Meza baru sampai rumah tiga jam yang lalu setelah diantar pulang oleh Aldi. Selesai mandi dan makan, kemudian Meza duduk sendiri di balkon dengan lamunan nya yang membawa entah kemana, dan hanya ditemani ponsel di atas meja. Hal seperti ini sudah biasa Meza lakukan ketika memang dirinya butuh diam sejenak untuk berfikir ataupun membutuhkan waktu sendiri.
“Mez, lagi ngapain?”
“Lagi duduk aja di balkon, ngumpulin niat buat ngerjain tugas, Zriel.”
Hari ini hari Senin, dan tidak bisa dipungkiri bahwa besok hari Selasa, hari paling berat dalam seminggu bagi Meza. Faktor utama nya karena empat jam pelajaran di awal hari harus dihabiskan pada pelajaran matematika. Mungkin beberapa orang merasa bahwa matematika itu sangat menyenangkan, tapi tidak bagi Meza.
Terdengar suara kekehan kecil dari ujung sana. “Emang ada tugas apaan sih sampe harus ngumpulin niat kayak gitu, Mez?”
“Geografi, Zriel,” kemudian Meza memutarkan kedua bola matanya. “Tugas nya udah kayak ngerangkum satu sub bab. Beruntung deh lo setidaknya jadi anak IPA.”
“Beruntung gimana kalo gue disuruh ngafalin tabel sin cos tan, Mez?”
Meza tertawa kecil. “Tapi tetep sih, mau bagaimanapun juga, gue enggak pernah nyesel udah bikin keputusan untuk jadi anak IPS.”
“Ya emang kenapa harus nyesel? Gue suka loh sama anak – anak IPS karena mereka lebih santai. Apalagi kalo speaking at public.”
Di masa awal kelas sepuluh sangat rentan terjadi kebimbangan jurusan. Yang terjadi di jurusan IPA itu dimana anak – anak nya lelah dengan tugas yang sangat banyak, sedangkan yang terjadi di jurusan IPS ada beberapa anak yang masih merasa tidak rela gagal menjadi anak IPA.
Sebenarnya, masa depan tidak hanya ditentukan dengan jurusan yang dipilih di SMA. Karena sekarang, sudah ada tes masuk perguruan tinggi yang lintas jurusan.
“Nah walaupun gue enggak peduli sih ya, tapi masih banyak orang – orang yang ngeremehin anak IPS. Padahal pemerintahan, perekonomian, didominasi sama anak IPS, kan? Sakit hati aja sih gue.” Meza menghembuskan nafasnya berat.
“Udah Mez daripada lo kesel ngomongin jurusan kayak gini, mending kita video call dan lo bantuin gue ngerjain PR sejarah yang jawaban nya membingungkan ini.”
Kemudian Meza mengambil laptop dari atas tempat tidurnya. Selama Meza menjadi siswi, inilah pertama kali dirinya diajak video call oleh teman untuk membantu mengerjakan tugas. Menurut Meza, banyak hal – hal baru yang terjadi di SMA menjadi goresan baru di hidup nya.
Sementara Azriel, sedang berbaring di tempat tidur nya ditemani kopi dengan asap yang mengepul dilengkapi sebungkus marshmallow. Mulai dari sepuluh menit yang lalu, buku cetak dan buku tulis sejarah nya, sampai laptop di hadapan nya hanya di buka, karena bingung dengan jawaban internet yang beragam.
“Soal nya halaman berapa, Zriel?” tanya Meza yang kini sudah bisa bertatap muka dengan Azriel di layar laptop nya.
“Soal nya dari Bu Erna, Mez. Cuma sepuluh soal sih, tapi essay.”
Meza menepuk dahi nya. “Aduh Bu Erna kok ngasih anak IPA malah soal sejarah yang essay sih? Pantesan si Karel dipanggilin mulu.”
“Ini gue sambil ngerjain punya Karel loh, Mez.” ujar Azriel memperlihatkan label nama yang ada di sampul coklat sebuah buku.
“Wow. Speechless gue saking mulia nya diri lo, Zriel.”
Azriel menangguk. “What friends are supposed to do.”
Dan tidak terasa, mereka telah video call selama dua jam. Mulai dari Meza yang menggerutu karena Azriel yang benar – benar seperti tidak pernah belajar sejarah, sampai dirinya yang terus menerus melakukan hal – hal tidak penting seperti kembali membuat kopi dan memasak mie.
“Satu soal lagi, Zriel.”
Azriel mengerucutkan bibirnya dan menutup buku. “Sumpah pegel banget gue nulis dua kali, Mez. Udah ah lanjutin nya besok lagi.”
“Tanggung, Zriel! Kerja itu enggak boleh setengah – setengah. Emang mau disayang nya cuma setengah?”
“Gue ngerjain ini udah sembilan per sepuluh, Mez.” Azriel membuka lembar demi lembar dan didekatkan ke layar laptop nya agar Meza dapat melihat jelas. “Tapi kalo disayang nya sama lo, setengah mah udah cukup, Mez.”
Baru saja Meza ingin menanggapi, tiba – tiba pintu kamar Meza terbuka tanpa ada ketukan pintu terlebih dahulu. Meza yang berada di balkon langsung menoleh ke dalam untuk memastikan bukan pencuri yang masuk ke kamar nya. Namun ternyata, dua orang yang lebih mirip seperti orang gila karena pakaian nya yang basah kuyup.
“WOY LO BERDUA NGAPAIN?”
Bukan nya menanggapi Meza yang histeris, mereka justru hanya melempar senyum dan duduk di lantai kamar Meza sambil memeluk tubuh nya.
Teringat sesuatu, Meza pun bertanya. “Kok lo bisa masuk? Ada siapa di bawah?”
“Lo emang enggak denger bel, ya?” tanya Aldi yang kemudian dijawab dengan gelengan kepala Meza. “Abisnya daripada mati kedinginan, gue tadi asal masuk aja eh pintu garasi enggak dikunci, kok.”
Tanpa basa basi terlebih dahulu, Juan tiba – tiba melepaskan kaus nya. “Mez, minjem kaos dong.”
“Kaos gue gak muat kali sama lo berdua.” ucap Meza menatap kedua teman nya yang kedinginan.
“Gue sweater ya, Mez.” ujar Aldi menambahkan.
Karena tidak tega melihat kondisi kedua teman nya, mau tak mau, Meza dengan melawan rasa malas nya, akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kamar. “Jangan kemana – kemana.”
Ketika Meza keluar kamar, Juan dan Aldi dengan tak memakai kaus itu dengan tanpa dosa loncat ke atas kasur Meza tidak mengingat celana nya yang masih basah. Mereka mendekatkan diri pada layar laptop.
“Eh enak banget ya lo berdua video call, gue sama Aldi ujan – ujanan cash on delivery sama agan – agan yang jual gitar nya.” ucap Juan sambil menunjuk Azriel yang ada di sebrang sana.
Azriel menyengir. “Maaf ya Ju, ini gue lagi ngerjain PR buat besok. Nanti kan lo lo juga yang tinggal nyalin.”
Juan menggeleng. “Nyalin? Ogah. Sebagai permintaan maaf lo, sekalian tulisin punya gue.”
“Gak! Tangan gue udah pegel banget gila ngerjain punya Karel nih.” tentang Azriel dengan gelengan kepala nya.
Selama Juan mengoceh dengan Azriel berdebat mengenai persetujuan tentang PR, Aldi berdiri dan melempar pandangan ke sekeliling kamar Meza. Kamar berwarna merah muda dengan isi yang sama seperti wanita pada umum nya. Di dinding samping meja belajar di isi dengan beberapa foto yang melekat pada dinding, sedangkan di atas meja belajarnya hanya ada dua foto yang diberi bingkai.
“Nih,” Meza membuka pintu dan menyodorkan sebuah kaos dan sweater. “kata nyokap gue, abis ganti, ngobrol nya di ruang tv aja, ya.”
Setelah Juan menerima pakaian nya, ia langsung keluar dan duduk di sofa masih dengan dirinya yang mengoceh kepada Azriel di layar laptop. Lain hal dengan Aldi, ia justru memperhatikan sweater yang diberikan Meza kepada nya. Sweater berwarna abu – abu dengan tulisan ‘NYC’ berwarna merah hati di tengah nya.
“Ju,” Aldi keluar dan memperlihatkan sweater itu kepada Juan. “kayak pernah gue liat deh, dimana ya?”
Juan memutar kedua bola mata nya. “Itu setumpuk di H&M sweater sejuta umat, Al.”
Oh tentu saja, bahkan Aldi sampai lupa hanya untuk melihat merk nya. Setuju dengan pendapat Juan, ia akhirnya memakai sweater itu dan kemudian ikut duduk di sofa bersama Juan.
“Jadi … kalian dari mana?” tanya Meza sambil memberikan kedua teman nya itu secangkir coklat hangat dan beberapa cemilan yang di bawa nya dari dapur.
“Berpetualang,” Aldi melirik Juan. “mencari jodoh.”
“Jodoh wasiat bapak?” sahut Azriel.
Di tengah perbincangan hangat mereka, datang seorang wanita paruh baya menggunakan jilbab dengan penampilan sosialita yang menghampiri mereka.
“Loh Dek, temen – temen kamu dateng kok enggak bilang Tante?”
Kemudian Juan dan Aldi bangkit dari duduk nya dan salim kepada Dini—Tante Meza—yang menyambut mereka dengan senyum simpul nya. Ketika melihat tas jinjing yang ada pada tangan kiri Dini sejenis dengan yang dikoleksi para artis ibu kota, Juan berani bertaruh bahwa jika tas itu ternodai oleh sambel kacang batagor, Meza akan dicoret dari kartu keluarga.
Setelah memperkenalkan Aldi dan Juan, juga Azriel, Dini mengajukan sedikit pertanyaan mengenai bagaimana bisa kenal dengan Meza, letak rumah nya dimana, serta mengambil ekskul apa di sekolah.
“Kalian dari SMP mana?” tanya Dini seraya meletakan tas nya di atas meja dan ikut duduk di sofa berhadapan dengan mereka.
“Jaya Wijaya.” jawab ketiganya bersamaan.
Dini mengerjapkan matanya beberapa kali. “Wah kalau gitu, kalian kenal dong sam—“
Televisi yang masih disambungkan ke youtube itu tiba – tiba mengeluarkan suara iklan yang besar dan mengagetkan karena remote di sofa tidak sengaja terduduki Aldi sehingga membuat video yang telah di pause itu kembali berjalan.
“Kita bisa enggak telfon Karel sekarang?” tanya Meza yang fokus ke ponsel nya. “Nanti dia ngira kita ngumpul enggak ngajak.”
Aldi melirik jam dinding. “Sekarang jam sembilan, Mez. Ini waktu dia lagi enggak bisa diganggu.”
“WAAAH! TANTEEE KUCING SIAPA INI?!?”
Dengan sekilas melihat Aldi dan Juan, tanpa permisi, Dini yang tadinya sedang bermain ponsel pun langsung berdiri dan mengambil langkah cepat menuruni tangga.
Dan Meza menaikan alis. “Ju, lo bawa kucing?”
“Iya, Doel anteng kok gue taro garasi lo.” Juan menyengir dengan menggaruk tengkuk nya. “Atau mau gue pindahin?”
Terlihat di layar Azriel mengerutkan dahi nya. “Suara siapa, Mez?”
Aldi menyodorkan ponsel nya yang bergetar dengan nama ‘Bang Karel’ yang terpampang jelas di layar nya.
Tetapi hanya beberapa detik kemudian, nama itu hilang, dan justru menampilkan beberapa pesan yang baru saja masuk.
Bang Karel: woi lo dimana
Bang Karel: nyokap lo nyariin tuh w******p gue berkali – kali
Bang Karel: kalo lo pacaran jangan bilang lagi sama gue goblok
Bang Karel: balik.