"Tuh tuh tuh! Dia ada di belakang kamu. Bayangan itu ada di belakang kamu Sofia!" Hampir berteriak Eno mengatakannya.
Saat berada di dalam kamar. Eno melihatnya bukan hanya sebuah bayangan saja. Namun, sosok itu terlihat nyata. Seorang wanita yang membelakangi dirinya dengan memakai gaun putih. Segera Eno menekan pause lagi, dan video terhenti. Dia kembali screenshoot, untuk nanti dibesarkan.
"Sebelum aku play lagi, perhatikan seksama Sofia!" ujar Eno.
Video kembali dalam posisi jalan. Perhatian Sofia dan Eno sedang terfokus pada sosok Sofia di dalam kamera. Sampai keduanya melihat tangan Sofia yang tiba-tiba bergerak pelan. Sepertinya dia mengarahkan ujung jari ke arah depan d**a.
"A-apa yang dilakukan oleh aku?" tanya Sofia, merasa aneh. Karena dia merasa tidak melakukan gerakan yang seperti terlihat di layar HP. Lantas dia menoleh pada Eno, dan gadis itu memberi kode pada Sofia untuk terus memperhatikan video yang sedang berlangsung.
Gerakan tangan yang terangkat tadi, kembali diturunkan. Kemudian mereka bisa melihat, Sofia maju dua langkah, hingga tubuhnya merapat di cermin. Ujung jarinya yang berdarah, mulai menuliskan sebuah kalimat yang sama.
KAMU BUKAN SOFIA. KARENA AKU YANG AKAN MENJADI SOFIA!!!
Sontak Sofia terhenyak, dengan kenyataan yang dia lihat. Dalam video itu membuktikan kalau dirinya lah yang melakukannya.
"Ini jelas kada mungkin! Bukan, aku yang melakukannya. Bukan aku!" Sofia terus meracau. Eno pun berusaha menenangkan dirinya.
"Aku tahu, Sofia. Aku yang akan menjadi saksinya, kalau bukan kamu yang menulis di cermin itu."
"Bagaimana bisa, kenyataan sama di video berbeda? Apa ... kamu memang melihat aku yang menulis kalimat itu?"
Eno menggeleng.
"Bukan, Sof. Aku melihat betul kalau kamu hanya berdiam sambil keheranan melihat ujung jari kamu yang berdarah. Iya 'kan?"
"I-iya. Terus ... tiba-tiba ada tulisan itu yang tampak."
"Kamu benar Sofia."
Lalu, keduanya terdiam.
"Ehmmm, jadi dia bisa berbuat sampai sejauh ini, Eno. Si dia ini bisa membuat siapa pun mengira aku gila. Iya 'kan? Bahkan pacar aku aja, kada percaya lah, sama aku. Dia selalu nutup telpon kalau aku bilang, itu bukan aku."
"Sudahlah, jangan kita pikirkan. Yang terpenting adalah pergi ke pulau Laut, mumpung pacar kamu ada di sini."
"Iya, Eno. Mending sekarang kita bawa tidur dulu. Besok kita 'kan jemput ke bandara."
"Cuman aku masih belum ngantuk, Sof. Aku masih kepikiran soal video itu. Kok bisa ya dia buat kayak gitu. Ini tuh kayak dia ini punya kecerdikan yang luar biasa loh Sof. Dan ... ingat pesan Paman Ali sama Nini Amas. Kamu harus hati-hati!"
Sofia mengangguk.
"Kita harus cari tahu siapa pemberi mata anak panah itu."
"Ehhh ... kamu apa kada pernah perhatikan di ruang tengah?"
"Ruang tengah rumah aku?"
"Iya lah. Rumah siapa lagi?"
Dahi Sofia mengernyit. Tanpa bertanya lagi, Sofia langsung turun dari ranjang.
"Ehhh, kamu mau ke mana?"
"Ayo, ke ruang tengah! Kata kamu di ruang tengah."
Eno yang masih duduk langsung tertunduk.
"Duduklah dulu!"
"Kelamaan, ayo langsung ke ruang tengah aja!" ajak Sofia yang sudah membuka pintu. Tanpa menunggu Eno, Sofia sudah berjalan menuju ruang tengah. Melihat ditinggal sendirian di kamar. Eno pun berlari menyusul.
"Nah, sekarang kita udah ada di ruang tengah. Ada apa dengan ruangan ini?"
Tatap mata Sofia tertuju pada Eno.
"Kamu lihat kotak dari kaca itu. Kamu pernah melihatnya 'kan?"
Sofia mengangguk.
"Kamu baca juga di tulisan di dalamnya juga?"
"Iya, Sofia Hirang. Dari tulisan itu lah, yang menginspirasi sebutan Sofia Hirang buat si dia ini, En."
"Apa pernah kamu tanyakan sama Paman?"
"Pernah. Cuman Paman bilangnya juga kada tahu."
"Yang jadi pertanyaan aku, kenapa ada tulisan nama kamu di sana? Terus, itu kayu apa?"
Semua yang kamu tanyakan itu. Ada di kepala aku sejak pertama kali datang. Tapi, belum terjawab juga sampai sekarang."
Eno menghela napas panjang. Dia merasa masih ada yang disembunyikan oleh Paman Botek. Terkait tentang kayu hitam dan tulisan yang ada bersamanya.
Lalu, Sofia dan Eno duduk di lantai. Dengan pandangan yang terus mengarah pada kayu tersebut.
"Sepertinya masa lalu kedua orang tua kamu, benar-benar menyimpan banyak misteri Sofia."
"Mungkin, Eno. Kamu tahu apa yang aku rasain sekarang?"
Eno kembali menggeleng.
"Aku merasa begitu banyak beban masalah semenjak datang ke sini. Aku merasa seperti berada dalam sebuah kotak. Yang semuanya terlihat asing. Aku pun merasa kedua orang tua aku terlalu banyak menyimpan misteri kehidupan mereka saat itu. Kenapa kada ada seorang pun yang memberitahukannya?"
"Aku paham dan ngerti perasaan kamu saat ini, Sofia."
"Kamu bayangin, aku hidup sebatang kara sekarang. Kada punya siapa pun juga. Terkadang semua ini bikin aku down, Eno. Seperti saat aku melihat video itu. Dengan mudahnya semua fakta menjadi terbalik."
"Jangan bilang kalau kamu putus asa! Karena itu yang diinginkan si dia, Sofia."
Manik mata Sofia bergetar hebat. Sehebat kekuatannya menahan tangis di depan Eno.
"Kenapa kamu diam?"
"Aku turu merasakan apa yang tengah kamu rasa saat ini, Sofia. Kalau aku jadi kamu belum tentu aku akan sanggup. Tapi, aku minta kamu harus tetap kuat. Hadapi si dia yang akan menteror kehidupan kamu."
Eno meraih tangan Sofia.
"Aku akan bantu kamu, sampai kamu keluar dari masalah ini. Kamu bisa janji Sofia?"
"Janji apa?"
"Bahwa kada pernah putus asa lagi. Kamu harus tetap terus berjuang lenyapkan keanehan ini."
"Insyaallah, En."
***
Tepat pukul 07.00 WIB Tampak Sofia dan Eno telah bersiap menjhemput Alam dan Aulia.
"Bujur nih, kada mau sama Paman?" ulang Paman Botek. (Bujur = benar)
"Serius ini Paman. Kita berdua bisa nyetir mobil kok. Punya SIM juga. Iya 'kan, Eno?"
"Betul."
Tampak Mamak Eno berlari kecil menuju arah mereka.
"Siapa yang menyetir nanti?" Wanita itu bertanya dengan mimik wajah serius.
"Kita berdua bisa gantian, Mak. Sofia bisa juag nyetir. Jadi, Mamak jangan lah panik."
Mamak Eno pun mengangguk. Seraya melepas kepergian mereka. Terlihat Eno yang duduk di jok sopir.
"Bismillah!" ucap Eno. Mobil mulai melaju pelan, keluar halaman.
Sofia melambaikan tangannya ke arah mereka.
"Mamak kamu kelihatan masih cemas, En."
"Biasalah Mamak itu. Padahal aku ini udah biasa naik mobil juga."
"Dari sini perjalanan berapa jam?"
"Paling satu jam an. Semoga kada ada halangan."
"Aamiin."
Mobil mulai meluncur dengan kecepatan tinggi. Tepat pukul 09.30 WIB, mobil mereka memasuki pelataran parkir bandara.
"Yuk, turun!" ajak Eno.
"Bentar, En."
Segera Sofia membuka pesan yang baru saja masuk.
"Kok pesannya kosong??"
"Memang pesan dari siapa?"
"Dari Mas Alam. Pacar aku, En."
"Hemmm, kosong kek mana?"
Segera dia menunjukkannya pada Eno.
"Coba kamu lihat. Hanya sebuah pesan kosong yang terus terkirim berulang-ulang."
"Hemmm, sudah ada dua puluh pesan masuk tanpa ada isinya. Aneh juga. Apa pacar kamu Hpnya kepencet kali, Sofia."
"Iya, itu kemungkinan yang terjadi."
"Iya, udah! Ayo turun!"
Keduanya berjalan santai menuju pintu keluar. Saat mereka berdiri menunggu. Sepintas Sofia seperti melihat sosok wanita yang baru saja melintas. Dia terlihat mirip dengan Sofia Hirang.
"Ada apa?"
"Pikiran aku, kayaknya tambah kacau."
Eno memindai Sofia dari ujung rambut hingga kaki. Wajah Eno terlihat sangat serius.
"Kacau, kenapa?"
_00_