Bab1
Hujan turun begitu saja, tanpa aba-aba. Satu detik lalu langit hanya menggantung kelabu, detik berikutnya air seperti ditumpahkan dari atas, deras, padat, dan dingin. Butiran hujan memukul aspal Jakarta yang sudah lelah oleh jejak ban, menyapu lampu-lampu kendaraan hingga terlihat buram di balik tirai air.
Naumi merapatkan jaket kerjanya dan memperlambat laju motor. Wiper alami di kelopak matanya bekerja lebih keras dari biasanya; sesekali ia mengedip kuat, berusaha mengusir air yang menyelinap dari celah helm. Lampu kendaraan dari arah berlawanan memantul di genangan, menyilaukan, membuatnya harus lebih hati-hati.
“Sedikit lagi,” gumamnya pelan, mengingat wajah bundanya yang tadi siang terlihat pucat di video call. Ada sesak halus di dadanya tiap kali ingatan itu muncul. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul sembilan malam.
Jalanan tidak benar-benar sepi, tapi jarang-jarang juga ramai di tengah hujan seperti ini. Beberapa pengendara memilih menepi, berteduh di bawah jembatan atau di depan ruko-ruko yang sudah tutup.
Angin malam membawa hawa dingin yang menusuk. Naumi menggigil, bukan hanya karena suhu, tetapi juga karena rasa tidak tenang yang sejak sore tadi terus berdengung di kepalanya. Kata-kata Ririn di restoran tadi masih terngiang.
Jangan pulang malam ini. Andai saja ia punya pilihan.
Sebuah kilatan petir membelah langit, disusul suara gemuruh yang memantul di antara gedung-gedung. Naumi mengecilkan gas, lalu melirik ke kanan, mencari celah untuk menepi. Pandangannya menangkap sebuah bangunan kecil di pinggir jalan—semacam gubuk tua dengan atap seng dan dinding kayu yang sudah mengelupas. Letaknya sedikit masuk dari badan jalan, diapit semak dan pohon liar yang tumbuh tanpa aturan.
“Berteduh dulu, hati-hati jatuh,” desisnya pada diri sendiri.
Ia menyalakan lampu sein, pelan-pelan mengarahkan motor keluar dari arus jalan. Ban depan sempat terpeleset di genangan, membuat jantungnya melonjak, tapi ia berhasil menyeimbangkan. Begitu tiba di depan gubuk, ia memarkir motor seadanya, mematikan mesin, lalu menarik napas panjang.
Hujan terasa lebih lebat begitu ia melepas tangan dari setang. Suara rintiknya mengalahkan suara apa pun. Naumi bergegas melangkah menuju gubuk, sepatunya menginjak tanah becek yang menempel di sol, meninggalkan jejak-jejak kecil di belakangnya.
Begitu memasuki gubuk, dunia seolah berubah. Suara hujan masih terdengar, tapi teredam. Udara di dalam lembap, bercampur bau kayu basah dan tanah. Gelap menyelimuti hampir seluruh ruangan; hanya ada sedikit cahaya dari sela-sela papan yang renggang dan lubang kecil di atap yang bocor, membuat beberapa titik lantai tergenang air.
Naumi berdiri di dekat pintu, menunggu matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Ia mengatur napas yang sempat memburu. Jantungnya masih berdetak kencang karena perjalanan barusan. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia membuka sedikit resleting jaket, membiarkan udara dingin masuk.
“Alhamdulillah, masih ada tempat berteduh,” gumamnya lirih.
Ia melangkah pelan, memilih sudut yang paling kering di antara lantai yang sebagian sudah lembap. Suara hujan yang menetes dari atap membuat ritme tersendiri, menenangkan sekaligus membuat suasana terasa asing. Naumi merapatkan diri ke dinding kayu, menggosok kedua telapak tangan, berusaha mengusir dingin yang merayap ke tulang.
Semua terasa normal sampai sebuah suara berat dan serak tiba-tiba terdengar dari dalam kegelapan.
“Siapa?”
Naumi membeku di tempat. Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya merinding. Ia yakin tadi tidak melihat siapa pun ketika masuk. Refleks, ia menelan ludah, matanya berusaha mencari sumber suara.
“Maaf…” suaranya keluar nyaris tak terdengar. “Saya cuma mau berteduh. Nggak tahu kalau sudah ada orang.”
Dari sudut yang paling gelap, sesuatu bergerak. Sosok seorang laki-laki perlahan bangkit dari posisi setengah berbaring. Cahaya samar dari celah atap menyorot garis rahangnya, bahunya yang lebar, dan d**a yang sebagian terbuka. Sepertinya tadi ia tertidur, entah sejak kapan berada di sana.
Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, sebagian basah seperti sempat tergenang hujan. Ia mengangkat tangan, mengusap wajah, mencoba sepenuhnya sadar. Mata gelapnya memandangi Naumi beberapa detik, seolah menilai apakah gadis itu ancaman atau hanya orang biasa yang kebetulan datang.
“Kamu dari tadi di sini?” tanya Naumi dengan suara pelan, mencoba sopan di tengah rasa canggung yang mengental.
“Tidur,” jawabnya singkat. Suaranya lebih jernih sekarang, masih berat tapi tidak lagi serak. “Hujan terlalu deras di jalan raya.”
Ada jeda hening yang aneh di antara mereka. Naumi memeluk tas kecilnya di depan d**a, menjaga jarak. Laki-laki itu, yang kemudian baru ia lihat mengenakan celana panjang gelap dan kaus yang digulung hingga ke lengan, menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar gubuk.
Hujan semakin deras. Suara gemuruh mengisi ruang di antara dua orang asing itu. Naumi mencoba mengatur posisinya agar tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu tampak seperti takut berlebihan. Ia hanya ingin menunggu hujan reda, lalu melanjutkan perjalanan pulang.
“Motor di luar?” Laki-laki itu kembali bersuara, kali ini nadanya lebih datar.
“Iya,” jawab Naumi. “Nggak apa-apa, kan, aku berteduh di sini? Cuma sebentar, sampai hujan agak reda.”
“Silakan,” ucapnya singkat. Ia tidak tersenyum, tapi juga tidak mengusir.
Naumi mengangguk kecil, meski mungkin laki-laki itu tidak sempat melihat gerakannya di tengah remang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan kecanggungan yang entah kenapa terasa lebih dingin daripada hujan di luar.
Sesekali, matanya melirik ke arah laki-laki itu. Wajahnya tegas, garis-garisnya menunjukkan kedewasaan yang tidak main-main. Ada sesuatu di sorot matanya—kering, tetapi menyimpan cerita. Namun Naumi buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia sadar ini tempat sepi, gelap, dan ia sendirian dengan orang asing.
Tenang, Naumi. Hanya berteduh. Nanti hujan reda, kamu pulang. Fokus ke bunda.
Di luar, suara kendaraan samar-samar terdengar, lalu menjauh, tertelan derasnya hujan. Lampu-lampu jalan hanya menjadi garis-garis putih yang kabur bila dilihat dari sela-sela papan yang renggang. Waktu berjalan lambat di dalam gubuk itu.
Tak lama kemudian, suara lain mulai menembus tirai hujan. Bukan suara kendaraan, bukan juga petir. Suara seperti orang-orang yang berbicara, semakin lama semakin jelas. Nada mereka tidak tenang; terdengar seperti seruan dan panggilan.
Naumi mengerutkan dahi. Ia menoleh ke arah pintu kecil gubuk yang masih setengah terbuka. Di luar, bayangan beberapa orang tampak bergerak di antara cahaya lampu jalan dan gelapnya hujan.
Laki-laki di sudut yang sama masih bersandar pada dinding, tetapi sorot matanya kini ikut bergeser. Ia mendengarkan.
“Pak!” suara seseorang terdengar dari kejauhan, tertelan sebagian oleh hujan. “Kayak ada cahaya dari gubuk situ!”
Naumi refleks mundur setengah langkah. Jantungnya berdetak lebih cepat, tanpa ia mengerti kenapa. Laki-laki di dalam gubuk menghela napas pelan, seperti baru menyadari bahwa keberadaan mereka tidak lagi sepenuhnya tersembunyi.
Langkah-langkah kaki terdengar mendekat, menginjak tanah becek di luar. Suara sandal dan sepatu bercampur dengan cipratan air. Beberapa orang sepertinya berkumpul di depan gubuk, suara mereka semakin jelas.
“Lihat, kan? Ada motor di depan.”
“Jam segini, hujan deras, siapa juga yang mau nongkrong di sini?”
“Gubuk ini udah lama kosong, lho.”
Naumi menelan ludah. Tubuhnya menegang. Ia memeluk tasnya lebih erat, seolah benda tipis itu bisa jadi tameng. Laki-laki yang masih duduk di sudut mengangkat tubuhnya, duduk lebih tegak, otot-otot di lengannya mengencang tanpa sadar.
Dalam sekejap, cahaya terang menembus masuk. Seseorang di luar menyorotkan senter ke dalam gubuk, membuat mata Naumi silau. Ia mengangkat tangan, menutupi sebagian wajahnya.
“Eh, beneran ada orang!” seru salah satu suara di luar. “Dua orang, pula!”
Cahaya senter bergerak, menyorot wajah Naumi yang berdiri dekat dinding, lalu turun ke tubuh laki-laki yang baru saja bangkit, kausnya belum sepenuhnya rapi. Di dalam cahaya yang terlalu jujur itu, pemandangan mereka seolah berbicara sendiri.
Beberapa detik tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar hujan yang menghantam atap. Lalu, seseorang di antara kerumunan di luar akhirnya membuka mulut dengan nada penuh tuduhan.
“Ngapain kalian di sini, gelap-gelap, berduaan?”
Nada itu tidak sekadar bertanya. Ia menghakimi. Membentang jarak antara apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang sudah terlanjur mereka simpulkan.
Naumi membeku di tempat, sementara laki-laki itu—Adrian, meski namanya belum sempat disebut—mengatupkan rahang, bersiap menghadapi sesuatu yang bahkan tidak mereka duga akan datang malam itu.