bc

Tuan, I'm Not Fine

book_age18+
449
FOLLOW
2.2K
READ
HE
love after marriage
arrogant
badboy
heir/heiress
drama
bxg
scary
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Menurut Asha, jarak antara kebahagiaan dan kesedihan sangatlah tipis. Mungkin lebih tipis dari kertas. Lelah rasanya jika harus jatuh dan bangkit berulang kali. Sedangkan kenyataannya, jatuh tak selamanya bisa membuat orang bangkit kembali.

Asha merasa sangat beruntung bertemu Yuuji, tak hanya kebahagiaan yang ia dapat, ia juga mendapatkan dua orang anak yang lucu-lucu. Akankah kebahagiaan keluarga kecilnya bertahan lama? Entahlah.

"Asha baik?"

"Tidak, Tuan. Saya tidak baik-baik saja."

Picture : Pexels, Edit : Text On Photo, Font : FS Badung, iCiel Chuco, Bambus

chap-preview
Free preview
Satu
April 2022. Seorang wanita turun dari kendaraannya setelah sampai di sebuah sekolah dasar, banyak anak yang keluar dari sekolah menuju jemputan masing-masing. Wanita itu bersandar di samping mobil seraya menatap sendu pada sepasang suami istri yang tengah berbicara pada anak mereka. Tampak sekali keluarga utuh yang bahagia. "Mama." Pandangannya teralih begitu mendengar suara yang sangat dikenalnya memanggil dirinya dengan sebutan mama. Dua anak lucu berada di depannya. Laki-laki dan perempuan. "Iya, Sayang." "Mama melamun?" "Tidak kok, Mama tidak melamun." "Tapi Bintang sama Bulan panggil, Mama tidak jawab," keluh sang anak. Anak laki-laki bernama Bintang. "Perasaan Bintang saja. Mama baik-baik saja, kok." Baik-baik saja, sungguh mengingatkannya pada masa lalu. "Mama Asha baik?" tanya Bulan, si anak perempuan. Wanita yang ternyata bernama Asha itu mengangguk. "Ya, Sayang. Mama baik. Sekarang masuk mobil, kita pulang." "Siap, Mama!" Asha menutup pintu mobil begitu anak-anaknya masuk. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi anak-anak. Dan seketika air matanya jatuh. Tuhan, kenapa? Kenapa anak-anak ini selalu mengingatkan aku tentang dia? Aku ... Aku merindukannya. Sesampainya di rumah, Asha meminta anak-anak untuk ganti baju kemudian makan bersama lalu keduanya boleh bersantai, bermain ataupun tidur siang. Sementara Asha, melanjutkan pekerjaan rumah lagi tentu saja. "Mama, tolong ceritakan tentang Papa!" Asha yang sedang melipat baju di ruang keluarga sejenak menghentikan pekerjaannya. "Papa," gumam Asha. "Ya, Mama, papanya Bulan." "Papanya Bintang juga!" Dengan tubuh bergetar, Asha berujar, "apa yang kalian ingin tahu tentang papa?" "Semuanya!" seru Bulan, sambil melirik ruang kosong antara dirinya dan sang kakak. "Tidak. Di mana Mama bertemu papa dulu adik, iya, 'kan?" tanya Bintang seraya melihat ke arah yang sama dengan yang Bulan lirik. Seakan di sana ada seseorang yang ia mintai persetujuan. "Iya, itu!" Bulan tertawa kecil sembari menunjukkan giginya yang ompong. Menarik nafas dalam, Asha kembali menerawang akan pertemuan 7 tahun lalu. Pertemuan pertama dengan Tuannya, Yuuji. Yang akan ia ceritakan dari secukupnya di usia sekarang. Mereka berhak tahu. April 2015 Pukul setengah lima pagi jalanan masih cukup sepi meski ada beberapa kendaraan yang lewat. Asha Jasmine berjalan kaki seorang diri menuju rumahnya setelah berbelanja dan akan memasak untuk keluarganya. Rutinitas harian ini sudah Asha lakukan sejak ia duduk di sekolah menengah atas. Sekarang, saat ia sudah lulus sekolah lima tahun lalu, Asha tidak lagi pergi ke sekolah melainkan mengharuskannya ke tempat kerja. Beraktifitas dari pagi di saat semua orang masih terlelap dalam mimpi tentunya melelahkan. Asha tidak pernah mengeluh, hanya air matanya yang sering berbicara. Sekuat hati Asha berusaha melewati harinya yang berat. Dalam diri Asha masih percaya walau harus menunggu bertahun-tahun lamanya, ia akan keluar dari jeratan keluarganya yang terasa mencekik lehernya. Asha manusia biasa dan ia punya batasan tersendiri. Ketika tugas rumah sudah selesai, seperti biasanya tepat pukul 6 pagi Asha sudah berjalan kaki menuju kafe tempatnya bekerja. Jarak antara kafe dan rumahnya cukup jauh. Naik kendaraan pribadi atau umum tidak memungkinkan untuknya. Mau tidak mau Asha harus berangkat pagi-pagi sekali supaya tidak terlambat. Sesampainya di kafe tempatnya bekerja, Asha si pemegang kunci membuka pintu belakang Kafe tempat masuknya para pekerja. Selain karena jarak rumah yang jauh, Asha memiliki tugas dari manager kafe sebagai pemegang kunci dan menyiapkan semua yang diperlukan sebelum kafe buka. Asha melakukannya seorang diri tanpa ada pekerja lain yang membantu. Itulah syarat yang Asha dapatkan jika masih ingin bekerja di tempat ini. Terasa tidak adil, bukan? Ya, tidak sampai cukup di sini saja. Ketidakadilan yang lain masih akan terus berdatangan. Asha sendiri mencoba menerima sebab ia tahu mencari pekerjaan bagi lulusan sepertinya tidaklah mudah. "Asha!" Asha melihat temannya sesama pekerja datang menghampirinya. Hanya perempuan inilah yang dekat dengannya di saat yang lain menjauh. Bukannya tidak ingin berteman, mereka semua tidak ingin terlibat masalah karena berada di dekatnya. Asha tidak tahu keberanian apa yang dalam diri teman satu-satunya ini hingga masih mau berbicara dengannya dan terkadang jika ada waktu turut membantunya. Ia telah mencegah berulang kali, namun tidak pernah didengarkan. Di dunia ini mungkin banyak cinta dalam diam, beda lagi dengan dirinya dan Friska, mereka berdua teman dalam diam. Hanya di saat manager kafe tidak ada di dekat mereka. "Friska." "Hah, capek sekali aku lari." Friska berdiri di samping Asha, nafasnya belum stabil masih terdengar ngos-ngosan. "Untung aku datang tepat waktu. Aku takut kau datang lebih pagi." "Friska, ada apa?" tanya Asha. Tidak biasa temannya ini datang sebelum jam kerja. "Tentu saja aku mau membantumu. Dua tahun kau menyembunyikan ini dariku Asha. Kau pikir aku baik-baik saja mendengar temanku datang pagi-pagi menyiapkan keperluan sebelum kafe buka, hah? Pantas saja setiap aku bertanya, 'siapa yang menyiapkan semua hingga yang lainnya tinggal datang kemudian buka kafe?' kau hanya tersenyum dan memintaku tidak memikirkannya." Friska terlihat ingin menangis, usianya memang sama dengan Asha, 23 tahun tetapi Friska lebih terlihat muda dibanding Asha dan cukup kekanakkan. "Aku tidak menyangka selama ini kau yang bekerja sendirian." Asha mengukir senyum memandang Friska. Dua tahun bekerja di kafe, baru tiga bulan ini Asha memiliki teman. Seorang pekerja baru bernama Friska. "Kau tahu dari mana, Friska?" "Aku tidak sengaja mendengar pekerja senior membicarakan mu," lirih Friska, pandangan sedih Friska tertuju ke arah Asha. "Aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Kau tahu, hubunganku dengan manager tidak baik. Karena itu aku tidak mau kau terlihat dekat denganku di depan manager." "Tapi--" "Kau akan bernasib buruk Friska, bukankah menyenangkan bekerja tanpa hambatan?" Asha menatap Friska tajam, senyum di wajahnya sudah hilang. "Sekarang pulanglah, masih ada waktu dua jam sebelum kafe buka. Aku bisa melakukannya sendiri." Friska merengut, ia menggembungkan pipinya tidak menyukai perkataan Asha. "Kau munafik, Asha." Friska berjalan masuk ke dalam Kafe terlebih dulu, ia melewati Asha begitu saja. "Selama tidak ada manager, aku bisa berbuat sesuka hatiku," katanya, wajah Friska menunjukkan raut senang dan tidak mau kalah. Lihat saja kedua alisnya yang dibuat naik turun itu. "Keras kepala," batin Asha, ia pasrah. Kafe buka pada pukul 8 pagi sampai pukul 10 malam. Kafe dekat perkantoran, tak heran beberapa pengunjung kafe terlihat seperti orang kantoran. Jarang ada anak SMA di sini, sebenarnya ada beberapa orang mungkin sekedar iseng saja. Orang luar juga ada hanya untuk menikmati secangkir kopi dan bersantai di depan laptop. Hari ini Asha sibuk sekali. Entah kenapa, ia merasa hari ini banyak sekali orang yang mengunjungi Kafe. Pekerja lain terlihat beberapa kelelahan, meski begitu mereka tidak bisa berhenti di tengah jalan. Selain sebagai bentuk keprofesionalan, di salah satu meja ada manager sedang ngobrol bersama kedua temannya. Asha sesekali melirik manager, ia bersyukur karena tengah bersama temannya, manager hari ini tidak menjahilinya lagi. "Asha!" Asha spontan menghentikan langkahnya, baru saja ia mengucap syukur tadi. "Asha, kemari!" Teriakan dari manager membuat Asha agak gemetar takut. Bukan apa-apa, ia takut diminta melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Meski begitu, Asha tahu, sejahat-jahatnya manager kafe tempatnya bekerja tidak pernah mempermalukan dirinya di depan umum. Memang ia sering dimarahi, tetapi itu dilakukan di dapur atau setelah bekerja. "Kemari, cepat!" Asha bergegas menuju meja manager. "Iya, Bu." "Nah, ini orangnya. Terlihat menjijikan bukan? Dia yang paling miskin di sini. Aku menerimanya buat senang-senang saja. Lumayan ada mainan," ujar manager sambil tertawa terbahak-bahak. "Wah, parah kau, Sesil. Dia juga manusia loh." Ya, nama Manager di tempat Asha bekerja adalah Sesil. Seorang wanita yang tidak pernah membiarkan Asha bekerja tenang barang sehari saja. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku tidak mau bosan di tempat kerja." Asha menutup matanya, hatinya sakit mendengar ucapan sang Manager. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Asha sopan, ia tidak mau berdiri terlalu lama dekat Managernya. "Kau tidak bisa sabar apa? Pegawai rendahan sepertimu nurut saja," desis Sesil dengan sorot mata tajam. "Ma-maaf, Bu." "Jangan ulangi. Ingat, pembeli adalah raja!" "Iya, Bu." "Itu alasannya aku membenci dia. Di sini tidak ada pegawai yang suka melawan selain dia. Kalian berdua lihat sendiri, 'kan? Tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Beruntung loh, dia aku terima kerja," adu Sesil pada kedua temannya. "Kenapa tidak kau pecat saja, Sil? Merepotkan saja." "Kurang asik kalau dia keluar begitu saja," balas Sesil terhadap pertanyaan temannya. Sekali lagi Asha menutup mata, ia harus menguatkan hati dan menanamkan kesabaran lebih banyak dalam hatinya. Soal pemecatan, Asha pernah mengundurkan diri. Tetapi manager tidak menerimanya, ia malah balik diancam untuk mengembalikan gaji yang sudah ia terima sepuluh kali lipat. Jika tetap keukeuh keluar tanpa persetujuan, Manager bilang akan membawanya ke jalur hukum. Asha yang tidak berdaya, hanya bisa pasrah. Lagipula, ia juga sadar diri. Belum tentu di luar sana ia dapat pekerjaan dengan mudah. "Sesil, aku muak melihatnya. Bisa kau suruh dia sekarang?" "Ah ya. Asha, bawa kopi temanku kembali, minta ganti kopi dengan takaran gula lebih manis. Cepat!" "Baik, Bu." Asha mengambil kopi yang disodorkan Manager padanya. Kemudian melangkah pergi. Tidak terlalu lama, Asha kembali membawa nampan dan kopi di atasnya. Ia harus kembali lagi bertemu Manager, terpaksa ia lakukan karena para pekerja yang lain tidak ada yang mau. "Bu, ini kopinya." Asha meletakkan kopi tersebut di meja. Ia lalu berbalik pergi, baru beberapa langkah ia mendengar teriakan dari Managernya lagi. Kali ini, membuat perhatian semua orang tertuju padanya. "Hei, Asha miskin! Kau tidak mendengar ku? Kopinya kurang manis, bawa balik!" Asha tahu dirinya memang miskin, tapi apa perlu semua orang tahu? "Maaf, Bu." Asha lagi-lagi meminta maaf, ia kembali mengambil secangkir kopi yang ia bawa tadi tapi sialnya, gemetar pada tangannya membuat kopi tersebut tumpah. "Astaga, Asha!" "Perempuan miskin gila! Tanganku panas! Aduh, panas!" Sesil si Manager panik melihat temannya terkena tumpahan kopi akibat perbuatan pelayannya. Ia lalu mendorong Asha sampai Asha jatuh terduduk setelah membentur meja seberang. Asha tidak siap akan dorongan itu, ia tidak terlalu memperhatikan Managernya juga tadi. Ia kaget sendiri atas perbuatan tidak sengaja itu. "Kau si miskin menyusahkan!" seru Sesil, yang kemudian menyiram Asha dengan kopi panas hasil merampas dari pelayan lain. Asha tidak bisa berkata-kata lagi, meski telah disiram dengan kopi panas, ia tetap diam. Sampai Manager pergi bersama teman-temannya pun Asha masih diam bahkan rasa panas di tubuhnya, seakan-akan tak dapat Asha rasakan. Satu yang masih terngiang di telinga Asha. "Mulai hari ini, kau ku pecat!" Kata-kata itu nantinya, membuat semua orang akan membencinya. "Asha!" Friska menghampiri Asha. Ia khawatir dengan kondisi temannya setelah berhasil bebas dari pekerja lain yang mencegahnya untuk tidak ikut campur. Friska menangis seraya mengucap kata maaf. Asha melihat Friska, matanya sendu rasanya ingin sekali menangis bersama Friska. Sayangnya, ia tidak bisa menangis di depan umum dan dijadikan tontonan begini. Asha mengalihkan pandangan ke sekelilingnya, semua orang memandang rendah terhadap dirinya. Ada sebagian pula yang tidak ragu mencemooh. Ia memang salah, apa pantas dihakimi seperti ini? Sampai di satu titik di mana pandangan Asha berhenti pada seorang pria berwajah agak bule, berbadan tinggi besar, tegap, duduk di meja pojok Kafe dan tengah menatapnya tanpa ekspresi. Pria itu satu-satunya orang selain Friska yang tidak memandang rendah dirinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.1K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.8K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook