Bab 1 – Pernikahan Tanpa Pilihan
Langit sore itu tampak mendung, seolah mengerti suasana hati seorang gadis yang berdiri terpaku di depan cermin besar. Gaun putih sederhana membalut tubuh mungilnya. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak murung. Matanya sembap, menahan tangis sejak tadi pagi.
Namanya Arina Wicaksana, 23 tahun, gadis sederhana dari keluarga biasa. Dan hari ini, ia akan menikah bukan karena cinta, melainkan karena perjanjian kontrak.
“Pernikahan tanpa cinta beginikah rasanya?”
Hatinya sesak. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan masa depan yang tak pasti terus menghantui pikirannya.
⸻
Pernikahan ini bukan pilihannya. Semuanya bermula dari kebangkrutan usaha ayahnya. Hutang menumpuk, rumah hampir disita, dan adiknya harus berhenti kuliah. Di tengah keputusasaan itu, datanglah tawaran dari keluarga Mahendra, keluarga pengusaha ternama yang memiliki koneksi kuat dan kekayaan luar biasa.
Arina hanya butuh satu hal: mengorbankan dirinya.
Lalu muncullah nama itu. Arsen Mahendra. CEO muda, sukses, dan terkenal dingin. Usianya 29 tahun, terpaut enam tahun dengannya. Mereka tak pernah saling kenal, tak pernah bertukar sapa. Tapi hari ini, mereka akan menikah.
“Untuk ibu, untuk ayah, aku rela,” bisiknya lirih.
⸻
Gedung pernikahan dipenuhi aroma melati. Tapi tidak ada musik. Tidak ada pesta. Hanya prosesi singkat yang dihadiri orang-orang penting yang bahkan tidak menatapnya dengan simpati.
Arina berdiri kaku di samping Arsen yang mengenakan jas hitam elegan. Wajah pria itu tidak menunjukkan emosi. Tidak tersenyum. Tidak menoleh ke arahnya.
“Saudari Arina Wicaksana, apakah Anda bersedia menikah dengan Tuan Arsen Mahendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai?”
“Saya bersedia.”
Kalimat itu meluncur dari bibirnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk mengikatnya dalam ikatan hukum yang berat. Ia melirik ke arah Arsen, berharap menemukan secercah pengakuan. Tapi nihil. Pria itu bahkan tidak menatapnya.
⸻
Setelah akad, mereka keluar ruangan dan langsung menuju mobil. Tidak ada resepsi. Tidak ada peluk cium hangat dari kerabat. Hanya sunyi yang menyesakkan.
Arsen membuka pintu belakang mobil dan duduk tanpa berkata apa-apa. Arina mengikutinya dengan hati-hati.
Sepanjang perjalanan, tidak ada satu kata pun keluar dari mulut pria itu. Arina memandangnya sejenak.
“Terima kasih, sudah bersedia menikah denganku,” ucapnya pelan, lebih kepada sopan santun.
Arsen menoleh dengan pandangan datar. “Ini kesepakatan. Jangan bawa perasaan ke dalamnya.”
Ucapan itu menusuk hati Arina seperti jarum es. Tapi ia tersenyum paksa.
“Ya Tuhan, aku benar-benar menikahi pria yang tidak mencintaiku.”
⸻
Mobil berhenti di depan rumah besar bergaya modern minimalis. Arina nyaris tak percaya, rumah itu seperti hotel bintang lima. Tapi meski megah, tempat itu terasa dingin dan sunyi.
“Rumah ini sekarang juga milikmu selama perjanjian ini berlaku,” ujar Arsen datar. “Ada tiga kamar. Pilih mana saja, tapi jangan masuk ke kamar kerja.”
“Baik,” jawab Arina singkat.
Ia menyeret kopernya sendiri menuju kamar di ujung lorong. Kamar itu luas dan bersih, tapi tetap saja terasa asing. Ia duduk di ranjang dan menghela napas panjang.
“Jadi, inilah hidupku sekarang.”
Di atas meja, buku nikah mereka tergeletak. Arina menyentuh namanya di sana, lalu menatap nama “Arsen Mahendra” yang tertulis sebagai suaminya.
“Suami kontrak”
⸻
Malam itu, Arina terjaga. Ia keluar kamar dan berjalan ke dapur untuk minum. Saat kembali, ia tanpa sengaja melihat Arsen di ruang kerja. Pria itu berdiri di balik jendela besar, menatap langit malam dengan wajah tegang.
Untuk sesaat, Arina menatapnya diam-diam. Ada sesuatu dalam sorot mata Arsen semacam luka lama yang tak pernah sembuh.
Tapi saat Arsen menyadari keberadaannya, pria itu langsung menutup jendela dan kembali duduk.
Arina kembali ke kamar. Kali ini ia tak bisa lagi menahan air mata.
“Aku tidak tahu apa yang menantiku ke depan, tapi ini bukan cerita cinta yang kupikirkan saat kecil.”
⸻
Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya:
“Terima kasih, Nak. Karena kamu, kita masih bisa tinggal di rumah ini. Ibu bangga padamu.”
Air mata Arina kembali menetes. Ia memeluk ponsel itu seperti memeluk ibunya.
“Kalau aku harus menderita demi keluarga, aku ikhlas. Tapi tolong, kuatkan aku, Tuhan.”
⸻
Di sisi lain rumah, Arsen masih terjaga. Ia menatap buku nikah yang sama. Tapi tatapannya kosong.
Baginya, pernikahan ini hanya formalitas. Tapi entah kenapa wajah Arina terus terbayang di pikirannya.
“Jangan bawa perasaan,” ulangnya dalam hati. Tapi hatinya sendiri mulai goyah.
Arsen menutup buku nikah itu perlahan. Tangannya menggenggam kertas itu erat, seolah ingin meyakinkan diri bahwa semua ini hanya sementara.
“Enam bulan saja. Setelah itu, selesai.”
Tapi kenapa wajah Arina terus membayang? Matanya yang merah karena menahan tangis, senyumnya yang dipaksakan, dan keberaniannya berdiri di sisi pria asing yang bahkan tak pernah memperlakukannya dengan hormat.
Arsen memejamkan mata. Dadanya sesak, meski ia sendiri tak tahu kenapa.
“Jangan bawa perasaan,” ulangnya lagi dalam hati. Tapi untuk pertama kalinya, logika dan hatinya mulai saling bertarung.
Sementara itu, di kamarnya, Arina akhirnya tertidur dengan air mata yang belum kering. Di tangannya, ponsel dengan pesan ibunya masih terbuka.
Dan malam pertama mereka sebagai suami istri… berakhir dalam kesepian yang sama-sama menyakitkan.
Pagi harinya, sinar matahari yang masuk dari jendela besar membangunkan Arina lebih dulu. Ia duduk di atas ranjang, masih mengenakan gaun tidur tipis yang disediakan oleh asisten rumah tangga. Wajahnya masih lelah, tapi ia tahu, ia harus menjalani hari.
Suara ketukan lembut terdengar dari pintu. Seorang wanita paruh baya yang mengenalkan diri sebagai Bu Lestari muncul dengan membawa nampan sarapan.
“Selamat pagi, Nyonya. Ini sarapan dari dapur. Tuan Arsen sudah berangkat lebih dulu,” ucapnya sopan.
Arina menatap nampan itu. Ada roti panggang, jus jeruk, dan sepucuk surat kecil yang diletakkan rapi di samping piring.
Dengan hati-hati, Arina membuka surat itu.
“Ini hari pertamamu di rumah ini. Lakukan apa pun yang kau mau. Tapi tetap ingat, jangan ganggu urusanku. – Arsen”
Tulisan tangan itu rapi, dingin, tanpa salam pembuka atau penutup. Arina menggenggam surat itu erat. Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata sesingkat itu terasa seperti pagar tinggi yang dibangun antara mereka.
“Baiklah, Tuan Mahendra. Aku akan bermain sesuai aturanmu,” bisiknya pelan.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia berharap suatu hari, mungkin pria itu akan menoleh ke arahnya, bukan karena kontrak, tapi karena hati.