PERASAAN YANG ANEH

1009 Kata
Malam semakin beranjak naik. Sofia menunggu kedatangan Paman Botek dan istri. Raut wajah Sofia menandakan kegelisahan. Berulang kali dia menarik napas dalam-dalam. Berharap apa yang baru saja dia alami, hal wajar. Sofia mulai menyalakan seluruh lampu di semua ruangan, agar menghilangkan aura suram rumah itu.  “Dulu rumah ini, tak seperti sekarang. Auranya kayak berbeda sekali,” ucapnya lirih sembari menyalakan saklar lampu teras depan rumah.  Krekkk! Terdengar suara pagar yang dibuka perlahan. Bergegas Sofia menoleh dan tersenyum. Setelah melihat siapa yanga datang. Paman Botek beserta istri, berjalan ke arahnya.  “Paman Botek,” sambut Sofia senang. “Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam, Paman.” “Ini bini Paman, Sofia,” ucap Paman Botek. Seraya memperkenalkan sang istri. Gadis itu langsung menyalami wanita berkerudung hitam, yang juga tersenyum padanya. “Kena  biar Acil  Mina yang bersihkan semua isi rumah,” ujar Paman Botek. (Kena = nanti, Acil = Tante)  “Terimakasih, Paman.” “Ini ada Acil bawakan makanan buat Sofia makan malam. Gangan asam haruan,” cetus Acil Mina. (Acil = Tante, gangan = sayur, haruan = ikan gabus) “Masih ingat?” tanya Paman Botek. “Sedikit Paman. Rada lupa juga nah Sofia.” Paman Botek beserta istri, langsung menuju dapur. Mina mempersiapkan piring dan wadah untuk sayur ikan gabus.  "Pasti Sofia tak pernah makan lauk nang kayak beginian," cetus Mina. "Iya, Cil. Mun di Jawa kadada pang kayak begitu." (Kalau di Jawa tidak ada lauk sayur ikan seperti itu) "Ayo, kita makan!" ajak Paman Botek. Disambut anggukan oleh Sofia Hasbi. Malam ini mereka makan bersama. Ingin hati,  untuk bercerita perihal cermin aneh itu. Namun, Sofia urungkan niatnya. Dia tak mau jika paman Botek dan istri, malah tak mau ke rumah ini lagi. Selesai makan malam. Mereka saling bercerita tentang masa lalu. Terutama Paman Botek. Menceritakan bagaimana  kebaikan orang tua Sofia.  Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka berdua akhirnya berpamitan pulang. Walau enggan dengan kepergian mereka, Sofia tak berani bilang. “Besok pagi, Acil ke sini lagi bersih-bersih. Kalo malam biar Sofia ditemani sama Paman,” ujar Acil Mina. Sofia hanya mengangguk perlahan. Ingin dia mengatakan pada mereka agar tidur di rumahnya malam ini, tapi lidah Sofia serasa kelu. Tak ada pilihan, membiarkan mereka pulang. “Eeeh, Paman …!” Tiba-tiba, Sofia berteriak walau tak terlalu kencang. Membuat langkah keduanya terhenti dan menoleh ke arah gadis. “Ada apa?” Sofia terlihat ragu untuk meneruskan kalimatnya. Dia terdiam mematung, tanpa tahu apa yang akan dikatakan.  Hingga membuat Paman Botek dan Acil Mina saling berpandangan. “Kadak apa-apa Paman. Silahkan kalau Paman sama Acil mau pulang.” (Kadak = tidak) "Yang benar Sofia, tak ada apa-apa?" "Bujurlah Paman." (Bujur = benar) Seakan tahu akan kegelisahan Sofia. Sepertinya Paman Botek mengubah rencananya.   “Biar malam ini, Paman wan Acil tidur di sini,” ujar Paman Botek sembari memandang istrinya. (Wan = dan) “Tapi, Bah?” cetus Mina, dengan raut wajah protes. Kedua pasangan suami istri itu, saling beradu pandang. "Abah jangan becanda!" "Husss! Jangan bilang kayak gitu di depan Sofia," sela Botek lirih. "Ta-tapi ...." Paman Botek menggeleng. Seraya memberitahu Mina, untuk tidak meneruskan kalimatnya. Sang istri pun mengerti, kemudian mereka berdua kembali ke rumah itu. “Biar kami tidur di luar aja, Sofia,” ujar Acil Mina. “Kenapa, Cil? Biar Acil tidur di kamar sama Sofia.” “Kadak usah!” tolak mereka. (Kadak = tidak) Paman Botek mengambil karpet yang masih tersimpan rapi, di atas lemari. Dia menggelar di ruang tengah. “TVnya rusak, kadak bisa diperbaiki sudah.”  “Iya Paman. Itu TV sejak Sofia kecil dulu.” Seraya Sofia mengamati TV yang berbentuk panjang. Dengan empat kaki dari kayu. Dan Tv itu seperti berada dalam sebuah rumah kayu. Sangat unik dan artistik. "Kata Papa kamu dulu. Ini TV, peninggalan dari kakek nenek Sofia. Orang tua Papa Sofia." "Wahhh, sampai sekarang masih ada? Papa bener-bener merawat semuanya dengan baik."   Mereka pun berbincang sepanjang malam. Sekilas Paman Botek melirik ke arah cermin yang tertutup oleh taplak meja. Begitu juga dengan Mina. Tanpa sengaja Sofia melirik ke arah lelaki tua dan istri.  Tampak  dahi Botek langsung berkerut-kerut. Seperti menyimpan sebuah cerita, yang belum diungkap padanya.  Tapi, apa? Melihat perubahan di raut wajah Paman Botek. Sofia yakin, kalau kedua sepasang suami istri itu, menyimpan sebuah rahasia. Tiba-tiba .... “Paman! Cerminnya sengaja Sofia tutup sama kain!” Sengaja Sofia mengatakan seperti itu., Untuk melihat reaksi mereka berdua. Sontak Botek dan Mina terkesiap. Tak menyangka kalau Sofia memperhatikan keduanya.  “Eeehhh! Ke-kenapa juga ditutup kain?” “Enggak tau, Paman. Sofia merasa bayangan yang ada dalam cermin itu, seperti orang lain yang wajahnya mirip dengan ulun.” (Ulun = aku) Paman Botek tersedak. Dia terbatuk-batuk tanpa henti. Bergegas Acil Mina berlari ke belakang, dan membawa segelas air putih. “Abah semangat nah ceritanya, sampai terbatuk-batuk,” ujar Acil Mina, seraya mengusap bagian punggung suami. Sofia semakin penasaran. Entah mengapa, dia sangat yakin jika paman Botek menyimpan sebuah cerita. Yang dia rahasiakan. “Sudah, Sofia tidur sana! Capek lah kamu ‘kan? Tuh matanya sudah merah!” ujar Acil menyela. "Iya, Cil. Cuman, masih  ingin cerita sama Paman." "Besok masih ada waktu." Akhirnya, Sofia memutuskan untuk masuk kamar. Dia merebahkan tubuh yang terasa penat. Walau begitu, sulit mata untuk dibawa terpejam.  Namun, Sofia berusaha tidur. Selimut yang berada diujung kaki, ditarik dan menyelimuti tubuh da wajah. Akan tetapi, Sofia masih terbayang, oleh gambaran dirinya dalam cermin tadi.  "Kayak aku, mirip, bahkan sama. Tapi ...?" Kedua matanya berkedip-kedip memandang langit kamar. Sofia menghela napas dalam-dalam. Berusaha untuk melupakan semua. "Mungkin tadi aku lelah. Jadi, yang terlihat malah hal aneh-aneh. Kalau sampai Paman tahu sesuatu. Pastilah dia bakal bilang. Tak mungkin main rahasia. Apalagi sama aku." Sofia terus bergumam. Berjuta kenangan melintas.Mengharu biru penuh gemerlap di kedua pelupuk matanya. Kemudian, gadis manis itu, memiringkan tubuhnya dan menatap foto kusam. Tangan Sofia meraih dan mendekap erat di d**a. “Mama … Papa, aku rindu kalian!” Sembari terus melihat ke arah foto, sampai pandangan matanya nanar. Dan Sofia terkulai dalam dekapan rasa kantuk yang sudah tak tertahankan lagi. _oOo_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN