KEDATANGAN ALAM DAN AULIA

1208 Kata
Keduanya berjalan santai menuju pintu keluar. Saat mereka berdiri menunggu. Sepintas Sofia seperti melihat sosok wanita yang baru saja melintas. Dia terlihat mirip dengan Sofia Hirang. "Ada apa?" "Pikiran aku, kayaknya tambah kacau." Eno  memindai Sofia dari ujung rambut hingga kaki. Wajahnya terlihat sangat serius, memandang Sofia yang tampak pias.. "Kacau, kenapa?" "Aku tadi kayak melihat seseorang yang mirip dia. Pakaiannya itu, juga semuanya." "Kalau mirip dia, berarti mirip kamu dong Sofia?" Sofia hanya bisa tertunduk dan menggeleng. "Mungkin cuman imajinasi aku aja, Eno. Dah lah, kada  usah dipikirin." _Lima belas menit berlalu_ Pesawat yang ditumpangi Alam dan Aulia, sudah mendarat. Tampak Eno dan Sofia berjalan mendekati pintu keluar. Tak sampai lima menit, Sofia berteriak dan melambaikan tangan ke arah mereka. "Mas Alam!" Teriakan Sofia membuat Alam dan Aulia pun membalas dengan senyuman. Mereka menghampiri di mana Sofia dan Eno berdiri. Sofia lamgsung menjabat tangan dan memeluk pinggang Alam. Lalu, memeluk Aulia.  "Kenalin Eno, tetangga rumahku." Eno pun bersalaman dengan Alam dan Aulia. "Yuk, ke mobil!" ajak Eno. Mereka segera mengikuti langkah Eno yang mendahului. "Kabar kamu gimana? Kok kurusan gitu?" tanya Alam pada Sofia yang bergelayut manja di lengan Alam. "Yah, mungkin menyesuaikan jenis makanannya, yang dikit beda sih Mas. Cuman, enak sih. Aku suka." Sengaja Sofia berbohong. Tidak mungkin dia akan mengatakan Permasalahan yang sebenarnya.  "Berarti kerasan dong di sini?" sahut Aulia. Sofia tidak bisa menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Dia hanya tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Eno yang melirik sekilas ke arah mereka. "Ini pakai mobil siapa, Sof" tanya Alam. "Dikasih pinjam Eno, Mas." "Wahhh, makasih banyak ya, No. Untung punya tetangga sebaik kamu Sofia." Eno hanya terseyum tipis. "Apa aku yang nyetir?" Alam menawarkan diri. "Kada usah Mas. Aku udah biasa kok." "Kada?" ulang Alam lirih. "Kada itu sama dengan tidak Mas," tukas Sofia menjelaskan. Mereka berempat telah memasuki mobil.  "Kita cari sarapan dulu, En!" ujar Sofia. dari jok belakang. "Oke. Di mana ini?" "Terserah kamu aja, yang penting enak. Terus cocok sama lidah Jawa." "Oke. Kalau nasi kuning gimana?" "Boleh, aku suka tuh nasi kuning," timpal Aulia, yang sudah menahan rasa lapar. "Di sini juga ada bakaran ikan, terus menu serba ikan, ada juga. Terserah mau yang mana?" tawar Eno. "Aku juga suka bakaran ikan sama menu ikan," sahut Aulia lagi. Mmebuat Eno dan Sofia tergelak. "Susah deh kalau ngomongnya sama orang yang kelaparan," celetuk Sofia terkekeh. Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi. Menuju kota. Hanya dalam waktu sekian menit, mobil sudah berbelok menuju sebuah restoran, yang menyajikan segala macam makanan khas Banjar. "Di sini juga ada Itik Gambut." "Apalagi itu?" tanya Aulia pada Eno. "Kalau di jawa ya kayak nasi bebek. Enak juga." Aulia serasa melayang. Berulang kali dia meneguk ludahnya sekedar membasahi tenggorokan dan rasa lapar yang mendera. "Yuk, pesan aja!" ujar Sofia. Mereka pun memesan beberapa menu sesuai info yang diberikan oleh Eno. Alam dan Aulia sangat menikmati hidangan yang telah tersaji. Sekian menit berlalu. Semua makanan yang dipesan pun tandas. "Dari sini ke rumah Sofia masih jauh?" tanya Alam. "Udah dekat sih, Mas. Tadi itu melewati rumah kita. Kan memang Eno ajak ke restoran sini." "Ohhhh ...." Tepat pukul satu siang. Mereka sampai di rumah. Tampak Paman Botek dan Acil MIna telah menunggu mereka di teras depan. "Siapa itu, Sofia?" tanya Aulia. "Dia yang dipercaya Nini aku, jaga dan rawat rumah ini. Sejak kematian Papa sama Mama." "Hemmm. Yang kata kamu dulunya berkerja sama mendiang Papa kamu itu?" "Tepat sekali." "Kelihatan kalau mereka orang baik." Alam pun ikut nimbrung pembicaraan mereka. Sofia pun manggut-manggut. "Assalamualaikum!' ucap Alam, yang langsung menyalami mereka berdua. Begitu juga dengan Aulia. "Waalaikumsalam. Ayo masuk! Di luar panas," ajak Mina, turut senang. Karena Sofia mempunyai teman dan tidak sendiri. Belum tentu dia dan sang suami akan bisa terus menemani. Segera Sofia memberikan bungkusan yang berisi makanan. "Apa ini, Sofia?" "Tadi beli makanan, Cil. Untuk orang di rumah." "Ohhh, makasih ya. Berarti kalian udah pada kenyang ini?" "Sudah, Bu," tukas Aulia. "Untung aku tadi kada jadi mengolah sayur asam ikan. Masihnya aku taruh di kulkas, Sofia." "Kalau dah masak, bisa enggak kemakan nanti," lanjut Aulia ramah. Paman Botek berdiri dari tempat duduknya. Dia mengajak Alam untuk mengikutinya ke ruang tengah. "Ini Nak Alam kamarnya nanti. Sudah Bapak bersihkan. Semoga kerasan." "Terima kasih, Pak." Tampak Sofia membawakan travel bag, milik Alam ke kamar. "Lia! Bawa jug tas kamu taruh di kamar aku!" ujar Sofia. "Oke." Segera Aulia penuh semangat menarik travel bag dan tas ransel, menuju sebuah kamar yang tertutup rapat. Krieeeet! Perlahan pintu terbuka pelan. Aulia mendorong dengan ujung kaki, membuat pintu itu terbuka lebar. Tepat di hadapannya, sejajar dengan dia berdiri di ambang pintu. Aulia melihat sebuah cermin yang beda satu paket dengan meja rias. "Hemmm ... besar juga kamarnya Sofia." Sambil pandangannya yang terus mengitari seluruh isi kamar. Saat tanpa sengaja memperhatikan cermin, sekilas Aulia seperti melihat seseorang yang berkelebat di belakangnya. Sontak dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa pun. "Mungkin Bu MIna," bisik Aulia. Entah mengapa hatinya merasa aneh dengan kamar ini. Ada perasaan yang lain dan mengganjal. Entah apa? Aulia bisa merasakan aura yang berbeda. Penuh misteri, kesedihan akan tetapi juga mencekam. Seakan semua berbalut menjadi kesatuan. "Apa yang terjadi di kamar ini? Atau, mungkin sama rumah ini? Auranya sangat kelam sekali." Saat Aulia hendak berjalan masuk. Tak lama muncul, Mina dari kamar Sofia. Yang terus memeprhatikan Aulia. "Mbak Aulia!" Sontak wanita itu, membuat Aulia sampai berjingkat karena terkejut. Mina tibda-tiba sudah berada di sampingnya tanpa bersuara. 'Apa mungkin aku terlalu fkus mengamati kamar ini?' tanya Aulia dalam hati. "Mbak Aulia, bukan di kamar itu! Ini kamar Sofia." "Ohhh!" Aulia hanya bisa melongo, dan menarik tasnya keluar dari kamar. Lalu, menutup pintu kamar lagi dengan rapat. "Ohhh, maaf ya Bu. Saya salah kamar. Tadi saya kira itu kamarnya Sofia." Mina tersenyum, sembari menunjukkan kamar Sofia.  "Itu tadi kamar mendiang orang tua Sofia." 'Ohhh, pantas. Cuman kenapa auranya aneh gitu?' batin Aulia, penasaran.  "Pasti tadi salah kamar ya?" Tiba-tiba Eno sudah berdiri di depan pintu, sembari melipat tangannya. "Iya. Kamu juga enggak kasih tahu aku." "Aku tadi sibuk sama HP. Kada tahu kalau kamu mau ke kamar." Aulia hanya menyeringai. "Terus Sofia di mana?" "Kayaknya di kamar belakang, sama Mas Alam terus Paman Botek," sahut Aulia. Segera Aulia merapikan pakaiannya. Dia mengeluarkan peralatan mandi serta handuk dan baju ganti. "Aku mau mandi dulu, No. Gerah kali di sini." "Bukannya di Jawa juga gerah?" "Iya, cuman enggak panas sekali. Nih, sampai keringatan terus aku." "Ya, udah. Mandi sana!" Bergegas  Aulia berjalan ke arah belakang. Dia berhenti sebentar di depan kamar Alam yang pintunya terbuka lebar. "Mau mandi?" tanya Sofia. Aulia mnegangguk. "Kamar mandinya di sebalah kamar ini persis. Yang satu masih bocor belum Paman perbaiki," lanjut Sofia. "Besok lah aku perbaiki, Sofia. Soalnya banyak orang, biar kada gantian nah."  "Makasih lah, Paman," ucap Sofia, terlihat senang. Tak lama setelah menyiapkan semuanya, Mina dan suami berpamitan pulang. "Malam ini kita kada tidur di sini lah, Sofia. Kamu 'kan udah ada teman lah," tukas Mina. "Iya, Acil." Sofia pun mengantar mereka berdua hingga teras depan. Besok ke sini 'kan Acil?" "Iya lah. Setiap hari kita ke sini, Sofia. Kalau kada malam, ya siang," sahut Paman Botek. Setelah kepergian pasangan suami istri itu. Sofia menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa?" tanya Alam yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Sofia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN