Saat Aulia hendak melongok. Kaki kanannya menginjak dahan yang licin. Hingga membuat dirinya tergelincir.
Dan ....
"Aughhh!"
Bughhh!
Brakkk!
"Aduuuuhhh!"
Sofia yang mendengar teriakan Aulia, langsung berlari keluar.
"Auliaaa!"
Seketika Sofia berlari ke arahnya. Begitu juga Alam dan Eno yang mendengar. Langsung berlari keluar menuju arah Aulia tergelincir dan jatuh ke tanah.
"A-ada apa ini?" teriak Alam panik. Begitu juga dengan Eno
Sambil nyengir kesakitan, Aulia menggosok bagian tubuhnya yang membentur tanah, sambil terus mengaduh. Sofia yang melihat ingin tertawa tapi ditahannya.
"Kamu ini kok bisa sih Lia? Pake acara jatuh segala. Bikin panik tau?" seloroh Sofia cemas.
Sambil membantu Aulia berdiri, Sofia memapahnya yang berjalan pincang.
"Kamu kada apa-apa kah?"
"Enggak apa-apa sih. Cuman perih bagian tangan sama kak, Sof."
Mereka pun duduk di teras belakang. Tampak Aulia menarik napas perlahan. Memulihkan perasaan yang berdebar. Tak lama Eno, sudah menyodorkan gelas pada Aulia.
"Minumlah, Lia! Bisa buat hilangin tegang kamu," ucap Eno.
"Makasih, En."
Setelah meneguk habis air putih. Aulia memegang erat tangan Sofia, dengan sorot mata yang tajam. Membuat Sofia terkesiap, atas sikap Aulia yang mendadak aneh.
"Kamu, ada apa sih?" Pertanyaan yang sama terulang dan belum dijawab oleh Aulia.
"Kalian tahu, apa yang bikin aku sampai tergelincir dari pohon jambu?"
Sofia, Eno dan Alam menggeleng.
"Saat kamu masuk ke dalam rumah tadi, aku seperti melihat sekelabat bayangan hitam yang mengikuti kamu dari arah belakang, Sof."
Deg!
"Aku?"
"Iya, kamu! Sangat jelas sekali aku melihatnya. Dia kayak memakai gaun putih. Cuman sekilas saja. Saat aku hendak melihat lagi, sosok itu telah menghilang."
"Hemmm! Sepertinya rumah kamu ini berhantu, Sof. Mungkin karena ditinggal terlalu lama," lanjut Alam. "Yah, selama tidak mengganggu sih enggak masalah."
"Lah, kalau sudah berani menampakkan diri seperti tadi, itu namanya sudah mengganggu, Mas Alam," sela Aulia yang tidak sependapat dengan kalimatnya.
"Iya, maksud aku sih begitu."
Di saat keseruan memperbincangkan tentang penampakan yang baru saja dilihat Aulia. Tiba-tiba,
Praaang!
Suara kencang terdengar dari arah dalam rumah. Seketika jantung mereka berdebar-debar, dan bulu kuduk berdiri merinding.
"Apa itu?" tanya Aulia histeris.
"Tenang ... tenang!" Alam berusaha menenangkan mereka bertiga. Lalu, dia beranjak bangkit dan berjalan masuk Diikuti oleh Sofia, Eno dan Aulia.
Walau belum beranjak masuk Ashar, mereka bisa merasakan suhu udara yang berubah. Begitu juga dengan aura yang berada di sekeliling mereka saat ini.
"Sepertinya dari ruang tengah," bisik Alam.
"Ya, udah. Kita lihat ke sana!"
Tepat di pembatas anatara ruang tengah dan lorong yang menuju arah kamar, mereka berempat berdiri memerhatikan sekitar tempat itu.
"Lihat itu, Mas Alam!" tunjuk Sofia, pada cermin oval yang besar terjatuh.
"Kok, bisa sampai ambruk? Padahal kedua kakinya ini kayu jati yang kuat. Enggak mungkin kalau terkena angin atau disenggol kucing bakal ambruk. Kecuali, memang didorong. Tapi, sama siapa?"
Kali ini, Alam berbalik memerhatikan mereka satu persatu. Seolah meminta jawaban atas pertanyaannya.
"Apa mungkin disenggol hantu tadi?" celetuk Aulia ngawur.
"Hussst! Jangan lah ngomong hantu terus Lia! Rumah ini akan semakin tambah angker dan menyeramkan," protes Eno.
Sedangkan Sofia hanya terdiam. Dalam lubuk hati paling dalam, dia membenarkan apa yang diucapkan oleh Aulia tadi. Ada kemungkiinan sosok yang dilihat Aulia lah, yang telah berbuat hal ini. Bertujuan untuk membuat mereka takut. Mungkin sosok itu, berniat memberikan peringatan pada mereka.
"Kamu kok jadi diam, Sof?" Alam menyenggol lengan kekasihnya. Tampak Sofia gelagapan, lalu dia berjalan mendekati cermin yang masih ambruk di lantai.
"Ehhh, coba Mas Alam berdirikan lagi cermin ini!"
"Oke."
Sebelum Alam menegakkan lagi cermin itu. Sofia mengingatkannya. "Tolong Mas jangan sampai kain penutupnya terlepas!" pinta Sofia. Me
mbuat Alam dan Aulia mengernyit. Mereka berdua memandang aneh pada Sofia.
"Kenapa?" Alam dan Aulia kompak bertanya.
"Ehhh, aku seram aja kalau melihat cermin ini!"
Suasana menjadi hening dan sunyi. Dalam waktu sekian detik, tak ada yang bergerak dan bicara sepatah kata. Sampai akhirnya Alam berbicara,
"Seram?"
Sofia mengangguk pelan.
"Tapi---"
Eno tak melanjutkan kalimatnya. Dia melirik ke arah Sofia yang juga melihat ke arahnya.
"Tapi apa, En?" tanya Aulia.
"Ehhh ... enggak apa-apa sih. Memang sebaiknya cermin itu dikasih penutup kain aja."
Aulia dan Alam saling berpandangan. Dalam benak keduanya, ada yang disembunyikan oleh Sofia dan Eno.
"Sepertinya ada yang kalian sembunyikan dari aku sama Aulia."
Sofia meneguk ludahnya.
"Oke, mungkin kalian berdua masih tidak ingin mengatakannnya sekarang. It's oke!"
Segera Alam mendirikan kembali cermin itu, lalu menutupkan kain. Sesaat Alam mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, sorot matanya tertuju pada kotak kecil yang terbuat dari kaca. Lelaki berparas tampan itu, dengan perawakan jangkung, berjalan menuju sudut ruang.
Sofia dan Eno terus memerhatikannya. Tepat di belakang Alam, Aulia mengikuti.
"Ini, apa?" tanya Alam.
Kali ini, Sofia dan Eno saling berpandangan. Tampak Eno mengangkat kedua pundaknya.
"Aku juga kada tahu lah Mas. Paman Botek sendiri waktu aku tanyain, kada paham jua."
"So-fia ... HIrang," eja Aulia, sembari menoleh ke arah Sofia yang masih terpaku di posisinya saat ini. "Sofia HIrang ini siapa? Kenapa namanya sama kayak kamu, Sof?" cecar Aulia, tanpa jeda.
"Tadi 'kan udah aku jawab. Aku juga kada tahu lah. Apa maksud nama Sofia Hirang itu!" Terlihat Sofia mulai jengkel. Dia melihat Alam dan Aulia, seakan tidak percaya pada dirinya.
Melihat ketegangan yang terjadi.
"Mending bikin rujak saja," celetuk Eno. "Jambu yang kamu ambil tadi enak itu, di belakang kan ada belimbing sama mangga."
"Udah enggak mood lagi aku. Penampakan tadi bikin selera aku hilang," sahut Aulia berjalan masuk arah kamar.
"Mending kalian istirahat sih. Mas Alam juga." Seraya Sofia menggandeng Alam untuk duduk di lantai yang berkarpet. "Mas besok aku ajak ke pulau Laut ya?"
"Ke Pulau Laut? Kota Saranjana?" Tiba-tiba, Aulia melongok dari arah dalam kamar.
"Dengar aja kamu!" tukas Sofia tersenyum.
"Denger dong. Aku paling suka kalau diajak jalan-jalan. Apalagi ada mitos tentang kota ghoib itu. Eno, emangt beneran enggak sih?"
"Antara percaya dan tidak! Kalau tidak percaya, kenyataannya ada beberapa kisah yang memang terjadi di sekitaran kota itu."
Aulia yang awalnya ingin rebahan, mengurungkan niatnya. Dia kembali bergabung dengan mereka.
"Lanjutkan kisah kamu tadi, En!"
"Ya, kata orang-orang tua dulu. Ada yang pesan alat-alat berat menuju kota Saranjana, yang datangnya dari Jakarta. Kada bertuan, kada ada yang tahu milik siapa. Padahal itu udah dibayar lunas."
"Wowww!"
"Kada itu aja. Pernah juga katanya mobil mewah juga. Masih katanya orang-orang sekitar sana. Kota Saranjana itu, sebuah kota dengan peradaban yang tinggi. Kalau kita manusia masuk ke alam mereka, katanya enggan pulang."
"Benarkah?" lanjut Aulia sangat tertarik dengan kisah itu.
"Wallahualam. Hanya Allah yang tahu. Kita ini 'kan dengarnya dari kasak kusuk aja."
"Hemmm ... aku jadi penasaran dengan pulau Laut."
"Ya, pulau yang ada paling ujung," sahut Sofia.
Tok tok tok!
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk.
"Kalian dengar itu?" tanya Aulia melotot.
"Sepertinya dari pintu depan," sahut Eno. "Biar aku lihat!"
Tok tok tok!
Saat pintu dibuka perlahan, berdiri seorang anak kecil, yang membawa sebuah bungkusan.
"Dari Acil Mina, katanya kada bisa ke sini nanti malam."
"Apa ini?"
"Makanan buat nanti malam, Kak."
"Ohhh ... makasih lah."
Bocah kecil itu langsung berlari menjauh. Saat Eno hendak menutup pintu, sekilas dia seperti melihat seorang gadis kecil yang bersembunyi di balik pohon jambu yang ada di halaman depan. Segera gadis itu mengusap kasar kedua matanya dengan lengan. Lalu, mengerjap pelan.
"Kayak ada anak-anak yang smebunyi di situ?" bisik Eno.
Ketika langkahnya hendak keluar. Sebuah tangan menggapai pundaknya.
"Aaahhh!" Sontak Eno berbalik dengan terkejut. "Sofiaaaa!"