Tujuh

1154 Kata
“Gila di jaman sekarang masih ada saung?” Juan tertawa sambil melemparkan cemilan yang ada di dalam kantung plastik oleh – oleh dari supermarket dan melemparkan ke teman – teman nya itu dengan sengaja. “Semua benda yang dimilikin sama Juan pasti punya cerita dan keunikan sendiri, Mez.” jawab Aldi sambil meluruskan kaki nya dan membuka salah satu kacang dalam kemasan. Meza tersenyum. “Kayak Italia ya, sesederhana itu bikin gue tertarik hanya karena ngeliat gambar Colosseum nya.” Di sini lah mereka, sepulang sekolah, dan memutuskan untuk mengajak Meza berkunjung ke rumah Juan. Rumah Juan ini sangat kental dengan budaya betawi, tetapi tetap terlihat keren karena dipadukan dengan desain yang modern agar tidak terlihat kuno. Saung yang berada di halaman belakang rumah Juan ini cukup besar sehingga bisa menampung kira – kira sepuluh orang, dilengkapi dengan karpet dan bantal kecil serta beberapa benda yang dibiarkan diletakan di sana seperti gitar, catur, kartu, sampai monopoli.  “Gue pengen banget jadi pilot yang bisa terbang melintasi satu benua ke benua lain ditemani pramugari – pramugari cantik.” Aldi menampar pipi Juan. “Udah mending lo nanti kerja di perusahaan gue aja, Ju. Berhubung lo temen dari kecil gue, gue tambahin deh gaji nya sepuluh persen.” “Yaa nanti kalo lo pada sakit, tenang, ada gue.” ujar Azriel menepuk d**a nya. Karel tersenyum miring. “Lo emang siapa, Zriel? Dukun?” “Bukan woy, tukang urut.” jawab Juan yang kemudian dihujani dengan tinjuan pelan di bahu nya dari Azriel. Tidak pernah salah jika membicarakan tentang mimpi, karena selagi bermimpi setinggi – tinggi nya itu masih gratis, maka puaskanlah! Walaupun terkadang mimpi yang telah menjadi motivasi menjalani hidup itu tidak tahu nanti nya akan tercapai atau memang hanya sekedar ‘mimpi’, tapi setidaknya, kita telah percaya dengan diri sendiri. “Rel, gimana? Bokap ud—“ Pertanyaan Aldi terpotong karena gerakan Karel yang membenarkan posisi gitar nya siap untuk menghibur para pendengar. “Mau lagu apa?” “Viva La Vida.” jawab Meza dan tersenyum ke arah Karel. “Akan selalu menjadi lagu yang gue suka kalo lo yang ngebawain, Rel.” Juan berbaring sambil memakan coklat berbungkus warna ungu itu. “Viva La Vida itu artinya apaan sih?” “Long Live Life. Abadi.” jawab Azriel singkat. “Gue pernah iseng searching waktu itu.” Mendengar penjelasan seorang Azriel yang lebih banyak tahu dari yang lain nya, mereka semua mengangguk. Tak lama kemudian, Aldi mengangkat ponsel nya di room chat grup mereka dengan menunjuk pemberitahuan terakhir bertuliskan ‘Juan changed a group named to Viva La Vida’kepada teman – teman nya. “Lebih keren, kan?” tanya Juan. Azriel mengangguk. “Widih sadis keren banget ya seakan melambangkan remaja yang ingin kebebasan karena pergi harus dengan izin jelas kayak Aldi biar enggak dicariin nyokap nya buat diajak nemenin nyalon.” Ketika mendengar sindiran yang bahkan lebih mirip seperti penjelasan itu membuat Meza tampak tak percaya dan tertawa. “Al? Segitu nya?”  “Lo jangan iseng, Zriel!” Aldi mencubit tangan Azriel. “Mau gue buka aib lo yang mana nih?” Di tengah keriuhan Azriel dan Aldi yang saling mencela dan membuka aib satu sama lain ditambah dengan Juan yang makin membuat suasana menjadi seru, Karel terus menggenjreng gitar nya dengan nada laguViva La Vida tetapi hanya diikuti dengan senandung merdu nya. Lalu tiba – tiba Karel terdiam sejenak dan tersenyum simpul. “Gue cuma pengen ketemu Chris Martin.” “Terus abis ketemu mau ngapain? Tukeran nomer telfon?” timpal Aldi.  “Nih ya Bang,” Juan kemudian merangkulkan tangan nya ke bahu Karel. “kalo lo ketemu Chris Martin nanti, bilang ya ke dia kalo gue lebih cocok sama Dakota Johnson.” Azriel memasang ekspresi orang mual. “Bahkan mau seganteng apapun lo nih Ju, tetep aja cuma bagaikan ampas kentut nya Chris Martin.” “Rel, bahkan gue lebih bangga ketemu lo daripada Chris Martin.” Dan ternyata, ucapan Meza barusan, membuat mereka menatap nya bingung. “Karena cuma lo orang yang baru kenal gue udah ngelemparin kentang, cuma lo yang nyelametin gue dari kakak kelas kemaren, dan cuma lo yang—“ Aldi mengangkat kedua tangan nya ke atas. “Berhenti, Mez.” Juan mengibaskan tangan nya. “Gerah gue udah denger ‘cuma lo’ tiga kali buat Karel.” Azriel memegang lengan Karel. “Gue harus pegangin, nih. Nanti tiba – tiba baper karena rayuan mulut nya si Meza nih.” “Apaan sih?” Karel melepaskan tangan nya dari Azriel. “Mau gue suruh lari keliling komplek rumah gue lagi, hm?” Mengingat bagaimana yang Karel lakukan saat ketiga teman nya ini berlaku memalukan diri nya saat SMP, ketiga nya langsung kembali diam dan menggeleng. Bahkan hanya karena teman – teman nya itu meledeki Karel dengan seorang perempuan yang bahkan tidak Karel kenal di tengah kantin dengan menyoraki ‘cie’, pulang – pulang, ketiga dompet mereka sudah ada di tangan Karel. Dan untuk mengambilnya, itulah hukuman yang diberikan Karel. Dan sejak saat itu, mereka paham bahwa Karel bukan tipe orang yang bisa dibercandai dengan hal setidakjelas itu. “Mez, mau liat mantan lo, dong.” Ucapan ngelantur Azriel membuat Meza yang sedang tertawa pun mengerutkan dahi nya bingung. “Penasaran aja seganteng apa sih itu cowok bahkan sampe sekarang kadang masih bisa bikin lo galau.” perjelas Azriel yang habis memakan rumput laut dan sisa rumput laut nya masih bisa terlihat tersangkut di deretan gigi nya yang untung saja bersih. “Lo percaya nggak kalo dia ansos dan sampe sekarang gue enggak tau kontak dia yang bisa dihubungin?” dan teman – teman nya terdiam dengan ekspresi datar. “Pada kenyataan nya semiris itu, dan ya, gue enggak pacaran sama dia. Biasalah anak alay SMP, cuma HTS aja dan tiba – tiba gue ditinggal dia pindah ke Bandung.” Aldi mengacungkan jari nya seperti bagaimana para siswa ingin bertanya kepada guru. “Gue yakin dia enggak tau lagu Gucci Gang.” “Dan dia ketinggalan berita kalo 13 reasons why bakal ada season ke dua.” tambah Juan dengan bola mata yang dibulatkan. “Atau bahkan dia enggak tau kalo i********: bisa bikin snapgram?” tanya Azriel berusaha meyakinkan. Melihat tanggapan teman – teman nya, Meza hanya menggeleng dengan tertawa kecil. Alasan Meza tertawa memang didasarkan dengan perkataan mereka yang lucu, namun selain itu, dikarenakan Meza yang bingung ingin membalas dengan ekspresi apa lagi. Sedih bercampur rindu namun harus terlihat selalu bahagia di depan mereka. Andaikan waktu bisa diulang, semua orang pasti tentu saja ingin memperbaiki sebuah hubungan, terlebih lagi jika itu terpecah hanya karena kesalahpahaman. Jika sepasang insan beranggapan bahwa status yang mengatasnamakan mereka itu tidak penting dibandingkan rasa sayang karena kepercayaan satu sama lain yang telah terjalin, sepertinya itu hanya presepsi yang berekspetasi. Karena nyatanya? Banyak sekali laki – laki yang sebenarnya keberatan atas ketiadaan status itu dan justru merasa bahwa dirinya tidak terikat dan kemudian bisa melakukan hal – hal yang sama kepada perempuan lain. Mungkin memang jika ditanya beberapa perempuan akan menjawabnya dengan ‘tidak apa – apa’. Namun, bahkan tulisan di internet pun tidak pernah berbohong bahwa jauh di lubuk hati yang terdalam, ada hati yang tenggelam dengan kenangan yang kemudian menjadi kelam. “Mez, denger,” Aldi menatap Meza lekat – lekat. “Jangan pernah berucap rindu pada sesuatu yang telah hilang. Karena sesungguhnya, lo akan termasuk ke dalam golongan orang – orang yang tidak menghargai kehadiran orang yang sekarang ada di sisi lo.” Karel tersenyum dan meletakan kedua jari telunjuk tangan di ujung sunggingan senyum nya. “Kalo kata Banda Neira, yang patah tumbuh, yang hilang berganti.” “Kalo kata Banda Aceh?” sahut Juan. “Meski cintamu tak sekokoh Masjid Baiturrahman, tetapi aku percaya akan ada kehadiran penggantimu yang membuatku bahagia seperti habis makan Mie Aceh.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN