bc

Menikah sebelas kali

book_age18+
687
FOLLOW
4.3K
READ
possessive
friends to lovers
single mother
Writing Challenge
scary
small town
like
intro-logo
Blurb

Yanti adalah gadis muda yang terpaksa menerima pernikahannya dengan seorang duda. Meski terpaksa seorang Yanti masih berharap pernikahannya akan langgeng. Ternyata Yanti malah disiksa dan bukan diperlakukan istri. Suaminya tak datang menjenguknya, Yanti di ditinggalkannya seorang diri ditengah gubuk di perkebunan. Suaminya datang hanya menyiksanya. Tak tahan Yanti pun pergi.

Pindah ke kota Yanti bertemu dengan banyak orang. Bertemu dengan suami keduanya malah sama saja. Pernikahan Yanti gagal. Pernikahan ketiganya bahkan tak jauh berbeda. Bahkan sampai pernikahannya yang ke sepuluh pernikahan itu hanya bertahan seumur jagung. Bagaimana kisah Perjalanan Yanti menemukan suami sampai sebelas kali? Bagaimana pula cinta sejati yang Yanti cari? Temukan jawabannya disini...

chap-preview
Free preview
Namaku Yanti
Aku Yanti, aku sekarang sudah sangat tua. Enam puluh delapan tahun. Tetapi ingatanku masih begitu segar jika kalian bertanya mengapa pernikahanku sampai bisa sebelas kali. Jangan tertawa atau pun mengejekku apalagi menyebutku w**************n jika kalian tak tahu kisah yang sudah aku jalani ini. Aku terlahir di keluarga miskin. Rumahku hanya gubuk reot. Ibuku kerja serabutan. Ayah? Aku bahkan tak tahu dimana ayahku. Kata ibu mereka berpisah saat aku belum bisa berjalan. Menyedihkan bukan? Tapi itulah nasibku. Bisa makan saja sudah bahagia sekali. Pernah berhari hari tak makan apapun. Bahkan aku pernah nekat mencuri di kebun tetangga tetapi ternyata yang ku curi malah ubi beracun. Aku membakarnya dan makan seorang diri. Sampai aku muntah muntah karenanya. Apa mau dikata perutku sangat lapar, sedangkan ibu hanya berdiam diri saja. Pernah ku lihat ibu berdandan menor sekali entah mau kemana dia. Pulang pulang ibu hanya marah marah. Jika aku meminta uang atau makanan aku malah kena pukul. Ah ibu... makan saja aku kesulitan jangan kau tanya apa aku sekolah atau tidak. Apakah aku mengaji atau tidak. Aku tak tahu bagaimana rasanya duduk di kursi sekolahan. Bahkan dulu Pak RT ngotot datang kerumah ingin menyekolahkanku. Bukankah sekolah itu gratis. Tapi apa jawaban ibu? Ibu malah marah marah membentak memaki pak RT. Malu sekali rasanya. Padahal pak RT begitu baik padaku dan ibu. Umur enam tahun, saat anak lain sibuk sekolah aku malah di perkenalkan dengan pekerjaan. Ibu menyuruhku bekerja di sawah yang katanya milik temannya. Aku disuruh membajak sawah. Menanam benih. Menangkap lele. Kulitku sampai gosong terbakar matahari. Upah kerjaku harian. Pernah sekali aku sangat lelah sampai aku tak datang kesawah. Aku bersembunyi dan beristirahat di tempat temanku. Sore hari aku pulang. Melihat aku tak membawa upah apa apa, centong kayu mendarat di kepalaku. Bocor sudah kepalaku. Aku berlari histeris. Jangan kau tanya tetanggaku apa mereka tak perduli? Mereka sudah puas membelaku, yang mereka dapat hanya sumpah serapah bahkan makain dari ibuku.aku berlari bersembunyi di rumah pak RT. Untung bu RT ada. Karena saat itu Pak RT sedang pergi ke hajatan tetangga. Nasib baik berpihak padaku, hanya beberapa jahitan bahkan aku dirawat Bu RT sampai sembuh. Ibuku? Tentu dia izinkan. Jika tidak Pak RT akan melaporkannya. Apakah ibu berhenti di situ? Tidak, kekejaman ibu makin menjadi. Suatu malam, ibu baru pulang. Bau alkohol begitu menyengat dari hidungnya.aku yang tertidur malah kena pukul sendal berHeels ibu. Untung bukan kepalaku, hanya jari kakiku. Jika kepalaku, bisa bisa bocor lagi.ah ibu... apakah dia membenciku? Aku sama sekali tak tahu. Aku pernah kabur dari rumah. Jengah rasanya diperlakukan kasar oleh ibu. Perutku bahkan selalu kelaparan, tidur bahkan tak nyenyak. Aku kabur membawa tas lusuhku, saat itu usiaku delapan tahun. Aku menyusul temanku yang katanya pindah ke kota. Aku sangat dekat dengannya, namanya Devi. Karena tak punya bekal apapun aku berjalan kaki ke kota. Entah sudah berapa lama aku berjalan aku tak tahu. Sampai akhirnya aku melihat jalan raya penuh dengan mobil yang berlari kencang. Mobil itu cantik sekali. Aku bahkan ingin memilikinya suatu hari nanti. Iya aku ingin jadi orang kaya besar nanti. Punya mobil mewah, rumah bagus dan uang yang banyak. Agar ibu tak lagi menghinaku apalagi menyiksaku. Saat di perjalan kabur, malang bagiku karena sedang berjalan kaki aku malah bertemu Pak dan Ibu RT. Sepertinya mereka habis mengunjungi anaknya yang di kota. Mereka menghentikan usahaku untuk kabur. Mau bagaimana lagi, aku pun menurut ikut mereka pulang. Tetapi tahukah kalian apa yang terjadi saat aku pulang? Rumahku ramai sekali. Ibuku menjerit jerit histeris. Rasanya aneh sekali melihat ibu begitu histeris saat aku pergi. Ternyata ada sesuatu hal. Ada seorang pria disisi ibu saat itu. Aku bahkan sempat mengira itu ayah. Ternyata aku salah. Itu pria lain. Kata mereka itu akan jadi ayah baruku. Tetapi aku hanya mengacuhkannya. Bahkan aku mengacuhkan ibuku yang bertanya keadaanku. Ibu bahkan bersujud tanda terimakasih pada Bapak dan Ibu RT. Pemandangan yang sangat aneh bukan. Berhari hari pria itu ada di sisi ibu. Pagi dia datang, siang bahkan malam terus saja datang. Aku mulai risih. Tetapi pria itu membawa banyak makanan. Hanya itu bagian yang ku sukai. Selebihnya tidak. Karena pria itu terus datang ibu tak lagi menyuruhku bekerja. Tetapi aku bosan dirumah saja. Jadi aku masih tetap bekerja. Kerja apapun ku lakukan asalkan di upah. Jika di upah uang, maka uang itu aku simpan. Jika di upah makanan akan ku bagi teman temanku. Karena sepengetahuan ibu kerjaku adalah main seharian. Aneh bukan? Saat pria itu ada ibuku jadi baik dan tak kasar lagi. Apakah aku berharap pria itu jadi ayahku? Tidak. Aku tidak menyukainya. Aku pernah mempergokinya mengintipku dikamar yang sedang tidur. Kamarku sangat sempit hanya muat almari kecil dan kasur tipis. Pintunya tak ada hanya ada tirai lusuh. Aku tak menuduhnya. Hanya saja aku ketakutan melihatnya mengintipku tidur. Tatapannya itu bagaikan seorang singa yang siap menerkam domba kecill. Mengerikan sekali. Berbulan bulan pria itu selalu hadir, sampai akhirnya Pak RT menegur ibu, bahkan saat itu pria itu ada disana. “saropah, kulihat beberapa waktu terakhir ini Arifin selalu mengunjungimu siang dan malam, benarkah?” tanya Pak RT Pada ibu. Meski pun Arifin ada disana, Pak RT mengganggapnya tak ada. “bukankah Bapak sudah lihat sendiri, untuk apa bertanya lagi.” Ibu menjawab ketus. “bukan begitu Saropah, jika Arifin serius dengan kamu bukankah lebih baik kalian segera menikah? Untuk apa lama lama seperti ini, dengan hubungan yang tak jelas, malu Saropah!” Pak RT menahan amarahnya. Tetapi ibu malah menjawab enteng, “bukan urusan Bapak soal malu atau tidaknya. Semua urusan saya, ngapain sih kalian ikut campur terus urusan saya.” Ibu memalingkan wajahnya. Sedangkan Arifin hanya seperti hantu, ada tetapi tak ada. Ia hanya menghisap rokoknya dengan tenang. “jika kamu tidak bisa di atur, mohon maaf Saropah... saya sebagai RT bisa mengambil sikap tegas sama kamu dan Arifin. Say tidak mau di kampung saya terjadi kumpul kebo padahal saya mengetahuinya bahkan sudah memperingatkannya.” Pak RT geleng geleng kepala. Mendengar penuturan Pak RT ibu hanya terdiam, mungkin bingung mesti menjawab apa dan bagaimana. Pak RT pun melanjutkan, “saya peringatkan kalian untuk tidak seperti ini lagi, jika tidak saya bisa mengusir kalian dari kampung ini. Permisi...” Pak RT pun pergi meninggalkan gubuk kami. Selepas Pak RT pergi, ibu dan Arifin bertengkar hebat. “aku tidak mau diusir dari sini, kamu harus ambil keputusan kang.” Ujarnya. “apa maksudmu... kamu tahu aku tidak bisa.” Arifin masih saja santai menghisap rokoknya. “tidak bisa bagaimana, akang mau saya diusir? Mau tinggal dimana kami kang?” “kamu kan bisa pindah ke kampung sebelah atau kemana gitu.” “kemana kang? Ini satu satunya ku punya, tinggal di kampung sebelah, akang mau membiayai kami? Yang ada akang malah kabur. E istri akang itu, iya kan?” “kamu kok bawa bawa dia. Oooo... jadi itu mau kamu. Oke, aku pergi” Arifin bergegas pergi. Ibu mencoba mencegahnya tetapi tetaapi tak berhasil, Arifin malah mendorong tubuh ibu sampai masuk ke selokan. “aaarrrrrghhh...” ibu menjerit, tetapi Arifin tak peduli. Ibu berusaha bangkit dari selokan, Aku hanya melihatnya dari kejauhan tak berani mendekatinya, berniat menolong malah aku kena pikir. Tetapi pikiran itu ku buang jauh jauh saat ku lihat di kaki ibu mengalir darah segar. Tak lama baru ku tahu ibuku pendaraan. Ibuku keguguran anak si Arifin itu. Ku papah ibu menuju kursi diteras depan. Lalu bergregas ku cari bu bidan yang rumahnya lumayan jauh. Aku berusaha berlari sekuat tenaga. Aku begitu ketakutan jika darah ibu habis. Sesampainya dirumah Bu bidan, segera ku beritahu Ia tentang ibu. Dengan tergesa bu bidan melajukan motornya. Sepanjang jalan tak hentinya ku berdoa supaya ibu tak apa apa. Sesampainya dirumah. Ibu masih di kursi depan wajahnya sudah pucat. Kami segera memapah ibu kedalam. Ku tinggalkan bu bidan dikamar bersama ibu. Sedangkan aku memanggil pak RT. Bukan mengadu, aku hanya takut terjadi apa apa pada ibuku. Bisa saja ibu harus dibawa ke rumah sakit. Memang benar, sampai dirumah Ibu bidan meminta kami membawa ibu ke rumah sakit. Tetapi ibu menolaknya. Mau bagaimana lagi, kami pun tak ada biaya. Seusai kejadian itu, ibu lebih banyak diam. Bahkan berhari hari ibu tak mengajakku bicara. Ibu hanya terdiam saja sepanjang hari. Ibu jadi banyak melamun. Tetapi biarlah ibu merenungi kesalahannya, sedangkan aku memilih bekerja kembali. Ketika umurku tiga belas tahun, ibu benar benar menikah. Abdul namanya, hampir kakek kakek dan pula sepertinya Abdul juga sudah ada istri selain ibu. Terkadang Ia dirumah, tetapi berhari hari kemudian Ia tak kembali. Ibu tak mempermasalahkannya, asal Abdul memberi uang dan kembali di lain hari. Saat ibu hamil Abdul tiba tiba jarang pulang, terkadang seminggu tak pulang. Pulang pun hari paling lama dua hari. Memang Abdul masih memberi uang. Saat kehamilan ibu menginjak tujuh bulan, Abdul benar benar tal lagi menampakkan hidungnya. Bahkan uang pun tak lagi sampai pada ibu. Ibu mulai berang. Aku terpaksa bekerja lebih keras. Nafsu makan ibu makin menggila. Aku kewalahan mengurusnya. Aku sampai sampai harus mencuri ayam tetangga karena ibu ngidam di buatkan ayam goreng. Sedangkan aku tak lagi punya uang. Lain waktu ibu bahkan minta diajak kesalon. Bagaimana bisa sedangkan aku tak punya uang. Uang upah harianku terus terusan habis untuk makan ibu. Terkadang aku hanya makan sisa ibu. Itu bahkan tak mengenyangkan perutku. Menginjak kehamiran ke delapan bulan, ada seorang lelaki bernama Karta, dari orang orang ku ketahui Karta pemilik perkebunan teh didesa tetangga. Orang kaya katanya. Ku pikir Karta akan melamar ibu hari itu, tetapi ternyata hari itu akulah yang dilamar. Mereka datng membawa banyak barang. Makanan enak bahkan segepok uang. Ibu bahkan tak mampu berkata Ia. Aku pun dinikahkan dengannya dua minggu kemudian.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.7K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook