MUNTAH DARAH

1048 Kata
"Ada apa ini?" Sekilas wanita tersebut melihat arah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Tanpa menjawab, Sofia langsung meletakkan dua foto di atas meja. "Tolong Mamak Eno perhatikan dua foto ini! Apa Sofia yang salah, atau kah memang benar adanya kayak begini." Lalu, Sofia menoleh pada Eno yang ikut memperhatikan. "Eno juga boleh lihat dua foto ini, dan katakan apa yang tampak!" pinta Sofia pada mereka berdua. Mamak Eno menggeser duduknya,  di sebelah Eno, yang sudah serius mengamati dua foto tersebut. Mereka berdua saling memperhatikan kedua foto Sofia bayi dan saat kanak-kanak. Lalu, keduanya saling beradu pandang. "A-apa ... yang Eno lihat?" tanya Sofia penasaran. "Bayangan yang ada di belakang foto bayi ini. Sama bayangan yang ada di belakang kamu saat masih anak-anak," sahut Eno. Gadis itu menoleh ke arah sang mama. "Kalau Mama, apa yang dilihat?" "Aku kada bisa lihat bayangan itu dengan jelas. Menurut Mama malah bayangan itu kada ada," tegas Mamak Eno. Ucapannya membuat Sofia mengernyitkan dahi.  "Jadi Mamak Eno kada melihat?" "Samar hampir kada kelihatan." "Mungkin kada semua orang bisa melihat bayangan itu, Sofia."  Apa yang dikatakan Eno ada benarnya juga. Membuat Sofia hanya bisa manggut-manggut. "Mamak Eno, tinggal di sini sudah lama?"  "Aku sejak kecil tinggal di sini, Mbak Sofia. Memangnya ada apa?" Walau awalnya tampak ragu. Tak ada pilihan buat Sofia untuk menceritakan sebagian kecil hal yang dia alami. "Apa Mamak Eno kenal sama Mama udah lama?" "Semenjak mereka pindah rumah.  Cuman nikahnya duluan Mama kamu, Mbak Sofia." "Sekitar tahun berapa ya, mereka pindah ke sini." Tampak wanita itu mengingat-ingat.  "Sekitar lima tahunan sebelum kamu lahir. Mereka pindah ke sini." "Apa ... saat itu, Mamak Eno melihat rumah Sofia itu aneh atau kayak gimana gitu?" Reflek Mamak Eno menggeleng. "Rumah Mbak Sofia saat itu, masih terlihat biasa. Kada ada hal yang menyeramkan. Cuman, setelah melahirkan kamu, ada yang aneh sama Papa, Mama, kamu." "Aneh, gimana itu Mamak?" "Mereka berdua lebih banyak berdiam, di dalam rumah. Kada pernah lagi membaur sama warga." "Kenapa sampai seperti itu, Mamak Eno?" "Kita waktu itu kada ada yang tahu. Apalagi soal kehamilan Mama kamu. Kita kada ada yang perhatian, tiba-tiba udah tampak besar aja perutnya." Sofia semakin terlihat bingung. Dia tak tahu apa yang mesti dilakukan olehnya. Atau apa yang mesti dia katakan lagi. "Jadi semenjak Mama hamil, jadi jarang keluar rumah? Tetrutup gitu Mamak Eno?" "Iya, Mbak Sofia." Terdengar embusan napas panjang Sofia yang tertunduk. "Apa menurut Mamak Eno dan tetangga sekitar itu hal aneh, kalau Mama jarang keluar?" Mamak Eno menggeleng. "Waktu itu kada ada yang perhatian Mbak Sofia. Semua melihatnya wajar saja. Cuman sewaktu Papa kamu sakit, orang-orang rada mikir yang aneh." "Aneh? Bukannya Papa sama Mama meninggal karena kecelakaan?" Sontak pertanyaan itu mengejutkan Mamak Eno. Dia mulai bingung dan merasa salah dalam memberikan keterangan pada Sofia. Berulang kali wanita itu, mengusap wajahnya. Sangat tampak kecemasan yang bergelayut di wajah   "Bilang aja Mamak Eno, yang sabujurnya!" (Sabujurnya = sebenarnya) Tampak wanita itu semakin gelisah. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan Paman Botek pada Sofia saat ini. Mengapa sampai gadis ini tidak mengerti sama sekali. 'Aku bingung. Apa yang harus aku jawab?'   "Kenapa Mamak Eno? Jawab aja. Bilang sama Sofia ini." "Papa sama Mama kamu bukan meninggal karena kecelakaan. Jadi, malam itu, waktu kamu masih usia sekitar 8 tahunan. Di tengah malam yang sunyi. Berteriak keras minta tolong sambil menggendong kamu." "Menggendong Sofia?" "Iya. Mama kamu panik. Sampai kada kuat berdiri. Lidia duduk di tanah depan pagar. Kakinya saat itu lemas." "Lalu ...?" Lidia yang merasakan kedua lututnya tak bisa dibuat bergerak. Akhirnya terduduk di tanah. Depan pagar rumah depan. Di sampingnya Sofia kecil ikut duduk dengan wajah sayu karena mengantuk. Suara Lidia pun terasa serak dan parau. Sudah tidak ada kekuatan untuk berteriak lagi. Sampai dia menemukan sebuah cara. Segera mengambil batu sebesar kepal tangan. Lalu memukul pagar besi rumahnya. Tak berselang lama. Salah seorang warga yang sedang berjaga di pos kamling tertarik untuk mendatangi asal suara kencang tersebut. Dari jauh, lelaki itu melihat Lidia bersama Sofia sudah lemas. Saat melihat kedatangannya. Raut wajah Lidia langsung semringah. Segera dia melambaikan tangannya tinggi ke atas. "Tolong ... tolong suami saya, Pak." "Ke-kenapa sama Pak Hasbi?" "Enggak tahu nah, Pak." Sebelum memasuki rumah, lelaki itu memukul kentongan untuk membangunkan warga. Walau masih jam sepuluh malam. Kampung itu terlihat sepi dan sunyi. Mungkin dikarenakan habis hujan. Hanya dalam sekian detik. Para warga sudah berkumpul di rumah Lidia. Termasuk Mamak Eno yang datang bersama keluarganya.  "A-ada apa ini Lidia?" Mamak Eno langsung mendekatinya. Lantas Lidia langsung memeluk erat tetangganya itu. "Ada apa?" ulang Mamak Eno heran. "Mas Hasbi, tiba-tiba muntah darah." Kemudian dia menarik tubuh Sofia kecil, hingga duduk di pangkuannya. "Coba lihat ini!" Lidia seperti menunjukkan sesuatu pada Mamak Eno. Sebuah tanda merah di bagian leher dan lengannya. Tampak merah kebiruan seperti bekas cengkeraman yang kuat. "I-ini kenapa asalnya, Lidia?" "Nanti aku ceritakan. Ayo tolong suami aku dulu!"  "Bapak-bapak sudah pada masuk rumah kamu semua, Lidia." Dibantu oleh Mamak Eno. Lidia pun akhirnya bberdiri dan berjalan pelan sambil menggandeng Sofia. Gadis kecil itu tampak ketakutan dan bingung. "Yun! Bilang tuh sama Lidia agar si Sofia ajak ke rumah kita dulu," ujar Ibu mertua Mamak Eno. "Iya, Mak." Segera wanita itu mendekati Lidia yang cemas dan panik. "Gimana kalau Sofia diajak Mamak mertua aku ke rumah? Kasihan 'kan dia?" "Apa enggak merepotkan?" "Kada lah. Mamak Mertua aku yang bilang begitu." Lidia pun menyerahkan Sofia yang matanya terlihat berat karena mengantuk. Lantas wanita menggendong Sofia untuk dibawa ke rumahnya. "Ayo masuk!" ajak Lidia. Beberapa orang laki-laki sudah berada di dalam kamar. "Ini tadi asalnya kayak apa Bu Hasbi?" "Tadi itu sebenarnya Sofia yang kayak kena gangguan Pak RT. Kayak ada yang mengganggu dalam tidurnya. Sampai leher sama lengan Sofia lebam." "Terus?" "Kita langsung membangunkan Sofia, dan saya gendong. Cuman, Mas Hasbi kayak ada yang dorong dan langsung jatuh di lantai. Saat mau ke atas kasur, langsung muntah darah." "Semacam ada yang nyerang gitu, Bu Hasbi?" "Iya, Pak." Tak lama berselang. Tampak Botek menerobos kerumanan orang di kamar Hasbi. "Permisi! Permisi!" Dia pun langsung mendekati Hasbiansayah yang masih lemas. "Kita harus bawa ke dokter, Botek!" seru Lidia. "Ini kada akan sembuh biar pun dibawa ke dokter," sahut Botek, yang langsung mendapat respon anggukkan dari para tetangga yang lain. "Memangnya, suami saya ini kenapa?" tanya Lidia cemas dan bingung. _00_ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN