bc

Wajah Kedua Sang Penguasa

book_age18+
1
FOLLOW
1K
READ
dark
family
badboy
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
lighthearted
serious
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Di balik kemewahan kota Ardencia, berdiri seorang pria yang menguasai segalanya bernama Leonard Varghese, pengusaha muda yang dikenal dingin, cerdas, dan tak tersentuh. Ia adalah simbol kekuasaan dan kesempurnaan… setidaknya di mata dunia. Namun tidak ada yang tahu bahwa Leonard menyimpan wajah lain berupa Rafael, sosok misterius yang memimpin jaringan bawah tanah terbesar di negeri itu. Dalam dunia gelap yang dipenuhi darah dan rahasia, Rafael adalah nama yang ditakuti, pemegang kendali atas kekacauan yang menumbangkan banyak penguasa. Dua nama. Dua kehidupan. Satu jiwa yang perlahan retak. Semua berjalan sesuai rencana, sampai Ardena Callista, seorang jurnalis muda yang menyelidiki konspirasi politik di balik kematian ayahnya, muncul dalam hidup Leonard. Perempuan itu bukan hanya ancaman bagi rahasia gelapnya, tapi juga percikan yang membangunkan sisi manusia yang selama ini ia bunuh. Ketika cinta tumbuh di antara kebohongan, dan setiap sentuhan menjadi pisau bermata dua, permainan pun berubah menjadi medan perang antara hasrat dan kehancuran. Ardena harus memilih antara kebenaran dan keselamatan… Sementara Leonard harus menentukan wajah mana yang akan ia pertahankan, penguasa yang berkuasa atas dunia, atau pria yang rela hancur demi wanita yang menatapnya dengan kejujuran. Namun di dunia di mana setiap senyum menyembunyikan jebakan, cinta adalah permainan paling berbahaya dari semuanya. ini sudah baik

chap-preview
Free preview
1. Bayangan di Balik Kaca
Tepuk tangan memenuhi ruang ballroom Hotel Grandeur seperti gelombang yang terukur cukup keras untuk menunjukkan apresiasi, tapi tidak berlebihan hingga terdengar dibuat-buat. Leonard Varghese berdiri di podium dengan setelan Armani hitam yang dipotong sempurna mengikuti lekuk tubuhnya, senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum yang sudah ia latih ribuan kali di depan cermin. Senyum yang tidak pernah mencapai matanya. "Varghese Corp bukan hanya tentang profit," suaranya dalam dan berwibawa, mengalir keluar dengan artikulasi sempurna. "Kami tentang membangun masa depan. Tentang menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan untuk generasi mendatang." Bullshit. Kata itu bergema di kepalanya sendiri, tapi wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Leonard tahu permainan ini. Sudah puluhan tahun ia mainkan. Para investor di depannya dengan jas mahal dan jam tangan yang harganya bisa beli mobil, mereka semua peduli satu hal: berapa banyak uang yang akan masuk ke kantong mereka. Semua omong kosong tentang "keberlanjutan" dan "visi masa depan" hanya bumbu pemanis supaya mereka bisa tidur nyenyak di malam hari, merasa diri mereka bukan sekadar kapitalis tamak. "Dengan ekspansi ke sektor teknologi hijau, kita tidak hanya berinvestasi pada profit, tapi pada planet kita," lanjut Leonard, tangannya bergerak dengan gestur yang sudah diperhitungkan. Tidak terlalu dramatis, tapi cukup untuk menarik perhatian. Tepuk tangan lagi. Lebih keras kali ini. Leonard turun dari podium dengan langkah yang tenang, jabat tangan di sana-sini, mengangguk pada orang-orang penting dengan wajah yang ia hafal dari laporan latar belakang yang disiapkan asistennya. Pak Hartono memiliki dua perusahaan tambang, satu istri, tiga selingkuhan. Nyonya Wijaya mewarisi kekayaan suaminya yang mati mendadak tahun lalu, kini mencari-cari ke mana ia bisa menaruh uang supaya tetap mengalir. Daniel Kusuma, anak muda ambisius yang punya warisan tapi tidak punya otak, gampang dimanipulasi asalkan kau memberinya gelar fancy dan ruang kantor yang keren. Leonard hafal semuanya. Ia selalu hafal. "Leonard, presentasimu luar biasa seperti biasa," kata Daniel, mengulurkan tangan dengan senyum lebar yang terlalu antusias. "Saya serius tertarik dengan proyek teknologi hijau ini. Kita harus bicara lebih lanjut." "Tentu, Daniel. Asisten saya akan mengatur pertemuan," jawab Leonard dengan nada ramah yang pas, tidak terlalu hangat, tidak terlalu dingin. Profesional sehingga dapat dipercaya. Tiga puluh menit lagi ia habiskan berkeliling, berbasa-basi dengan orang-orang yang sebenarnya tidak ia pedulikan. Kemudian ia menyelinap keluar dengan alasan "ada panggilan penting" yang sudah ia siapkan sejak awal. Tidak ada yang mempertanyakan. Mereka tidak akan pernah berani. Kantor Leonard berada di lantai paling atas gedung Varghese Tower, dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang menghadap hamparan kota Ardencia. Lampu-lampu gedung bertingkat berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, menciptakan ilusi keindahan di atas kekacauan yang sebenarnya terjadi di jalanan bawah. Ia menutup pintu, mengunci, lalu menarik napas panjang. Keheningan. Akhirnya. Leonard melepas jas, melonggarkan dasi, dan berjalan menuju jendela besar itu. Pantulan wajahnya menatap balik garis rahang tegas, mata gelap yang tajam, rambut hitam disisir rapi ke belakang. Wajah yang dikenal majalah Forbes, yang muncul di headline ekonomi, yang dipuja sebagai "Pengusaha Muda Paling Berpengaruh di Bawah 35 Tahun." Ia membenci wajah itu. "Capek ya, main-main jadi orang baik terus?" gumamnya pelan pada bayangannya sendiri. Suaranya berubah sedikit lebih kasar, sedikit lebih tajam. Nada yang berbeda dari Leonard Varghese yang tadi berdiri di podium. Ini suara Rafael. Ia mengambil ponsel kedua dari laci meja kerjanya, ponsel yang tidak ada yang tahu keberadaannya. Layarnya menyala dengan notifikasi yang masuk sepanjang malam. Tiga pesan dari Dante. Lima dari Kael. Dua missed call dari Veros. Leonard—tidak, Rafael—membuka pesan pertama. Dante: Kiriman dari selatan aman. Barang sudah di gudang. Tapi ada masalah dengan orang Chandra. Dia mulai cerewet minta naik bagi hasil. Rafael mengetik cepat. Rafael: Atur pertemuan. Malam ini. Tempat biasa. Ia beralih ke pesan Kael. Kael: Info dari dalam: ada wartawan mencari informasi soal kasus Hartanto. Namanya Ardena Callista. Sudah mulai menggali koneksi politik. Perlu diurus? Rafael berhenti sejenak. Nama itu terdengar familiar, tapi ia tidak bisa mengingat dari mana. Rafael: Pantau dulu. Jangan bergerak kalau tidak perlu. Lapor perkembangannya. Kael: Siap, bos. Ia melempar ponsel ke meja, lalu menatap lagi pada bayangannya di kaca. Dua nama. Dua kehidupan. Satu tubuh yang sudah mulai lelah menjaga keduanya tetap terpisah. Tapi ia tidak punya pilihan. Ini permainan yang sudah ia pilih sendiri sejak lama. Sejak ia menyadari bahwa dunia ini tidak pernah adil, bahwa kekuasaan hanya bisa direbut oleh mereka yang berani main kotor, dan bahwa di balik setiap dinasti besar selalu ada tumpukan mayat yang dikubur rapat-rapat. Leonard Varghese adalah topeng. Rafael adalah wajah asli. Dan keduanya harus tetap hidup berdampingan, terpisah tapi menyatu, sampai salah satu dari mereka mati. ... ... Klub Inferno tidak terlihat dari jalan utama. Ia bersembunyi di balik gudang tua di distrik pelabuhan, lokasinya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Tidak ada papan nama, tidak ada lampu neon mencolok. Hanya pintu besi berkarat yang dijaga dua pria besar dengan senjata tersembunyi di balik jaket kulit mereka. Rafael tiba pukul sebelas malam, mengenakan hoodie hitam dan jaket denim usang, pakaian yang sangat berbeda dari setelan mewahnya tadi sore. Ia parkir mobil sedan tua yang ia simpan khusus untuk malam-malam seperti ini, lalu melangkah masuk tanpa perlu menunjukkan identitas. Penjaga itu langsung membungkuk. "Boss." Tidak ada yang menyebut namanya. Tidak perlu. Mereka semua tahu siapa dia. Di dalam, udara dipenuhi asap rokok dan bau alkohol murahan. Musik bass berdentum pelan di latar, cukup keras untuk menutupi percakapan tapi tidak sampai mengganggu. Rafael berjalan melewati meja-meja yang ditempati orang-orang dengan wajah penuh luka dan tatapan dingin mereka yang hidup di sisi gelap kota, yang bekerja di bawah tanah, yang tahu bahwa satu kesalahan bisa berarti peluru di kepala. Dante sudah menunggu di ruang belakang, berdiri di samping meja kayu yang penuh bekas goresan dan noda entah apa. Di seberangnya duduk seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan mata yang gelisah bernama Chandra. "Rafael," sapa Dante dengan nada datar. Pria berkulit gelap itu menyilangkan tangan di d**a, ekspresinya keras seperti batu. "Dia minta bicara langsung denganmu." Rafael menatap Chandra tanpa berkedip. "Bicara." Chandra menelan ludah, tapi tetap mencoba terlihat percaya diri. "Saya cuma minta yang adil, Rafael. Saya sudah kerja keras membantu mengatur jalur distribusi dari selatan. Tapi bagi hasilnya tidak sesuai dengan risiko yang saya ambil. Saya minta naik sepuluh persen." Ruangan itu sunyi sejenak. Rafael melangkah pelan mendekat, tangannya masuk ke saku jaket. Chandra terlihat makin gugup, keringat mulai muncul di pelipisnya. "Kau tahu, Chandra," kata Rafael dengan suara rendah, tapi setiap kata terasa seperti pisau. "Aku tidak suka orang yang serakah. Aku beri kau bagian yang adil sesuai pekerjaanmu. Tapi kau datang ke sini, bicara soal 'risiko,' seolah-olah aku tidak memberi proteksi kepadamu selama ini." "B-bukan begitu, Rafael—" "Diam." Chandra langsung tutup mulut. Rafael menarik sesuatu dari sakunya, bukan senjata. Hanya sebuah foto. Ia lempar foto itu ke meja. Chandra menatapnya, dan wajahnya langsung pucat. Foto istrinya. Sedang menjemput anaknya dari sekolah. "Kau punya keluarga yang cantik, Chandra," kata Rafael datar. "Kau mau mereka tetap cantik, kan?" Chandra gemetar. "M-maaf, Rafael. Saya… saya tidak akan minta apa-apa lagi. Saya cuma—" "Bagus." Rafael menatapnya tajam. "Sekarang keluar. Dan jangan pernah buat aku buang waktu lagi untuk hal sepele seperti ini." Chandra langsung berdiri, nyaris tersandung kakinya sendiri saat buru-buru keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup, Dante mendengus pelan. "Kau terlalu baik, bos. Orang seperti dia harusnya langsung diberi pelajaran biar kapok." Rafael menatap foto yang masih tergeletak di meja. "Aku tidak perlu bunuh orang kalau cukup membuatnya takut. Darah itu repot dibersihkan." Dante tersenyum tipis. "Kau selalu punya caramu sendiri." Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela kecil di sudut ruangan, ke arah kota yang berkelip-kelip di kejauhan. Di sana, Leonard Varghese masih hidup, tersenyum di majalah, berjabat tangan dengan orang-orang penting, menjadi pahlawan ekonomi. Tapi di sini, Rafael berdiri di atas tumpukan rahasia dan ancaman, memegang kendali atas dunia yang tidak akan pernah bisa disentuh Leonard. Dua wajah. Satu jiwa. Dan keretakan di antaranya mulai melebar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
310.1K
bc

Too Late for Regret

read
286.0K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
137.6K
bc

The Lost Pack

read
396.4K
bc

Revenge, served in a black dress

read
147.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook