingkat dua yang pada bagian atas pintu masuknya terpajang papan nama bertuliskan “MELATI” dengan huruf kapital putih pada latar belakang hijau. Tepat sebelum mencapai pintu, ponsel Nada dalam saku celana berdengung getar, dan seperti biasa, ia refleks langsung membukanya. Mata seketika melebar saat menatap layar. “Hah? Edan!” Lari Dayu seketika terhenti. “Ada apa?” Nada tak langsung menjawab. Jempolnya bergerak-gerak pada layar. Ada notifikasi update berita dari media daring, dan judulnya membuat darahnya seperti berhenti mendadak, KAFE “THE VILLAGE” DISERANG, DUA REMAJA DICULIK “The Village!?” ia mendesis, mengacuhkan sejenak pertanyaan Dayu. Ia lewatkan beberapa detik untuk membaca beberapa paragraf awal berita tersebut. Sesudah info-info dasar terkait 5W1H ia ketahui, barulah ia sorongkan ponselnya pada Dayu agar perempuan itu ikut baca. “Kafe punya papanya Nathan diserang orang-orang tidak dikenal jam 1 tadi,” kata Nada, terengah. “Dua remaja yang sedang ada di sana diculik. Namanya Raditya dan Nathan. Saat ini polisi masih melakukan olah TKP termasuk melihat rekaman kamera-kamera CCTV di sekitar sana.” “Ternyata ini yang dimaksudkan kemampuan Pelacakmu tadi,” Dayu mengembalikan ponsel. “Tapi kenapa Radit ada di sana jam segitu? Apa mungkin Nathan ikut berkonspirasi membantu ayahnya? Dan sekarang dia ikut diculik hanya untuk mengaburkan fakta?” Nada meneguk ludah. “Aku nggak tahu sampai sejauh itu. Cuman, si Radit kan minta ke kita semua sumbangan buku. Dan Nathan sudah bersedia mendonasikan koleksi komik-komiknya. Mungkin malam ini Radit menginap di The Village untuk ambil buku, karena Nathan lebih sering tidur di sana daripada di rumahnya. Tapi nggak tahu juga kalau Nathan ternyata selama ini ngikut rencana papanya, dan sengaja ajak Radit ke kafenya untuk menjebak...” Dayu menoleh ke arah pintu. “Ada yang datang!” Nada ikut menatap ke sana. Memang ada suara-suara, teriakan, bunyi roda pada tempat tidur beroda, dan juga tangisan. Sedetik kemudian pintu dibuka, dan seorang pasien dalam tempat tidur didorong secepat kilat oleh dua perawat jaga. Lalu dua sosok bayangan yang menguntit di belakangnya membuat napas Nada tertahan. Itu Pak dan Bu Irfan. Mereka menangis. Tangannya lalu ditarik Dayu agar menyingkir dari jalur laju tempat tidur. Cepat sekali benda itu didorong sejadinya dengan kecepatan tertinggi yang bisa dilakukan manusia dengan kedua kaki dan tangannya. Nada memucat menyaksikan Aren di sana seperti bukan makhluk hidup. Pucat seputih kertas HVS, dengan alat ventilator masih terpasang menutupi sebagian wajahnya. Dan situasi makin terasa gawat karena wajah kedua perawat pun cemas, seakan mereka sedang berpacu menyelamatkan nyawa keluarga sendiri, dan bukan semata pasien di rumah sakit tempat mereka bekerja. Tempat tidur yang mengangkut Aren berlalu luar biasa cepat, begitu juga kedua orangtua gadis itu. Arahnya pasti ke UGD, atau ruang lain tempat pemeriksaan dan penanganan darurat bisa dilakukan. Nada gemetar hebat dengan tangan mengatup pada mulut. “Aren...!” Cekalan Dayu pada tangan Nada menguat. “Arheum itu sungguhan ingin mengincar nyawa Aren...!” desisnya. “Kamu coba hentikan dia dulu! Aku akan pergi sebentar ke tempat lain.” Nada menoleh kaget. “Kamu mau ke mana?” “Infiltrasi ke Gading untuk mencoba mencari tahu ke mana orang-orangnya membawa Radit. Dan harus sekarang, sebelum dia mendadak bangun. Bahkan bisa saja dia belum tidur, mengontrol para anak buahnya sedang menjalankan aksi yang nggak main-main. Tapi nggak ada salahnya kucoba sebentar. Cuman beberapa menit. Nggak akan selama yang tadi di Alamanda.” “Kenapa nggak dibalik? Kamu yang lawan Arheum, aku yang infiltrasi ke Om Gading.” “Karena, kalau mendadak ada ide untuk bikin Message Planting, aku bisa langsung lakukan tanpa masalah. Don’t worry! Kamu harusnya masih bisa lawan dia. Aku nggak lama. Kuusahakan nggak sampai tiga menit dalam ukuran waktu di sini.” Tangan kiri Dayu melakukan gerakan melempar. Lalu atmosfer beberapa meter di depan mereka berada, tepatnya di salah satu bagian taman di sisi koridor, tak jauh dari pintu ke bangsal Melati, seperti robek. Ujudnya compang-camping, mirip kain yang dirobek paksa dengan pisau, dan dalam arah vertikal setinggi kira-kira dua meter. Pemandangan yang tercipta menjadi makin mencengangkan karena bingkai robekan berupa nyala api, dengan bunga bara kemerahan melompat-lompat melenting dan kemudian kabur oleh angin. “Itu namanya Gateway, atau Jalan Gerbang, portal untuk memasuki dimensi-dimensi lain. Tempat hunian makhluk sejenis Arheum disebut Dunia Bawah, atau alam gaib menurut definisi manusia Bumi sepertimu. Detail lokasi di sana nanti sama persis dengan alam semesta yang kamu pahami sekarang ini, dalam arti, sama serupa dengan rumah sakit ini. Hanya saja keseluruhan dunia sekeliling akan berwarna merah dan nyala api. Aren dibawa ke UGD. Jadi cari saja UGD di Dunia Bawah. Si Arheum juga akan ada di sana.” Nada mengangguk, meski masih agak ragu. “Oke, oke!” “Just be brave!” Dayu mendorong punggung Nada ke arah robekan Gateway. “Dan jangan takut untuk berimprovisasi, karena ambil risiko itu kadang emang perlu! Pergilah! Aku akan susul secepat mungkin!” Nada tak sempat mengangguk. Sekalipun halus, dorongan Dayu masih terlalu kuat untuknya. Ia bahkan seperti terbang melintasi gerbang yang menakjubkan itu. Matanya terpejam. Hawa berubah seketika dalam sedetik. Lalu ia seperti dibungkus dalam bola api yang bersuhu ribuan derajat Celsius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN