"Iya, aku perhatikan itu juga berulang-ulang. Cuman kamu dengar juga 'kan, Sofia saat aku tanya. Tidak memberikan jawaban atau penjelasan sama sekali. Selain terus mengerang seperti orang lagi berhubungan intim. Kalian paham ya?"
Mereka bertiga manggut-manggut.
"Apa itu bukan suara kamu?" tanya Alam sekali lagi. Ingin memastikan bahwa itu memang benar bukan suara Sofia. S "Sebelum ini juga ada pesan dari kamu." Alam pun kembali mengambil Hpnya. Dia membuka kotak pesan, lalu memberikan lagi pada Sofia.
Di pesan itu, terdapat beberapa kalimat panas yang menggoda Alam dan tidak sepantasnya.
"Dan, Mas Alam masih percaya ini juga aku yang kirim?"
"Ya ... iya lah Sofia. Masa orang lain?"
"Jelas bukan aku!" sentak Sofia tegas.
Seketika ruangan itu kembali hening.
"Oke ... oke! Semuanya kini clear, aku anggap ini memang bukan kamu. Biar pun berasal dari HP kamu. Oke?"
"Hemmm." Sofia melihat pancaran mata Alam yang masih meragukan dirinya. "Sepertinya Mas Alam masih meragukan aku."
"Bukan meragukan lah Sofia. Wajar saja sih, soalnya aku selama ini mengira itu kamu. Apalagi berasal dari Hp kamu 'kan?"
Sofia hanya mengangguk, dia pun tidak ingin menyalahkan kekasihnya.
"Sebenarnya kejadian ini terjadi juga sama Paman Botek," cetus Sofia.
"Bagaimana itu?" Eno terlihat penasaran. Karena memang selama ini Sofia tidak pernah bercerita padanya. "Ayo ceritalah! Biar kami bertiga ini bisa tahu."
"Nah, bener itu yang dibilang Eno," sahut Aulia.
Seketika Alam yang melihat keresahan Sofia, menggenggam erat telapak tangan kekasihnya. Dia hanya ingin memberikan semangat dan kekuatan. Agar Sofia lebih tenang dan kuat.
"Waktu pertama kali datang ke sini, Paman Botek cerita. Kalau satu minggu sebelum aku datang. Dia ada dapat pesan dari Nini."
Bukannya Nini kamu sudah meninggal setahun lalu kan?" lanjut Aulia melotot ke arah Sofia.
"Memang benar. Cuman Paman dapat pesan dari HP Nini. Kada mau bikin Paman Botek takut. Aku bilang kalau pesan itu aku yang kirim. Aneh 'kan? Padahal mana pernah aku utak atik Hp Nini, soalnya udah jadul. Malaslah!"
"Terus ... terus?" Pinta Aulia yang semkin penasaran.
"Hal kedua lainnya. Di hari pertama juga, aku mendapat sambutan yang menurut aku cukup membuat ngeri,"
"Apa itu?" Serempak mereka bertanya.
"Waktu itu Paman sama Acil barusan pulang. Orang masih siang juga. Malamnya mereka balik lagi ke sini. Nah, pas aku mau makan bakso, tanpa snegaja tuh, melewati cermin yang tadi terjatuh di ruang tengah itu tadi."
Mereka bertiga manggut-manggut.
"Aku penasaran 'kan? Berhentilah aku melihati cermin itu. Ada yang aneh saat aku melihat diri aku sendiri. Dalam cermin itu, bayangan diri aku seperti bukan aku. Sangat mirip dan persis, tapi aku sangat tahu itu bukan aku. Sampai akhirnya aku mengangkat tangan kanan, yang dia angkat tangan kiri. Dan--"
Sofia meneguk air putih yang ada di gelas di hadapannya.
"Dan sorot matanya itu tajam banget. Kayak melihat ke aku, dan itu bukan diriku. Kayak orang lain yang berada di dalam cermin itu!"
Seketika hening sesaat. Mereka bertiga saling berpandangan. Cerita yang baru saja dikatakan oleh Sofia ini, cukup membuat Alam mengerti dan berpikir. Bahwa apa yang dikatakan oleh Sofia mengenai pesan dan telepon yang terkirim untuknya, memang benar.
"Apa ... menurut kamu itu hantu di rumah ini?" tanya Aulia sembari bergidik, merinding.
"Bukan hanya sekedar hantu, Lia. Sosok ini lah yang sedang aku cari, asal muasalnya. Dia menyebabkan beberapa kematian. Ada dugaan, Mama dan Papa aku pun meninggal oleh ulah sosok ini!"
Deg!
Jantung Alam dan Aulia berdentum keras.
"Kamu ... jangan main-main dengan apa yang kamu bilang barusan, Sof!"
"Aku kada pernah main-main, Mas Alam. Ini benar, kalau kada percaya untuk yang baru saja aku bilang, bisa ditanyakan pada Eno.'
Gadis itu pun langsung manggut-manggut.
"Iya, benar itu. Memang rumah ini terkenal angker, sebelum kedatangan Sofia. Bahkan para tetangga heran, sampai Sofia berani sekali tinggal di sini. Biar pun ada Paman Botek dan bininya yang menemani."
"Wahhhh! Jadi, rumah ini benar-benar angker?" ulang Aulia, sekali lagi dia bergidik. "Berarti yang aku lihat tadi beneran nyata ya?"
"Iya. Bisa saja dia memang sosok itu," sahut Sofia.
"Sosok yang mirip kamu di cermin?"
"Iya, Lia. Bahkan sosok ini pernah bikin keluarga seseorang meninggal. Suami dan anaknya. Bahkan sampai sekarang dia masih bisa melihat sosok yang mirip sama aku ini."
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Alam.
"Anaknya meninggal, begitu juga sama suaminya, Mas."
"Kenapa orang-orang di sini yakin penyebabnya karena hantu dari rumah kamu?"
"Ceritanya panjang, Mas. Makanya aku ingin mengajak kalian ke pulau Laut, karena urusan yang berhubungan dengan sosok ini. Bahkan dia sangat menganggu sempat ingin menyakiti aku juga."
"Iya, dua kali malah. Yang pertama pas Sofia handak sholat. Sampai mimisan parah dia. Yang kedua barusan saja, kemarin. Sofia kayak dicekik sosok itu."
Apa yang baru dikatakan oleh Eno, semakin membuat Alam dan Aulia terperanjat. Bibir mereka hanya bisa membulat, terperangah.
"Hemmm, kamu benar Sofia. Kalau sudah menyakiti kayak gini, kita harus cari orang pintar!" seru Alam.
"Aku sudah datangi kemarin sama Eno. Saran dia aku harus mencari orang yang bernama Ansyah, di sekitaran pulau Laut bagian barat," lanjut Sofia.
"Hanya begitu saja alamatnya?" tanya Aulia, terkesiap.
Sofia dan Eno mengangguk.
"Kata Paman Ali, orang ini mungkin terkenal di kotanya. Pasti banyak orang yang tahu. Apalagi di sana bukan kota besar." Sofia berusaha untuk menjelask.
"Tetap saja menurut aku sulit, Sofia."
"Bukannya kamu tertarik sama kota Saranjan, Lia? Nah kita itu, besok ke arah sana. Jadi, menurut aku kita nikmati lah perjalanannya," tukas Eno santai.
"Oke ... oke."
Alam pun menyela, "Apa Paman Botek tahu hal ini?"
Sofia langsung menggeleng.
"Dia sangat over protect ke aku, Mas Alam. Orang kemarin aja aku sama Eno diam-diam."
"Cuman, kalau menurut aku nih, Sof. Sebaiknya kita tetap ijin ke dia. Aku yakin Paman Botek sangat paham soal masalah rumah ini di masa lalu. Jadi, kita harus tetap jujur sama dia, Sofia," lanjut Alam.
"Iya, Sof. Aku setuju sama apa yang Mas Alam bilang. Jangan kita langkahi Paman Botek, setidaknya kalau kamu jelaskan kurasa dia akan mengerti kok," sela Aulia.
"Yup, aku juga setuju," Eno melirik ke arah Sofia yang langsung terdiam. Dia seperti berpikir panjang. Menimbang baik dan buruk, serta apa yang nanti terjadi kalau dia bilang yang sebenarnya pada Paman Botek.
Setelah menimbang banyak hal.
"Mas Alam benar. Malam ini juga kita ke rumah Paman Botek," tegas Sofia.