1. Pertemuan Yang Tak terduga
Mentari pagi menyelinap melalui celah gorden, membangunkan Maya dari tidurnya yang singkat.
Hari ini adalah hari penting. Setelah berbulan-bulan mengirimkan lamaran ke berbagai perusahaan tanpa hasil yang memuaskan, panggilan wawancara dari Georgio Corp adalah secercah harapan yang tidak boleh ia sia-siakan.
Perusahaan konglomerat itu terkenal dengan inovasi dan prestisenya, meski desas-desus tentang CEO-nya yang eksentrik seringkali beredar di kalangan pencari kerja.
Maya bangkit, menyambar handuk, dan bergegas ke kamar mandi. Ia memilih kemeja putih bersih dan celana bahan hitam, paduan klasik yang selalu memberikan kesan profesional.
Rambut panjangnya ia tata rapi dalam sanggul rendah. Setelah memastikan penampilannya sempurna, ia mengambil berkas-berkas penting, ada CV, portofolio, dan surat lamaran.
Degupan jantungnya semakin kencang saat ia menuruni tangga dan berpamitan pada ibunya.
Perjalanan menuju Georgio Corp terasa panjang. Gedung pencakar langit yang menjulang di pusat kota itu tampak megah dan sedikit mengintimidasi.
Saat memasuki lobi, ia disambut oleh interior modern yang didominasi kaca dan baja, serta suara gemuruh aktivitas karyawan yang sibuk.
Seorang resepsionis ramah mengarahkannya ke lantai dua puluh, tempat departemen HRD berada.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, nama Maya dipanggil. Ia melangkah masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar, dengan meja panjang di tengahnya.
Di sana, sudah duduk dua orang. Satu wanita paruh baya dengan senyum hangat, yang ia duga adalah kepala HRD, dan satu lagi… seorang pria.
Pria itu duduk menyandar santai di kursi kulitnya, kaki kirinya disilangkan di atas lutut kanan.
Setelan jas biru gelapnya tampak mahal, namun kerutan di wajahnya dan tatapan mata tajamnya menunjukkan aura yang kurang menyenangkan.
Ia memegang tablet di tangan, sesekali menggesernya tanpa peduli.
“Selamat pagi, Bapak, Ibu,” sapa Maya ramah, menundukkan kepala.
Wanita HRD itu membalas senyumnya. “Selamat pagi, Saudari Maya. Silakan duduk.”
Maya menarik kursi di hadapan mereka. “Terima kasih.”
“Baiklah, Maya,” wanita HRD memulai, suaranya lembut, “saya Rima, Kepala Departemen Sumber Daya Manusia. Dan ini… Bapak Kenzo Georgio, CEO kita.”
Maya terkejut. Kenzo Georgio?
Desas-desus itu memang benar. Ia tidak menyangka akan langsung berhadapan dengan sang CEO di wawancara pertama.
Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya, mengangguk sopan pada Kenzo. Pria itu hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tabletnya.
Sikap acuh tak acuh itu membuat Maya sedikit gusar, namun ia berusaha tetap tenang.
“Kami sudah membaca CV Anda dan cukup terkesan dengan pengalaman Anda di bidang desain grafis,” lanjut Rima.
“Bisa Anda ceritakan lebih jauh tentang motivasi Anda melamar di perusahaan ini?”
Maya menghela napas pelan, lalu mulai menjelaskan dengan percaya diri. Ia bicara tentang passion-nya terhadap desain, ketertarikannya pada visi Georgio Corp, dan bagaimana ia yakin bisa memberikan kontribusi positif.
Rima mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. Namun, Kenzo tetap diam, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.
Tiba-tiba, Kenzo meletakkan tabletnya di meja dengan sedikit hentakan. Suara itu cukup keras di ruangan yang hening. Ia menatap Maya, tatapannya dingin dan meneliti.
“Jadi, Anda ingin bekerja di sini?” Kenzo bertanya, suaranya dalam dan sedikit serak, tanpa basa-basi.
“Benar, Tuan,” jawab Maya, mencoba mempertahankan kontak mata.
“Kenapa? Hanya karena perusahaan ini besar? Karena gajinya lumayan?” ejek Kenzo, nadanya meremehkan.
Maya terkesiap. Tuduhan itu menghantamnya. Ia berusaha tidak terpancing emosi.
“Bukan hanya itu, Tuan. Saya melihat georgio Corp sebagai wadah yang tepat untuk mengembangkan potensi saya dan….”
“Potensi apa?” potong Kenzo kasar. “Semua pelamar bicara tentang potensi. Tapi kenyataannya, banyak yang hanya mencari kenyamanan. Pekerjaan di sini bukan main-main. Kami butuh orang yang tahan banting, bukan yang cengeng dan mudah menyerah.”
Wanita disampingnya tampak tidak nyaman dengan sikap Kenzo, namun ia tidak berani menyela.
Maya merasakan pipinya memanas. Ia tahu Kenzo sengaja memprovokasinya.
“Saya tidak cengeng, tidak seperti yang Tuan katakan,” balas Maya, suaranya sedikit meninggi namun tetap terkontrol.
“Saya adalah pekerja keras dan saya memiliki dedikasi tinggi. Bukti dari portofolio saya bisa menjelaskan bagaimana saya selalu memberikan yang terbaik dalam setiap proyek.”
Kenzo tersenyum sinis. “Portofolio itu bisa dipoles, Nona. Aku sudah melihat banyak yang sepertimu. Awalnya semangat membara, tapi begitu dihadapkan pada tekanan, langsung ciut.”
“Saya siap menghadapi tekanan apa pun, Tuan,” tegas Maya. “Saya percaya kemampuan yang saya miliki, dan saya yakin bisa membuktikan bahwa saya pantas berada di sini.”
Kenzo mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya semakin tajam.
“Bagaimana jika aku berikan kamu proyek yang sangat sulit, dengan tenggat waktu yang sangat mepet, dan hasil yang harus sempurna? Bisakah kamu menjamin tidak akan mengecewakanku nantinya?”
Pertanyaan itu menjadi sebuah tantangan baginya. Maya menarik napas dalam, memantapkan diri. Ia tidak akan membiarkan Kenzo meremehkannya.
“Saya akan menjaminnya, Tuan,” jawab Maya, sorot matanya balas menantang.
“Beri saya kesempatan, dan akan saya buktikan bahwa penilaian Anda tentang saya salah.”
Kenzo menyeringai tipis, sebuah ekspresi yang sulit diartikan. Rima, wanita yang sedari tadi berada disampingnya yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara.
“Baiklah, Maya. Terima kasih atas waktunya. Kami akan segera menghubungi Anda jika ada kabar lebih lanjut.”
Maya bangkit, memberikan senyum profesional pada Rima, lalu menatap Kenzo sejenak.
Pria itu sudah kembali sibuk dengan tabletnya, seolah Maya tidak pernah ada. Tanpa kata, Maya melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan aura ketegangan yang masih terasa.
Ia berjalan menyusuri koridor dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal, namun juga… sedikit tertantang.
Kenzo Georgio memang pria paling arogan dan semena-mena yang pernah ia temui.
Tapi entah kenapa, pertemuan itu justru memicu sesuatu dalam dirinya. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia akan membuktikan pada CEO arogan itu bahwa ia tidak salah memilih orang.