17. Pedoman hidup Gio

1339 Kata
"Mau dia sama kamu?" Hendro menaikkan alisnya.  Cyn menahan amarahnya, apa maksud lelaki di depannya ini? Tangan Cyn meremas satu sama lain, dirinya tak mau terpancing.  "Jelas mau. Apa yang kurang dari saya?" Sambil memiringkan kepalanya dan menatap mata Hendro.  Semua orang juga tahu secantik apa dia, seperti anak kuliahan. Benar-benar awet muda.  "Nanti juga kamu ditinggal." Ucap Hendro enteng.  Cyn mengigit bibir bawahnya.  "Dia bukan kamu Mas, haha." Cyn menggelengkan kepalanya kecil. "Kenapa kamu ngajak saya bicara?"  Cyn sudah muak melihat wujud lelaki itu, apalagi kata-kata yang ia lontarkan seperti tadi. Hatinya sudah tidak lagi terluka, namun egonya sebagai wanita tentu saja terluka.  "Saya tetap mau Sabian menginap di rumah saya." Menyenderkan tubuhnya ke sofa dan menantanh Cynnie.  "Silakan." Ucap Cyn gampang sambil menyisir rambut mengkilatnya kebelakang.  Hendro terkejut dengan jawaban Cyn, kemarin wanita itu sangat marah kenapa sekarang dengan sukarela?  "Maksud kamu?"  "Ya silakan, saya sadar gaboleh egoiskan? Sabian juga harus tahu apa yang terjadi. Seiring berjalannya waktu Bian akan paham. Asal pelan-pelan."  Hendro merasa aneh, apa tujuan wanita itu? Kenapa dirinya tidak rela seperti ini? Hendro melihat Cyn memang sangat cantik, sangat awet muda. Orang tidak akan menyangka wanita yang didepannya ini memiliki satu anak.  "Biarkan saya yang bicara pada Sabian, agar anak itu tidak terlalu kaget dengan apa yang terjadi." Lanjut Cyn.  "Kenapa kamu berubah?" Tanya Hendro dengan suara pelan. "Tidak ada yang berubah. Saya banyak belajar dari masalalu." Melihat ke arah luar. "Gimana Hanifa dengan anaknya? Pasti kalian seperti keluarga impian semua orangkan? harmonis." Dengan nada santai Cyn berbicara menghunus mata Hendro.  "Ya. Saya bahagia." Hendro membuang pandangannya.  Cyn menangkap suara Hendro tidak memiliki energi, hanya terdengar seperti bualan semata. Tidak berarti apa-apa.  "Ya bagus." Cyn menganggukkan kepalanya. "Apa Sabian sering menanyaiku?" Ucap Hendro. "Anak itu sudah terbiasa dengan ketidak hadiranmu bahkan saat kita masih memiliki ikatan. Dia sudah terbiasa. Hanya sesekali menanyaiku, saya jawab kalau Papanya sibuk kerja. Ya... Jawaban basic" Cyn menyenderkan tubuhnya sambil melihat kedua tangannya di depan d**a.  Hendro mendengarnya tersenyum getir, ya di bersalah, banyak. Menghela napasnya. "Terima kasih." Dengan suara yang pelan dan dalam.  "Tidak masalah. Saya harus cepat pulang, Sabian dirumah dan Gio sudah menunggu di mobil dari tadi." Melihat jam di pergelangan tangannya.  Hendro mengangguk kaku. Melihat wanita itu berdiri dan pergi dari hadapannya menuju mobil seseorang. Wanita yang pernah begitu sangat ia cintai dan ya perasaan itu masih ada, Hendro mengakuinya. Wanita sangat cantik dengan tubuh sangat bagus, idaman semua pria. Dulu Cyn adalah wanita manja selalu bergantung kepadanya karna kesibukkan kedua orangtuanya, sekarang ia benar-benar dewasa.  Hendro menghela napas dan bangkit menuju meja Hanifa yanga sedang mengelap bibir anaknya.  Cyn membuka pintu penumpang sebelah Gio. "Halo." Sapa Gio semangat. Cyn terkekeh melihatnya. "Hai."  "You good?" Gio menaikkan kedua alisnya.  "Of course, why not?" Cyn tersenyum lebar dan menutup pintu mobil.  "Sabian ga nitip apa-apa?" Tanya Gio sambil mengelurkan mobil dari parkiran.  "Ngga ada, saya gamau kasih dia es krim."  "Kenapa?" Gio fokus melihat ke depan. "Gapapa, gaboleh ah makan manis mulu."  "Kamu tadi makan."  "Aku ga sering, itu sesekali doang."  Gio mengangguk.  "Tadi aku udah ngomong sama Hendro, aku bolehin Sabian buat nginep di rumahnya."  Entah kenapa Cyn memulai pakai aku-kamu, apa karna ia sudah terbiasa dengan kehadiran Gio? Tapi melihat respon Gio, lelaki itu tidak terusik sama sekali. Malah senang? Cyn tidak tahu juga.  "Terus respon dia apa?" "Antara kayak orang linglung sama gatau deh, aneh gitu dia."  "Dia ngiranya ego kamu bakal kebakar, makannya di bingung."  "Iya ya, dia ngiranya aku bakal kaya waktu itu, marah terus nangis."  "Yup. you own your body. Sebisa mungkin badan kamu, kamu yang kontrol bukan ego kamu. Jangan mau kalah."  Cyn mengangguk setuju. Dirinya sekarang sedang waras, ya kalau lagi pusing tetap saja pusing. Cyn menoleh ke arah Gio, lelaki ini yang menyadarkannya bahkan tidak sampai satu hari. Dia tidak menyuruh Cyn mengikuti omongannya hanya dengan cerita-cerita santai namun dapat memulihkan logika Cyn.  "Pikiran kamu kenapa seterbuka ini?" Tanya Cyn penasaran.  "Ngga, itu masih jauh banget. Cuma mengandalkan logika aja sama melihat dari sudut pandang lain."  Cyn mengangguk membenarkan, ia teringat kutipan "Jika mencari laki-laki lihatlah bagaimana ia memandang sesuatu. Karna yang di celana dalam itu-itu saja, namun yang di dalam kepala ada-ada saja." Cyn menyutui kutipan itu, pikiran seseorang tidak ada yang tahu. "Berarti kamu sudah ga cemburu kalau Bian manggil Mama ke wanita lain?"  "Cemburu dikit, tapi Sabian juga tau siapa Ibu aslinya." Cyn mengangkay kedua bahu cuek.  "Hahaha... Kenapa kamu sekarang lebih bodo amat?" Tanya Gio menatap Cyn sekilas. "Prinsip hidup semua orang deh kayaknya."  "Apa?"  "Makin gede makin yaudah." Cyn meringis kecil.  Gio terkekeh, "Iya bener. Tapi harus dikasih ambisi sedikit biar ga boring-boring banget.”  “Kamu pernah hidup boring?” Tanya Cyn kaget melihat ke arah Gio. “Kayaknya semua orang pernah deh,” Melihat Cyn sekilas.  “Atau kamu justru yang anggep gaada masalah?”  “Semua orang punya masalah, kecil-gedenya masalah tergantung apa yang kita pikirkan.”  Cyn masih serius mendengarkan. “Kayak misalnya hari ini mobil kamu keserempet motor jadi lecetkan mobilnya tapi kamu nyangkut pautin segala sesuatu, kayak misalnya pas udah keserempet kamu jadi sedih, kanapa ya harus kamu, kenapa ya semua ini terjadi, kenapa ga orang lain aja. Pikiran kamu jadi bercabang, coba kamu mikirnya gini, kemarin-marin aku selalu selamat sampe rumah jadi sekarang ga masalah toh aku juga ga kenapa-napa, mungkin orang tadi lagi buru-buru aja ada sesuatu yang genting.”  Cyn mendengarkannya terperangah, ia selalu menitik beratkan hidupnya seakan- akan semua hal jelek ada pada dirinya.  “Tapi aku masih suka kok lepas kendali, jangan mikir aku yang gapernah marah ya.”  “Tapi kamu emang selalu menganggap semua hal itu enteng.”  “Alam jatuh cinta sama orang yang keras kepala Cyn.”  Gio terhibur melihat muka heran Cyn. “Masalah kecil anggep saja gaada, jadi masalah besar kamu lihat jadi masalah kecil.”  Cyn paham sudah kenapa lelaki itu sangat santai, bahkan ia tidak peduli tentang perkataan orang tentangnya. Seperti ia harus banyak belajar dari pedoman hidup Gio si manusia es atau manusi cuek ya?  “Bukan berarti kamu gaboleh nangis, tapi selalu diingat kalau Tuhan tidak akan memberi masalah kepada hambanya yang tidak mampu memikulnya.”    “Berarti aku mampu ya?”  “Yups betul sekali.”  “Dan cintai diri sendiri, kata-kata yang klise tapi bermakna sangat dalam.” Lanjut Gio. Cyn setuju, banyak diluar sana yang sudah tidak mencintai dirinya sendiri bahkan membencinya.  “Kamu udah ngapain jadi self love-nya?” Tanya Gio “Hm... apa ya. Belanja? makanan enak?”  “Tapi kamu udah perna ajak ngomong diri kamu sendiri?”  “Hah gimana?” “Iya ajak ngomong, hari ini Cyn lagi sedih karena apa, seneng karena apa, ceritain aja sama diri sendiri terus bilang makasih karna udah mau bertahan bareng Cyn.”  Gio sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Cyn, lalu menengok ke arah perempuan itu. “Loh aku salah ngomong ya?” Tanya Gio hati-hati karna melihat wanita itu berkaca-kaca.  Cyn menggeleng dan mengusap kedua sudut matanya yang berair. “Nggak, aku baru sadar belum self love, aku terlalu cuek sama diri sendiri.”  Gio mendekat dan mengusap pelan rambut Cyn. “Gapapa, we learn something new everyday.”  Cyn merasa senang mengobrol dengan Gio dan sedikit berdebar karna semua afeksi yang Gio berikan, bisaka Cyn menganggap apa yang Gio lakukan sebagai afeksi untuk dirinya? Cyn membalas tatapan Gio, “kapan-kapan ngobrol lagi ya. Kamu suka baca buku?”  “Suka.” Tangan lelaki itu masih di kepala Cyn.  “Temenin ya beli buku kalau ga sibuk.” Cyns sedikit malu sebenarnya.  “Iya nanti, kabarin aja. Sekarang udah gelap nanti Sabian nyariin kamu.”  Ah iya Cyn kangen anak manisnya itu sekarang. “Yaudah duluan ya. Kamu hati-hati di jalan. Makasih juga buat hari ini.” Membelakangi Gio membuka pintu mobil pria itu.  “Anytime.”  Gio sempat mengelus daun telinga Cyn sebelum wanita itu benar-benar keluar. Cyn meremang dibuatnya. Badan Cyn rasanya kaku sekali mengingat elusan yang sedikit itu namun efeknya bukan main-main sampai mobil Gio hilang dari pandangannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN