Pengkhianatan dan Penghinaan Menyakitkan
“Mas Arya!”
Seorang perempuan berdiri diambang pintu, dia berteriak histeris dan mengguncang tiap orang yang tengah duduk bersila di atas karpet hijau. Semua insan dalam ruang tamu itu menoleh kaget, begitu pula dengan seorang pria yang langsung membulatkan kedua mata.
“Kiara?!” Pria bernama Arya itu segera berdiri, berlari menghampiri perempuan berjaket hitam di depan.
Arya tidak berpikir panjang untuk mencengkeram lengan kurus Kiara, menyeretnya bak binatang.
“Mau ngapain kamu kesini?!” tegas Arya.
“Ngapain?” balas Kiara, menepis tangan Arya. “Seorang istri yang cemas sama keadaan suaminya, ditanya ngapain dateng?”
Arya menoleh ke segala sisi, dia nampak gusar. “Kecilin suara kamu, jangan bikin malu!” tekannya, merapatkan gigi dan sedikit membuka mulut.
Kiara tersenyum tipis, kepala menggeleng tanpa berpaling dari wajah sudah ditumbuhi keriput suaminya. “Malu?” lirihnya.
Arya menelan saliva, lagi-lagi dia mengoreksi sekeliling jalan tempatnya berdiri.
“Malu karena kamu ketahuan nikah lagi, atau malu karena kamu ketahuan udah punya istri, Mas?!” jeritnya hebat.
“Gak usah teriak, aku gak tuli!” bentak Arya melotot.
“Aku tiap hari kerja keras banting tulang buat bantu perekonomian keluarga, tapi kamu malah enak-enakan nikah lagi disini?! Di mana nurani kamu, Mas?!” erang Kiara, pria berusia empat puluh dua tahun di depannya menghela napas jengkel dan melengos. “Kenapa kamu lakuin semua ini ke aku?!”
“Cukup, Kia!” sembur Arya. “Harusnya kamu tuh sadar, bukan nyalahin aku terus! Kalau aja kamu bisa ngasih semua hak-hakku selama nikah, aku juga gak bakalan nyari perempuan lain!”
“Kamu bilang apa? Hak?” tak percaya Kiara. “Apa nyiapin semua kebutuhan kamu, ngelayanin tanpa peduli aku sakit atau gak, itu semua bukan hak?”
“Ya itu emang udah kewajiban kamu sebagai istri!” tekan Arya menahan suara agar tidak terdengar sampai rumah.
Kiara sekali lagi harus menunjukkan ekspresi tidak percaya, usai mendengar jahitan kata suaminya.
“Bukannya kewajibanku, itu hakmu? Terus, mana yang gak aku penuhi?” pilu perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu.
Arya menampar udara dengan napas kasarnya, dia menatap sisi kanan dan meletakkan tangan pada pinggang. Terlihat jelas bahwa pria pemilik tinggi 160 sentimeter itu sedang sangat kesal.
“Harusnya aku yang lebih pantes ngomong soal hak,” ucap Kiara dalam air mata menetes. “Apa yang pernah kamu kasih ke aku sama anak-anak selama ini? Selembar buku buat sekolah aja, kamu gak pernah ngasih ke mereka. Apa lagi ke aku?”
Kiara berucap pilu. Namun, pria berkemeja putih di depannya tetap saja menunjukkan kekesalan, tanpa sedikit saja terlukis rasa bersalah dari wajah yang tetap dibuangnya ke arah lain.
“Kenapa kamu lakuin semua ini ke aku, Mas? Apa sedikit aja, kamu gak inget sama anak-anak yang terus nungguin kamu di rumah?” sendu Kiara, lawan bicaranya tetap senyap. “Jawab aku, Mas! Kenapa mas tega nikah sama perempuan murahan itu?!” teriaknya mengguncang tubuh Arya.
“Dia bukan perempuan murahan, dia itu istriku!” Arya menurunkan kasar kedua tangan Kiara dari kemejanya. “Aku cinta sama dia, karena bisa nerima semua kekuranganku! Dia perempuan yang bisa buat aku bahagia! Ngerti?!”
Kiara membeku tak percaya, mulutnya terbuka dengan mata redup juga kedua alis menurun. Kaki semula mampu menopang tubuh memiliki berat 55 kilogram itu, kini berubah lemas seusai jawaban tegas dilancarkan oleh pria berambut cepak tersebut.
“Sekarang kamu udah tau semuanya, kan? Jadi mending kamu pulang, dan jangan pernah ganggu hidupku sama Mutia lagi! Aku cinta sama Mutia, dan aku gak bakal biarin siapa pun nyentuh dia!”
“MAS!” jerit Kiara, tubuhnya bergetar hebat.
“Berani banget kamu teriak sama Arya!” Seruan terdengar dari balik tubuh Kiara. “Perempuan gak tau diri!” sambungnya, melayangkan tamparan tepat saat Kiara menoleh.
Panas. Wajah Kiara yang sudah merah padam karena amarah serta air mata, bertambah merah akibat tamparan dari Wulandari—ibu kandung Arya.
“Jadi, gini kelakuan kamu ke anakku tiap hari?!” hardik wanita bertubuh gemuk itu. “Pantes aja Arya lebih milih perempuan lain, orang kamunya gak pernah hargain dia jadi suami!”
Kiara mendengar semua pintal kata ibu mertuanya sembari memegangi pipi kiri terasa panas. Bibirnya keluh untuk bisa langsung membalas, perasaan tidak percaya pun masih mengembang pesat dalam hati tercabik-cabik. Kiara hanya mampu menatap wajah sang mertua, yang selama ini dianggapnya begitu baik.
“Dari awal aku gak pernah setuju kalau Arya nikah sama orang kayak kamu, yang cuma lulusan SMA. Asal-usulmu aja gak jelas, beda sama Mutia yang dari keluarga baik-baik dan lulusan sarjana!” hina Wulandari, menelisik sinis wajah Kiara. “Kamu itu cuma anak haram yang dibuang, jadi sadar diri!”
“Jaga ucapanmu!” teriak Kiara. “Jangan pernah berani hina orang tuaku, atau aku bisa ngebales lebih dari apa yang kamu lakuin!”
“Beraninya kamu teriak! Dia itu mamaku!” teriak Arya, menampar kencang wajah Kiara.
Tubuh kurus Kiara terdorong sampai membentur mobil terparkir di sisi kanannya. Lengan terbentur hebat, alarm mobil pun langsung berbunyi dan cepat dimatikan oleh pemiliknya, yang tak lain adalah tamu undangan Arya.
“Perempuan murahan kayak kamu, gak pantes teriak ke mamaku!” maki Arya menunjuk Kiara.
Perempuan bercelana jeans panjang itu berdiri tegap, melepaskan lengan sakit yang sempat dipengangi. Kiara mengulas senyum sinis, dia menatap bengis pada Arya.
“Dia emang mamamu, orang yang gak bisa ngedidik anaknya! Kalian berdua emang gak jauh beda, sama-sama manusia topeng menjijikan!”
“KIARA!” Arya berteriak menggelegar, mengangkat tangan kanan dan siap menampar lagi wajah istrinya.
Akan tetapi, kali ini Wulandari menghalangi tangan putranya untuk memukul. Wanita berambut keriting kecil sampai punggung itu, menurunkan tangan putranya dengan mata tertuju sengit pada Kiara.
“Gak usah bikin tangan kamu kotor buat mukul orang rendahan kayak gini! Inget, kamu punya pendidikan sarjana dan kamu juga manajer, jadi gak pantes buat ribut sama orang yang derajatnya lebih rendah dari binatang!” cemooh Wulandari.
Kiara menarik tinggi ujung bibir kanannya, dia mendekati suami juga mertuanya. “Jangan pernah banggain label dunia, Bu. Sarjana belum tentu pinter, dan jabatan gak jamin kalau orang itu punya derajat lebih tinggi.” Kiara berceloteh.
“Di dunia ini banyak orang pinter, sayangnya mereka kurang beruntung untuk bisa sekolah tinggi. Jadi, jangan pernah ngelihat orang lain dari setinggi apa pendidikannya. Jabatan itu cuma pakaian, suatu saat udah pasti bakal dilepas. Gak perlu banggain apa-apa, karena manusia gak pernah punya apa-apa. Tangan yang ibu bilang tangan sendiri, itu masih punya Tuhan, dan kapan aja bisa diambil!”
Kiara menekankan setiap kalimatnya, melapisi dengan senyum tipis. Arya dan Wulandari melengkungkan bibir ke bawah, lirikan merendahkan diberikan pada perempuan berambut hitam pekat di depan mereka.
“Aku gak bakalan terima sama semua perlakuan kalian hari ini. Tunggu aja, aku bakal buka topeng kalian dan nunjukkin ke dunia, siapa kalian sebenernya!” cetus Amanda.
“Babu yatim piatu kaya kamu, gak bakalan bisa ngelakuin apa-apa kecuali ngancem,” ujar Arya. “Pergi sana, jijik aku liat muka jelekmu!”