De Ja Vu

4092 Kata
Jam sudah menunjukkan pukul 21.26 wib. Dia sudah berada 7 jam di RS ini. Shift nya dimulai dari pukul 13.00 wib. Ririn biasanya praktek pada jam 15.00 hingga jam 20.00 malam. Terkadang kalau lagi ramai, prakteknya bisa sampai jam 10 malam. Sebagai dokter tulang, Ririn cukup terkenal. Pasiennya lebih banyak dari kalangan tua, dan anak-anak karena Ririn sangat ramah dan telaten dalam berinteraksi dengan pasien nya. Hari ini pasien Ririn hanya 17 orang. Itu sebabnya dia bisa pulang lebih awal. Sementara Renata harus menunggu hingga jam shift malamnya berakhir, yaitu jam 21.00. Renata merasa sangat haus. Ia memutuskan untuk pergi ke counter softdrink yang terletak diujung lantai gedung ini. Dia merogoh dompetnya untuk mencari lembar uang 5000 an. Namun tak ada. Di dompetnya hanya ada beberapa lembaran 50.000 saja. Mesin itu tak menyediakan kembalian. Renata bingung akan menukarkan uang itu kemana. Cafe terletak di lobby lantai satu. Di lantai ini semuanya hanya ada mesin makanan. "Ya sudahlah,"pikir Renata. " Aku akan membeli banyak minuman untuk dibawa pulang nantinya". Ia berjalan menuju mesin minuman. Seorang pemuda jangkung berdiri membelakangi nya di situ, sedang mengamati minuman yang akan dipilihnya. Renata mengantri dibelakang pemuda itu dan mengamatinya. Pemuda itu memakai baju seragam berwarna hijau tosca. Renata tahu itu adalah seragam orang-orang dibagian Bedah. Mungkin saja dia perawat ataupun dokter bedah. "Tapi bukannya ruangan Bedah letaknya di lantai 5. Untuk apa orang itu berada di lantai 3 tempat rawat jalan? " pikir Renata dalam hati. Renata langsung menepis pikiran nya itu. Untuk apa mempermasalahkan alasan orang itu turun ke lantai 3? Itu hak dia mau beli minuman di lantai berapapun di RS ini. Renata sedikit merasa malu karena prasangka yang ada dibenak nya itu. Renata berusaha untuk tidak kepo. Beberapa menit kemudian, Renata mendengar suara mesin mengeluarkan beberapa kaleng minuman pilihan pemuda itu. Pemuda itu menbungkuk menjangkau minumannya. Karena posisi Renata yang berada tepat di belakangnya, tubuhnya tersenggol b****g pemuda itu. Renata kaget, lantas langsung bergerak mundur menjauh. "Maaf" ucap gadis itu otomatis. Pria itu pun kaget dan berbalik menghadap Renata. Udara dari AC dan gerakan tubuh pria itu menghasilkan aroma yang langsung menusuk ke hidung Renata. Bau jeruk dan musk, aroma yang pernah di kenalnya. William!!! Ingatan Renata langsung tertuju pada pria itu. Ya... itu aroma yang sama dengan yang dipakai William. Renata tak berani mengangkat kepalanya. Mendadak dia takut berharap bahwa pria didepan nya adalah William. Tapi aroma ini sama. Re takkan melupakan nya. Ya Tuhan.. apakah dia William? Apa yang akan di katanya pada pemuda itu? Dia pasti bertanya mengapa Renata tidak menghubungi nya setelah menetap di Bandung. Alasan apa yang akan diberikannya?! Berbagai kekalutan berkecamuk di hati Renata. Jantung nya berdetak lebih cepat sekarang. Tangannya mendingin. Dia tak berani menatap pemuda itu. Dia berangsur mundur perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya berlari menjauh dari pria itu. "Tidak!!! Dia tidak siap bertemu dengan William saat ini. Semoga dia bukan William. Semoga bau parfum itu hanya sebuah kebetulan saja." doa Renata dalam hati. Renata berlari sekencang-kencangnya menyusuri lorong Rumah Sakit. Dia tak peduli marwahnya sebagi perawat. Dia tahu, bisa saja terpleset ketika berlari seperti ini. Namun dia tak mau berhenti berlari. Dia berbelok dan menuju toilet khusus petugas RS. Dia mengunci pintu dan berusaha menenangkan degup jantung nya yang menggelora. "s**t!! Sebegitu takutnya kah dia bertemu William?! Ada apa dengan dirinya? Bukannya dia berharap Tuhan akan mempertemukan mereka? Jika memang orang itu adalah William, Renata seharusnya senang dapat bertemu dia. Namun kenyataan nya, Renata tak sanggup hanya sekedar menatap wajahnya. Pipinya terasa panas oleh rasa malu. " cihh... kenapa aku harus merasa malu bertemu William?! Kenapa jantung ku berdebar begini hanya memikirkan bahwa pria itu mungkin adalah William?! Aduuuhh... otaknya pasti koslet deh. Harus nya dia memastikan dulu bahwa memang itu adalah William, baru melarikan diri seperti itu. Tapi aroma parfum itu memang mirip William. Itulah yang membuat nya yakin. "Tuhan... aku pasti sudah gila," pikir Renata. Sepuluh menit berlalu, Renata masih berada di dalam toilet. Tiba-tiba suara ketukan di pintu mengagetkan nya. Dia ingat, ini WC staf RS, hanya tersedia dua. Dia tak boleh terlalu lama di dalam sini. Perlahan Renata membuka pintu. Seorang perawat wanita menunggu di depan pintu. "Maaf jika saya terlalu lama didalam" kata Renata. Wanita itu mengangguk sedikit. Renata beranjak ke arah wastafel. Menatap kaca besar dihadapan nya. Wajahnya sedikit pucat. Dirabanya pergelangan tangannya, denyut nadinya masih terasa tidak beraturan. Renata tidak menyangka, kejadian barusan benar-benar mempengaruhi dirinya secara emosional. **** Sejak hari itu, Renata tidak pernah mencium bau parfum itu lagi. Orang-orang yang berinteraksi dengannya tak ada yang berbau parfum itu. Hingga suatu siang di bulan april, disaat ia sedang makan siang di restoran RS bersama Ririn, bau khas parfum itu menyengat hidungnya. Hampir saja ia tersedak makanan di mulutnya. Wajahnya langsung pucat. Ririn yang melihat perubahan rona Renata, juga bertanya-tanya. "Napa muka loe kayak pucat gitu Nat? Kesambet setan disini? " tanya Ririn. Renata diam tak menjawab. Matanya berputar mencari-cari darimana asal bau parfum itu. Disekitarnya tidak ada cowok. Hanya beberapa staf cewek dan pramusaji cowok yang baru saja mengantarkan makanan pada mereka. Pramusaji itu jelas bukan William karena kulit nya berwarna coklat. William berkulit putih khas bule. Sementara dirinya sibuk mencari, Ririn mendadak menghentikan kegiatan mengunyahnya. Tatapannya beralih ke arah belakang Renata. Bola mata Ririn yang sipit sedikit terbelalak, seolah melihat hantu. "Jamie!! " teriak Ririn histeris. Renata kaget jadinya. Ririn langsung berlari ke arah tempat duduk Renata dan memeluk pria yang tengah berdiri dibelakang Renata itu. Renata memutar badannya untuk melihat siapa itu Jamie. Bau parfum jeruk kembali menusuk hidungnya. "Upss.. bau itu ternyata berasal dari tubuh teman Ririn ini. Apakah..??? Semoga tidak," pikir Renata. Ia memperhatikan profil pria yang sedang memeluk Ririn. Pria jangkung dengan tubuh proporsional. Rambut lurus model cepak dengan jaket kulit yang berkelas. Ririn kemudian berpaling pada Renata. Dia memperkenalkan Nata pada pria itu. "Om Jamie... kenalkan ini sahabat ku, Nata. Dia perawat diruanganku. Dan Nata, ini om ku Jamie. Dokter Jamie tepatnya. Dia adik papaku yang nomor 3. Aku bahkan tidak tahu dia ada di Indonesia. Terakhir dia rasanya ada di Inggris" jelas Ririn panjang lebar. Renata mengangkat tubuhnya dan berdiri disebelah Ririn. Diulurkan tangannya pada pria itu. Dokter Jamie menyambut uluran tangannya. Mereka saling bertatapan. Dan seketika waktu terasa berhenti. "Pria ini...!!! Dia jelas adalah William. Mata biru itu, senyum tengil itu, wajah tirus itu juga masih sama", pikir Renata dalam hati. Bau parfum yang sama. Pria itu pun mengamati Renata seksama. Keningnya berkerut seolah memaksa memorinya bekerja untuk mengingat sosok gadis yang ada di depan nya. Namun William tidak berkata apapun. Hanya deheman kecil yang dikeluarkannya. Sejurus kemudian perhatian pria itu fokus pada Ririn. Memberinya beberapa pertanyaan. Ririn lalu mengajak William alias Jamie untuk duduk bersama mereka. Jamie tidak lagi memperhatikan Renata. Dia hanya berinteraksi dengan Ririn, seolah Renata tidak ada disitu. Renata agak sedikit kecewa dengan perlakuan William. Tapi dia sadar, bukankah kemarin dia juga terlalu takut untuk berhadapan dengan sosok ini? Mungkin lebih baik seperti ini, seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Jadi Ririn tidak akan bawel bertanya apapun pada Renata tentang hubungan mereka. Dari percakapannya dengan Ririn, Renata tahu bahwa William sebenarnya sudah bekerja disini sejak 5 tahun yang lalu, di bagian Klinik Bedah. Tapi dia lebih banyak berada di kampus sebagai tenaga pengajar. Dia baru tahu kalau Ririn bekerja juga disini dari papanya. Dia berusaha mencari Ririn malam itu di lantai 3, namun dia sudah pulang. Dan karena kesibukannya, dia tak sempat lagi mencari Ririn lagi. Hingga dia melihat kami di restoran hari ini, saat baru masuk ke gedung RS. Ririn bertanya apakah om nya itu sudah menikah? Pria itu mengangkat jemarinya, menunjukkan bahwa tak ada cincin tersemat disana, berarti dia masih single. "Apa????! " teriak Ririn. "Kenapa ga laku-laku sih om?! Yakin om bukan homo?! " ledek Ririn. Om Jamie tertawa. "Menurut mu gimana? " balasnya lagi. Renata menatap kearah dokter Jamie. "Oh God... semoga dia bukan homo", pikir Renata. Di zaman ini sangat sulit membedakan pria homo dan normal. Renata berharap William masih normal. " Aku baru saja di tinggal menikah oleh pasanganku dear. "kata William. " O. M. G!! I cant believe that. " teriak Ririn. "Kurasa dia tak sanggup menungguku untuk melamarnya" William terkekeh. "Suara tawa itu masih sama seperti dahulu, " pikir Ririn. "Lagian om Jamie juga sih... kelamaan ngelamar anak orang. Lihat neh Ririn, baru aja tamat spesialis udah di lamar Arya. " sahut Ririn sambil memamerkan cincin tunangannya. Perbincangan mereka berlangsung lama, hampir satu jam. Namun waktu tidak terasa berlalu. Ririn tidak sadar selama perbincangan itu, ia terus menerus menatap wajah William. Sementara yang ditatap, tak sedikitpun menoleh pada wanita itu. Ada yang aneh. Kenapa pria ini tidak mau menatapnya? Apakah dia marah pada Renata? Kenapa? Apakah karena Renata tidak pernah menghubunginya, sehingga William tak mau menerima kehadirannya sekarang? Jahat sekali dia. Tapi memang itu salah Renata. Dia yang memutuskan untuk tidak menghubungi William, jadi wajar saja jika dia marah dan mengacuhkan Re seperti itu. Mereka kemudian berpindah tempat. Sambil berjalan menuju lift, kedua dokter yang berstatus om dan ponakan itu, masih terus bercerita dengan seru. Renata memilih berjalan dibelakang mereka berdua dan menjaga jarak. Ketika pintu lift terbuka, tampak lift dalam keadaan kosong. Ririn duluan masuk disusul Jamie dan Renata. Renata beringsut mendekati Ririn, tanpa sengaja lengannya menyenggol tubuh Jamie. Spontan dia berkata "Maaf, dok. Tidak sengaja". Hatinya langsung ciut saat tahu dokter Jamie tengah menatapnya. Ririn tertawa dengan kelakuan sahabatnya itu. " Ayolah Re, jangan sekaku itu. Ini om ku, bukan orang lain." ujar Ririn sambil terkekeh. Kalau dalam kondisi normal, Renata tidak akan bersikap seperti ini. Tapi ini dia berada di depan pemuda yang tidak diharapkannya untuk bertemu sekarang. Bagaimana mungkin dia tak jadi salah tingkah dihadapannya?!" pikir Renata. "Jadi... Ririn harus memanggil om Jamie apa di RS? " tanya Ririn sebelum pintu lift yang mengantarkan mereka ke lantai 3 terbuka. "Dokter Jamie saja untukmu. " sahut William. Ririn berjalan duluan keluar, disusul dengan Renata. Ketika Renata melewati dokter Jamie, tiba-tiba pria itu berbisik lirih padanya. "Tapi gadis panda ini tidak boleh menyebut namaku dengan mulutnya. Awas saja kalau berani !! " Renata terkejut. Matanya terbelalak mengungkapkan kekagetannya. Ririn tidak mendengar kata-kata Jamie barusan. Hanya Renata yang mendengar nya. "Tuhan.. dia mengingat ku!! " bisik Renata dalam hatinya. Pintu lift segera menutup, Ririn melambaikan tangannya pada Jamie. Renata sama sekali tak berani membalikkan tubuhnya melihat kepada dokter Jamie. "Mati aku!! Ternyata dia benar-benar ingat padaku! " ujar hati Renata. Pantas saja dia mengacuhkan aku dari tadi. "Nata... kenapa wajahmu jadi pias begitu? Sakit lagi?" tanya Ririn menyelidiki. "Hm.. bukan. Aku agak kurang enak badan. Mungkin karena telat makan tadi. " ujar Renata berbohong. Mereka berdua lalu menuju ruangan praktek Ririn. Sepanjang perjalanan Ririn sibuk mempromosikan om nya itu. "Mau ga ku kenalin dengan om ku itu? Mana tau jodoh. Selera mu kan om-om model begituan" ujar Ririn sambil tertawa mengejek. "Tapi om Jamie itu ganteng lho. Mungkin umurnya sudah sekitar 40 tahun. Soalnya waktu aku masih 3 tahunan, dia udah SMP kalo ga salah. Jarak umur kami hampir 10 tahunan. Gebetan mu itu... siapa namanya? Hmmm... William ya?! Pasti kalah deh dengan om ku itu secara tampang. " Ririn masih saja menyerocos tak jelas tentang om Jamie. Renata sudah ga fokus lagi.  Bagaimana menjelaskan pada Ririn bahwa om Jamie adalah William?! Ririn pasti shock jika tahu hal itu. Kepala Renata semakin pusing memikirkan hal ini. Pusing bagaimana menghadapi William nanti jika mereka bertemu di RS ini. Pusing bagaimana menjelaskan pada William alasan dia tak pernah menghubungi pria itu sesuai janjinya dulu?! Renata tahu, Hari-hari nya tidak akan setenang dahulu. Dia harus bermain petak umpet untuk menghindari William. *** Sejak kejadian di lift bersama Ririn hari itu, Renata tak pernah berjumpa dengan William lagi. Dia berusaha berhati-hati, selalu celingukan ke kanan dan ke kiri, demi memastikan bahwa tidak ada pria bernama William alias dokter Jamie disekitarnya. Trik itu tampaknya berhasil. Malam ini Ririn dan Renata agak telat pulang praktek. Pasien mereka hari ini banyak sekali. Ada lebih 30 orang, sehingga sampai jam 22.30, baru mereka bisa berkemas untuk pulang. "Nat, loe pulang bareng gue aja ya. Kebetulan Arya jemput. " tawar Ririn. Ada rasa tak enak bagi Renata jika harus pulang bersama Arya, karena jarak rumah Ririn lebih dekat daripada rumah Renata. Dia tak mau ditinggal berduaan dengan Arya nantinya saat pria itu mengantarkannya ke rumah. Walaupun Ririn tak pernah cemburu pada Renata, tapi gadis itu tidak mau menyakiti perasaan Ririn, dengan pulang berduaan dimobil bersama tunangan sahabatnya itu. "Ga ah Rin, aku tidur di RS aja. Di kamar perawat masih ada bed yang kosong." kata Renata. RS ini memang menyediakan fasilitas kamar tidur bagi perawat dan dokter yang dinas malam. Renata sudah pernah beberapa kali tidur di RS. Keseringannya karena terperangkap hujan yang tidak mengizinkannya untuk bisa pulang ke rumah. Maklum, Renata hanya memakai motor sebagai fasilitas transportasinya dikota Jakarta ini. Jarak RS dengan apartemennya tidak terlalu jauh, hanya 7 km. Sekitar 15 menit perjalanan memakai motor. Tapi untuk malam ini, Renata hanya mencari alasan saja mengatakan akan tidur di RS, agar Ririn tidak memaksanya untuk ikut pulang bersama dirinya dan Arya. Dia membiarkan Ririn naik ke mobil Arya terlebih dahulu dan memastikan mobil itu jauh, baru kemudian Renata bergegas menuju lift di Lobby RS. Terburu-buru gadis itu masuk ke lift saat pintunya terbuka dan menekan tombol "B" untuk bisa ke parkiran motor yang ada di basement gedung ini. Lift berhenti di basement. Pintu lift terbuka di arah belakang. ( Lift RS ini memiliki dua pintu, depan dan belakang. Pada saat berada pada lantai bernomor genap dan basement, pintu belakang yang akan terbuka. Namun untuk lantai bernomor ganjil dan lobby, pintu depan lah yang akan terbuka ). Satu per satu orang di lift mulai keluar. Karena posisi Renata yang paling ujung, maka dia paling akhir bergerak. Namun belum sempat tubuhnya mencapai pintu, pintu itu mulai tertutup otomatis. Renata lalu mencoba meraih tombol disisi lift untuk menekan tombol yang akan membuka pintu. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan mencekal pergelangan nya kuat. Renata kaget. Aroma parfum yang Renata takuti itu, langsung memenuhi ruangan di lift. Renata mengangkat kepalanya dan menemukan sepasang mata biru tengah menatapnya tajam. Tanpa bisa dicegah, lift kemudian bergerak ke atas. Pemuda itu menekan tombol lantai 15 menuju puncak gedung RS. "Jangan menghindariku gadis Panda. Aku ingin bicara empat mata denganmu malam ini" kata William tegas. Renata tak mampu mengelak lagi. Dia pasrah dan hanya bisa menggigit bibirnya menyadari ketidakberuntungannya malam ini. "Aduh... mengapa dia tak memeriksa dulu siapa saja yang ada di lift itu?! Kalau saja dia tahu William ada didalamnya, ia takkan masuk ke lift itu." pikir Renata.Tapi nasi sudah menjadi bubur. Posisinya sekarang sudah ketahuan oleh William. Dia tak dapat menolak kehadiran pria itu. Permainan kucing-kucingannya dengan William telah gagal malam ini. Setibanya di lantai 15, William menarik paksa tangan Renata keluar dari lift dengan kasar. Angin malam nan dingin serasa menusuk tulang gadis itu. Dia mengikuti saja langkah panjang William menuju sisi atap gedung. Pemandangan kota Jakarta malam ini sangat indah. Kerlip bintang bertaburan dilangit, sepadan dengan pencahayaan gedung-gedung pencakar langit di kota ini. Tapi Renata berasa di puncak atap gedung ini bukan untuk melihat pemandangan. Kakinya gemeteran. Otaknya sibuk mencari alasan untuk setiap pertanyaan yang pasti akan dilontarkan pria bule ini. Tapi William hanya diam sambil mengeluarkan sebatang rokok. Dia menyulut api dan mulai menghisap asap rokok itu, kemudian menghembuskannya kuat-kuat ke arah Renata. Kabut asap menyelimuti Renata. Gadis itu menahan nafasnya agar asap itu tidak tercium olehnya. " Kau berhutang penjelasan padaku gadis Panda!! Ku beri waktu 10 menit untuk penjelasanmu. " ujar William pada Renata. Gadis itu sadar, bermain belagak b**o sangat tidak tepat untuknya saat ini. Pria bule itu menuntut penjelasan, sudah pasti tentang alasan mengapa Renata tidak memenuhi janji untuk menghubunginya selama ini. Hanya saja ia tidak tahu harus mulai dari mana. Lidahnya mendadak mati rasa. "Hmmm...maaf... aku lupa. Itu karena aku tidak dapat menemukan kartu namamu saat membongkar barang-barangku dulu. " Renata mulai beralasan sambil menutup matanya dan berpaling dari wajah William. Dia tak terbiasa berbohong. Jika William melihat ke dalam pancaran matanya, dia akan tahu bahwa Renata sedang berbohong. Pria itu membalikkan tubuh Renata kasar dan mendorongnya ke arah dinding. William mengunci tubuh mungil Renata dalam tangan kekarnya. Satu tangannya bergerak menyentuh wajah Renata, memaksanya untuk menatap ke wajah pria itu. Renata menguatkan hatinya agar bisa menatap mata biru itu. Tapi dia tak mampu !!Tatapannya hanya jatuh pada bibir tipis William yang sangat menggoda. Bibir itu sangat merah. Padahal pria itu merokok,namun bibir nya tampak merah, lembut dan basah. Dadanya serasa panas ketika menatap bibir pria itu. Dia tak mengerti perasaan apa yang datang di kalbunya. Wajah Renata tiba-tiba bersemu merah. "Semoga William tidak melihat wajahnya yang bersemu saat ini, " pikir Renata dalam hati. William masih menatapnya tajam. "Kau memang pembohong yang buruk, gadis Panda. Coba cari alasan yang lain sebelum aku benar-benar marah" ujar pria itu lagi. Renata segera memutar otak mencari alasan yang paling menguntungkannya. "Hmmm...aku tak punya uang saat itu. Aku harus masuk sekolah dan itu perlu biaya ! Aku menjual HP milikku untuk bisa membeli buku sekolah. " jelasnya lagi. William masih terdiam mencerna kata-kata yang diucapkan Renata. "Semoga kali ini dia percaya alasan yang kuberikan" bisik hati Renata. William akhirnya percaya ! Dia melepaskan tangannya dari tubuh Renata dan kemudian memberikan sedikit ruang bagi Renata untuk bergerak. Gadis itu bernafas lega. Namun beberapa detik kemudian William berbalik lagi mengunci tubuh Renata ke arah dinding. "Mengapa kau menghindariku di RS? Mengapa kau berlagak tidak mengenaliku saat itu? Kau fikir aku tak tahu bahwa dirimu yang berdiri di belakang ku di mesin minuman malam itu? Mengapa kau malah lari? " tanya William menuntut penjelasan Renata kemudian. "Itu... itu karena.. " otak Renata langsung down mencari alasannya saat dibombardir dengan pertanyaan beruntun seperti itu. Dia tak mungkin bilang kalau dia takut bertemu William. Akan panjang sekali pertanyaan pemuda itu nanti. "Aku waktu itu... kebelet pipis!!! Aku Tidak menghindarimu. Ya... hanya kebelet pipis aja kok. Lagipula aku tak tahu kalo itu dirimu. Aku tak melihat wajahmu malam itu. Kan posisi kita membelakangi. Dan memang aku menghindari mu setelah pertemuan kita di restoran itu, karena aku ga enak dengan Ririn. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan dengannya tentang pertemuan kita di Australia yang cuma sebentar. Lagipula itu cuma pertemuan biasa, tidak ada yang istimewa. Iya kan?! " Renata agak sedikit ragu dengan kata-kata yang diucapkannya. Sejujurnya pertemuan itu baginya sangat istimewa. Namun dia tak berani berharap pria itu, yang jauh lebih tua dari nya, mau menganggap itu sebagai pertemuan yang istimewa. Renata mencoba menatap mata biru milik William. Berharap jawaban pria itu akan berbeda dengan apa yang barusan dikatakan Renata. "Ya... itu hanya pertemuan biasa. Hanya sesaat, tidak ada yang istimewa. " ujar William. Renata sedikit kecewa mendengar perkataan William. Tapi dia mencoba tersenyum. Tapi yang tercipta hanya senyuman kecewa. "Baiklah, aku percaya kata-kata mu saat ini. Sekarang ceritakan kenapa kau bisa bersama Ririn !!Ceritakan kisahmu selama 10 tahun ini dan kau boleh pergi setelahnya. " kata William sambil duduk di pagar pembatas gedung. Renata mengikuti William dan ikutan duduk disebelahnya. Otak gadis itu mulai menyusun kata-kata apa yang akan diucapkannya untuk memulai kisah hidupnya. Dia ingin berbagi cerita dengan William. Dia ingin mengeluarkan uneg-uneg dihatinya. Dia tak ingin membohongi pria ini lagi. Demi menyenangkan hatinya, Renata pun mulai bercerita tentang kehidupannya setelah pertemuan dengan William di bandara saat itu. *** Malam itu Renata memutuskan untuk tidak jadi pulang ke rumah. Waktu menunjukkan pukul 23.35 saat ia selesai bercerita. Setelah nya, gantian William yang menceritakan kehidupannya kepada Renata. William adalah adik dari papa Ririn. Nama sebenarnya adalah Jamie William Alexander. Selama masa SMA nya, dia tinggal di Inggris. Kuliah pun di Inggris. Saat adiknya meninggal, Jamie berlibur ke Bandung untuk refresing, ke tempat papa Ririn. Heran baginya, kenapa mereka tak pernah sekalipun bertemu dirumah Ririn, padahal Renata sering bermain ke sana setelah bertemu lagi dengan sahabatnya itu di Bandung. Hampir jam 2 pagi ketika semua curhatan itu kelar. Entah kenapa Renata mau berbagi cerita kehidupannya dengan William di atap RS ini. Mungkin karena perasaan bersalahnya yang besar pada pria itu. "Mulai hari ini, untuk menebus kesalahanmu, kau harus ikut semua permintaanku, gadis Panda. " perintah William. "Enak aja. Emang kenapa aku harus mengikutimu? Baru juga ketemu lagi, udah minta yang aneh-aneh. Dasar gila ! " elak Renata menjawab sekenanya. Entah dapat keberanian darimana mulut gadis itu lancang mengeluarkan kata-kata seperti itu pada dokter seniornya. Renata pun terkejut akan dirinya. William menatap Renata tepat di matanya. Pemuda itu membuang rokoknya sembarangan dengan kasar. Dia lalu berjalan perlahan ke arah gadis itu. Renata spontan berjalan mundur demi melihat reaksi dan ekspresi yang dipancarkan pemuda itu melalui sorot matanya. Sekali lagi dia menyesali kesalahannya. Kakinya gemetar, tubuhnya kembali menabrak dinding dibelakangnya dan ia terkurung kembali diantara tubuh maskulin William. "Kau masih bertanya kenapa?! Apa otak pintar mu itu tak dapat menjawabnya?! Kau harus dihukum karena kau membuatku berharap dan terus menunggu selama 10 tahun ini. Kau di hukum karena membuatku selalu menatap layar HP, tidak mengganti nomorku dan selalu berharap kau akan menghubungiku seperti janjimu, Nona. Aku orang yang selalu menepati janji. Dan aku kecewa karena kau tidak begitu. Jadi... sekarang kau akanku hukum atas perbuatanmu selama 10 tahun ini. " gertak William pada Renata. Gadis itu terpana. Dia tak percaya akan apa yang didengarnya. William menunggu dia menghubunginya?! Benarkah?! 10 tahun ini?! Sebongkah rasa bahagia menyusup ke relung hatinya. Ada rasa malu di dadanya menyadari rasa bahagia itu datang. Dia tak menyangka, orang yang dihindarinya ternyata menunggu telpon gadis itu selama 10 tahun !!! Untuk apa?! Ingin rasanya Renata bertanya, namun mulutnya terkunci. Wajah William berada di depannya kini. Aroma parfum khasnya tercium kuat di indera Renata. Renata dapat merasakan tubuh William bersentuhan dengan kulitnya. Satu tangannya diletakkan di dinding atas kepalanya, mengunci pergerakan Renata. Satu tangannya yang lain menyelinap ke pinggang ramping Renata. Mereka saling bertatapan. Mata biru itu kini menatapnya dengan lembut. Renata menahan nafas. Ada daya tarik yang tak terlihat pada mata biru itu. Memaksa Renata untuk memajukan wajahnya mendekati bibir pemuda itu. "Tuhan... jangan sampai aku mencium bibir itu, " pekik Renata dalam hati. Tapi dia tak mampu menahan gejolak hatinya. Daya tarik keduanya sangat kuat. Renata berusaha sekuat tenaga menahan dirinya. Perlahan bibir mereka saling mendekat, namun tak kunjung terpaut. Nafas pria itu berhembus hangat di wajah Renata. Kepala William mengitari wajah mungil gadis itu. Mengamati tiap inchi wajahnya. Bibir pria itu hampir bersentuhan dengan bibirnya. Renata lalu memaksa alam sadarnya kembali. Dia menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menyadarkannya atas situasi ini. Dia tak mau terlena dalam aura maskulin pria itu. Pria yang jauh lebih tua darinya. Apalagi dia adalah om sahabatnya. Dan dia adalah dokter bedah senior di RS nya. Renata menutup matanya, mencoba menghindari pengaruh medan magnet mata biru itu. "Arggghh... " William tiba-tiba mengerang lirih. Dia menjauhkan tubuhnya dari Renata dan berbalik meninggalkan gadis itu sendirian di atap gedung itu. Renata membuka matanya saat mendengar suara pintu lift dibelakangnya terbuka. Pria itu sudah pergi. Namun kaki Renata masih gemetaran. Lututnya goyah dan ia jatuh terduduk. "Tuhan... apa yang terjadi barusan?! Aku pasti sudah gila!! Mengapa aku malah ingin menciumnya?! Sadarlah Re, pria itu om sahabat mu. Kenapa kau malah tertarik ingin mencium bibirnya?! Kau memang gila!! " umpat Re dalam hati. Tiga menit berlalu. Renata berjalan ke arah lift. Menekan tombol panah ke bawah untuk membuka pintunya. Saat pintu itu terbuka, mata indah Renata terbelalak. William masih berada di dalam lift itu. Mata biru itu menatapnya lagi. Renata tak berani melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam lift. Tubuhnya membeku. ***  Renata diam dalam ragunya. Melihat William ternyata masih berada didalam lift, dia bingung apakah akan bergerak masuk atau tidak. "Ayolah, ku antarkan kau pulang. Terlalu lama disini bersamamu membuatku hilang diri. Aku serasa bisa melakukan hal yang lebih dari itu disini, jika kita lebih lama lagi bersama." ujar William sambil mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. "Tidak... aku akan tidur di kamar perawat. Ini sudah terlalu pagi untuk pulang." kata Renata sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam 3 pagi. Renata memutuskan masuk lalu, menekan angka 7. William bergerak ke arahnya dan menggesek sebuah kartu privat lalu menekan angka 10. Kamar tidur perawat ada di lantai 7. Mungkin ruangan William ada dilantai 10. " RS menyediakan ruangan apartemen khusus untukku beristirahat sehabis operasi dilantai 10." seakan tahu fikiran Renata, William menjelaskan. Beberapa saat kemudian pintu lift pun terbuka dilantai 10. Terlihat sebuah pintu besar didepannya. Tiba-tiba William menarik tangan Renata. "Ikut aku!! Daripada kau tidur di kamar perawat, lebih baik bersama ku. Urusan kita harus di tuntaskan" kata William penuh makna. Renata tak bisa menolak saat jemari William mengangkat tubuh mungilnya masuk kedalam pelukan pria itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN