Anastasya mengangguk.
“Maksudmu, James menghapus pesan dari Noah?”
“Siapa lagi? Pesan itu masuk kan ada centang biru di sana. James pasti menghapusnya.” Anastasya kesal karena Jmaes sudah ikut campur urusan pribadinya apalagi dia sampai menghapus pesan dari Noah.
“Apa motifnya?”
“Mungkin dia ingin aku fokus bekerja.”
“Itu termasuk hal yang tidak boleh dilakukan. Melanggar ranah private seseorang. Membaca sebuah pesan di ponsel orang lain apalagi sampai menghapusnya. Keterlalaun!”
“Tapi, agak aneh juga ya kalau dia melakukan itu, menghapus pesan dari Noah.”
“Apa mungkin dia cemburu?” celetuk Emma menoleh pada Anastasya.
“James cemburu? Haha! Tidak mungkin. Dia pasti ingin aku fokus bekerja.” Anastasya menganggap celetukan Emma adalah lelucon.
“Bagaimana kalau dia memang cemburu, Ana?” Emma keukeuh pada celetukannya. “Kalau motifnya agar kamu fokus pada kerjaanmu kenapa James harus bersusah payah menghapus pesan dari Noah?” lanjutnya yang membuat Anastasya berpikir keras.
Anastasya termenung. Dia memikirkan perkataan Emma.
“Tidak mungkin James menyukaiku.”
“Semuanya mungkin, Ana. Lihat, dia tiba-tiba menjadikanmu asistennya di kantor. Lalu, dia mengantarkanmu pulang dan tahu rumahmu dan rumahnya satu arah. Dia menyempatkan diri untuk mampir ke rumahmu. Dan yang paling aneh adalah dia tahu tentang orang tuamu.”
Anastasya menatap Emma seakan menunggu Emma kembali berkata. Entah haruskah dia senang atau tidak jika James memang menyukainya. Permasalahannya dia sudah memiliki kekasih—Noah. Mau dikemanakan Noah kalau dia dan James menjalin hubungan.
Anastasya menggeleng. Dia mengenyahkan bayangan-bayangan itu. James tidak mungkin menyukainya kan?
***
“Aku sudah menemukan putri semata wayang dari keluarga Sneden, Suzanne.”
Suzanne menoleh pada kakaknya yang tersenyum. Rambut panjang pirangnya yang selalu tergerai indah dicepolnya dengan asal. “Kak, kita harus menyudahi semua ini. Orang tua kita tidak akan setuju dengan balas dendam yang Kakak rencanakan. Itu sudah masa lampau dan harusnya kita sudah melupakan itu. Mereka sudah meninggal, Kak, sepadan dengan orang tua kita yang meninggal.” Suzanne berkata sambil menatap kakaknya berharap sang kakak berubah pikiran untuk membalaskan dendam pada putri Sneden yang masih hidup.
“Mereka hanya menyisakan putrinya tapi kita berdua masih hidup.” Lanjutnya.
“Tapi mereka penyebab orang tua kita meninggal, Suzanne.” James berkata dengan nada rendah yang dipenuhi penderitaan dan dendam. “Aku tidak akan bisa tinggal diam. Aku harus membuat putri Sneden itu gila, depresi, mati bunuh diri. Bukan kita yang membunuhnya.”
Mata biru gelap James menatap ke arah adik semata wayangnya. “Aku tidak akan setuju dengan apa yang akan kamu lakukan.”
“Aku tidak akan melakukan apa-apa.” Sela James. “Aku akan membawanya masuk ke dalam keluarga kita.”
“Maksudnya?” dahi Suzanne mengernyit.
“Dia akan menjadi kakak iparmu.”
Suzanne membuang napas. “Kakak ipar? Kakak akan menikahinya? Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan.” Suzanne tampak bingung.
“Kamu tidak perlu mengerti, Suzann.” James tersenyum misterius sebelum meninggalkan meja makan.
Ponsel Suzanne berdering.
“Halo, Emma. Oke, aku akan segera ke sana.”
***
Suzanne mengenakan outer warna camel dipadukan dengan sepatu keds putih. Dia mencepol rambut panjang pirangnya. Mengoleskan lipstik warna nude sebelum keluar dari mobil pemberian kakaknya. Dia melihat ke meja nomor 21 dimana ada Emma dan seorang wanita lagi berambut cokelat dengan poni yang panjang dibawah alis hingga nyaris menyentuh bulu matanya.
Suzanne melambaikan tangan pada Emma yang dibalas lambaian tangan oleh Emma.
“Itu, Suzanne. Adik James.” Emma memberitahu Anastasya saat Suzanne melangkah mendekati mereka.
Anastasya merasakan sesuatu yang berbeda dari Suzanne. Cara wanita itu melambaikan tangan dan tersenyum rasanya sulit dipercaya kalau dia adalah adik James, kalau saja fisik Suzann tidak semirip James. Dia memiliki mata biru gelap yang sama misteriusnya dengan James. Bahkan bentuk alis dan hidungnya sangat mirip dengan James.
“Ini, temanku, Anastasya.” Emma memperkenalkan.
“Halo,” Suzanne mengulurkan tangannya dengan senyum ceria khas wanita muda yang memiliki segalanya.
“Halo,” Anastsya menjabat tangan Suzanne yang memiliki kehangatan yang sama dengan tangan James. Bedanya tangan Suzanne lebih ramah.
Suzanne duduk menatap Emma dan bertanya soal ilustrasi poto James.
“Aku sudah menulis kata-kata yang kamu suruh, Suzanne.” Emma menyerahkan bingkisan berukuran medium pada Suzanne.
“Terima kasih, Emma. Kakakku pasti menyukainya.”
“Oh ya, ilustrasi buatanku yang dipesan James ditaruh dimana ya?” sebelumnya Emma sudah memberitahu soal James yang memesan ilustrasi poto keluarga.
“Di dinding dekat kamar kakakku.”
“Anastasya ini asisten kakakmu, lho.” Emma memberitahu yang disambut ekspresi takjub Suzanne.
“Oh ya? Wow! Aku tidak menyangka kalau aku akan bertemu asisten kakakku di sini dengan salah satu ilustrator terbaik dunia.”
“Haha, kamu bisa saja.” Emma merasa tersanjung akan pujian Suzanne.
“Kamu tidak mirip dengan kakakmu itu. Suzanne jauh lebih baik daripada James.”
“Hahaha,” Suzanne terbahak. “Ya, kakakku memang seperti itu orangnya. Maklum saja dia bekerja keras saat orang tua kami meninggal akibat kelicikan seseorang. Aku tidak tahu pasti yang jelas perusahaan orang tuaku bangkrut dan—“ Suzanne tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Emma menepuk lembut bahu Suzanne.
“Tapi kakakku sebenarnya orang yang sangat baik, Ana.”
“Ya, aku tahu.”
“Tapi, lebih dari itu kamu harus mengenal dekat kakakku. Dia sangat suka permen mint. Kalau dia sedang bad mood atau marah-marah beri saja dia permen mint. Marahnya akan berkurang.”
“Oh ya?”
“Ya, dan jangan beritahu kalau aku yang memberitahumu. Anggap saja kita tidak kenal. Aku harus pergi, lain kali kita harus bertemu lagi ya. Senang bertemu denganmu, Ana.”
“Ya, aku juga senang bertemu denganmu.”
***
Anastasya memperhatikan orang-orang di kantin. Tiga wanita yang terobsesi dengan kecantikan memamerkan perawatan filler, botox dan cream-cream aneh yang membuat Anastasya bergidik ngeri. Di meja sebelah kanan, pria-pria metroseksual berkaca di kaca bedak padat berbentuk bulat yang mereka pinjam dari rekan kerja wanita. Di meja paling terakhir ada karyawan usia pensiun yang sedang melahap salad.
“Tapi, lebih dari itu kamu harus mengenal dekat kakakku. Dia sangat suka permen mint. Kalau dia sedang bad mood atau marah-marah beri saja dia permen mint. Marahnya akan berkurang.”
Kalimat yang diluncurkan kedua daun bibir Suzanne mengelilingi kepala Anastasya. Permen mint? Rasanya lucu juga kalau dengan permen mint mood James yang buruk akan lebih baik. Meskipun Anastasya tidak percaya seratus persen dengan perkataan Suzanne. Untuk itu, Anastasya tetap mengantisipasi kalau-kalau James marah padanya dengan membeli permen mint di kantin.
Saat di dalam ruangan, Anastasya terus memperhatikan James lewat kaca yang memisahkan antara meja kerjanya dan meja kerja James. Anastasya bahkan sampai tidak sadar akan kepalanya yang miring karena menatap James yang mempesona bahkan dalam balutan sikapnya yang angkuh dan menyebalkan.
Anastasya ingin menanyakan soal pesan Noah tapi rasanya tidak sopan dan seakan Anastasya kurang ajar. Lagian belum tentu James menghapus pesan dari Noah kan? Tapi, Anastasya melihat dengan jelas hasil screenshot dari Noah yang dikirimnya ke Emma.
James tidak sengaja menoleh ke arah Anastasya dan mereka saling bersitatap. Anastasya yang seakan terbius oleh tatapan mata James membuang wajah dengan gugup. Dia berpura-pura menatap layar komputernya dan kembali melihat ke meja James untuk memastikan apakah pria itu masih menatapnya. Anastasya bernapas lega karena James sudah sibuk kembali dengan berkas-berkasnya.
“Anastasya,” panggil James.
Anastasya melirik ke arah James.
“Anastasya,” panggil James lagi tanpa menoleh pada Anastasya.
“Iya.”
Anastasya segera meluncur ke ruangan James. Anastasya melihat wajah cemberut James. Agaknya James sedang stres mungkin terlalu banyak kerjaan dan Anastasya punya ide untuk membuat mood James lebih baik.
Anastasya memberikan perment mint yang dibelinya di kantin. “Ini,” dia menyodorkan perment itu.
James menatap perment di tangan Anastasya kemudian dia mendongak menatap wajah Anastasya yang tersenyum semringah. Anastasya mengangguk. “Ambilah.”
James tidak merespons apa-apa selain menatap Anastasya.
“Ambil, Pak. Jangan malu-malu. Saya punya banyak perment mint kok.”
James memang suka perment mint tapi selain Suzanne tidak ada yang tahu betapa perment mint bisa membuat moodnya lebih baik. “Kenapa kamu memberikan aku perment mint?” tanya James dingin.
“Anda sepertinya sedang stres.”
“Cih!” cemooh James. “Aku tidak stres. Aku biasa bekerja keras, Tasya.”
“Aku tidak suka dipanggil, Tasya. Tapi, karena Anda pimpinan di kantor, aku tidak bisa menolak panggilan itu.”
Anastasya merasa James menolak permentnya dan memilih kembali memasukan perment itu ke dalam saku celananya.
“Kenapa kamu memasukan perment mint itu ke dalam saku celanamu?”
Anastasya tidak berkutik beberapa detik. “Anda mau permentnya?”
“Itu buatku kan?”
Anastasya mengangguk. “Ini,” dia meletakan perment itu ke atas meja James. Lalu dia berbalik menuju pintu keluar.
“Hei, mau kemana kamu?!”
“Mau buat kopi.”
“Aku memanggilmu karena ada tugas untukmu, Anastasya.”
“Hah?!” Anastasya berkata ‘hah’ dengan nyaring.
“Nanti malam aku akan menjemputmu. Kamu akan bertemu dengan adikku.”
“Bertemu Suzanne?”
Dahi James mengernyit heran.
Anastasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memang suka keceplosan. Sembari mengumpati dirinya sendiri Anastasya mencari pembelaan dari kata-katanya.
“Kamu kenal Suzanne?”
“Dia teman Emma. Emma memberitahuku soal adikmu.”
Samantha mengetuk pintu.
“Masuk!” kata James. “Kamu tetap di ruanganmu Anastasya.” Titah James.
Anastasya mengangguk patuh.
***