AROMA MASA LALU
Udara pagi itu membawa aroma rempah dan harapan. Di antara deru kendaraan yang lalu-lalang, berdiri bangunan sederhana bercat krem muda dengan papan kayu besar bertuliskan “Dapur Cinta” di depannya.
Tulisan itu baru dipaku semalam oleh Andre sendiri, dibantu kedua anaknya, Rafi dan Dina. Tangannya masih terasa pegal, tapi dadanya penuh rasa lega yang hangat — rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.
> “Akhirnya jadi juga, Ratna,” ujarnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
“Tahun-tahun kerja kerasmu terbayar, Mas. Semoga rezekinya lancar,” jawab Ratna lembut sambil mengusap peluh di dahi suaminya.
Mata Ratna berkaca-kaca. Ia tahu betul bagaimana suaminya menahan diri bertahun-tahun, menabung dari gaji kecil sebagai sopir proyek, demi satu mimpi: memiliki restoran sendiri.
Semua tabungan mereka habis. Tapi saat melihat wajah Andre yang berseri seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru, Ratna memilih diam. Ia tahu, kebahagiaan suaminya lebih berharga dari rasa takut akan gagal.
Dua anak mereka ikut membantu menata meja dan kursi. Rafi menyiapkan sendok, sementara Dina sibuk menyusun vas bunga plastik di setiap meja.
Wangi cat baru bercampur dengan aroma sambal ulek dan bawang putih yang baru ditumis di dapur belakang. Suasana hangat, sederhana, tapi terasa hidup.
Andre berdiri memandangi ruang dapur. Dindingnya dilapisi keramik putih, dua tungku baru berbaris rapi. Ia tersenyum bangga.
“Tempat ini akan jadi rumah bagi banyak cerita,” bisiknya dalam hati.
Tapi ia tidak tahu, cerita pertama yang dimasak di dapur ini justru akan mengubah seluruh hidupnya.
---
Sore itu, langit Karawang mulai memerah. Jalanan di depan restoran perlahan sepi.
Andre duduk di meja kasir, memeriksa daftar karyawan baru sambil menyeruput kopi hitam. Keringat menempel di pelipis, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya.
Ia merasa seperti baru menulis bab baru dalam hidupnya.
Di luar, suara sendok dan piring beradu pelan. Bau nasi goreng dari wajan masih menggantung di udara.
Lalu, tiba-tiba pintu depan berderit. Seorang wanita masuk dengan langkah ragu. Ia membawa map cokelat lusuh di tangan. Suara lembutnya memecah keheningan.
> “Permisi, Pak. Saya dengar Dapur Cinta sedang butuh juru masak…”
Andre menoleh, dan dunia seolah berhenti.
Wanita itu berkerudung abu muda. Matanya teduh, tapi di balik tatapan itu ada kelelahan hidup yang sulit disembunyikan.
> “Alya?”
“Andre…?”
Hening.
Suara kendaraan di luar seakan lenyap. Waktu berhenti di antara dua nama yang sama-sama belum benar-benar mereka lupakan.
Alya tersenyum canggung. “Sudah lama sekali, ya?”
Andre berusaha tersenyum, tapi hatinya berdetak lebih cepat dari logikanya.
“Dua puluh tahun, kalau tidak salah.”
“Benar,” kata Alya pelan. “Aku dengar kamu buka restoran. Aku… butuh pekerjaan, Andre. Aku cuma ingin kerja jujur untuk anak-anakku.”
Andre terdiam lama. Matanya menelusuri wajah Alya — garis lembut di pipinya, senyum yang dulu ia kenal. Waktu telah mengubah banyak hal, tapi bukan cara jantungnya berdetak saat menatapnya.
> “Kamu diterima,” katanya akhirnya, lirih.
“Mulai besok, bantu di dapur. Aku yakin… dapur ini akan lebih hangat kalau kamu ada di sana.”
Alya menunduk. “Terima kasih, Andre. Aku janji tidak akan mengecewakanmu.”
Ratna, dari jauh, melihat adegan itu. Ia baru datang membawa teh untuk suaminya. Langkahnya berhenti di ambang pintu.
Wajah suaminya tampak lain — lembut, tapi penuh cahaya yang jarang ia lihat akhir-akhir ini.
Ia menatap wanita yang berbicara dengannya. Tidak tahu siapa dia, tapi entah mengapa ada rasa dingin merayap ke d**a.
Ratna menarik napas pelan. Hatinya bergetar, tapi bibirnya tetap tersenyum.
“Barangkali itu calon karyawan baru,” gumamnya lirih. Namun dalam dadanya, ada sesuatu yang mengganjal — seperti bayangan kecil yang belum jelas bentuknya.
---
Malam turun perlahan. Lampu dapur berpendar lembut, menciptakan bayangan di lantai keramik yang basah oleh ceceran air cucian piring.
Andre duduk sendirian di kursi dekat tungku kompor yang belum digunakan. Ia menatap nyala kecil di ujung sumbu gas, seolah menatap masa lalunya yang kembali hidup.
Dalam benaknya, suara tawa anak kecil menggema.
> “Kalau kita besar nanti, kita buka dapur bareng, ya. Namanya… Dapur Cinta!”
Andre tersenyum getir. Janji polos itu masih ia ingat jelas — Alya kecil dengan rambut dikepang dua, wajah belepotan tepung karena belajar masak di dapur ibunya.
Mereka pernah tertawa bersama di bawah hujan, berlari sambil membawa panci bekas untuk menampung air. Masa itu sederhana, tapi bagi Andre, itu cinta pertama yang tak pernah benar-benar padam.
Ia menyandarkan kepala ke dinding.
> “Kenapa sekarang, Alya?” gumamnya pelan.
Ia sudah punya keluarga, istri yang setia, anak-anak yang tumbuh baik. Lalu kenapa Tuhan mempertemukan mereka lagi — di dapur ini, di bawah nama yang dulu mereka ciptakan bersama?
Langkah lembut terdengar. Ratna masuk membawa segelas s**u hangat.
> “Mas belum pulang?”
Andre tersentak. “Ah, iya… sebentar lagi.”
Ratna duduk di depannya. Wajahnya lembut, tapi matanya menyimpan tanya.
> “Kamu kelihatan bahagia hari ini.”
Andre terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Iya, mungkin… terlalu bahagia.”
Ratna menatapnya lama. Dalam hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan — seperti firasat yang menekan d**a. Ia ingin bertanya siapa wanita tadi, tapi menahan diri.
Ia tahu, kadang cinta diuji bukan dengan jarak, tapi dengan kehadiran masa lalu.
> “Kalau kamu capek, jangan dipaksakan, Mas,” katanya lembut, lalu beranjak pergi.
Andre menatap punggung istrinya yang perlahan menghilang di balik pintu. Ia menghela napas berat. Antara rasa bersalah dan rindu yang tiba-tiba hidup.
> “Maaf, Ratna… aku bahkan belum tahu kenapa hatiku bergetar lagi.”
---
Hujan mulai turun malam itu. Titik-titik air membasahi papan bertuliskan Dapur Cinta, membuat catnya sedikit pudar.
Di dalam, seorang pria duduk sendiri, menatap api yang menari di kompor baru.
Ia tak sadar, api itu bukan sekadar nyala gas, melainkan nyala perasaan lama yang mulai tumbuh kembali — dan kelak akan mengubah segalanya.
> “Dapur Cinta,” bisiknya pelan. “Ternyata… ini bukan hanya tempat mimpi, tapi juga tempat ujian.”
Di luar, petir menyambar pelan. Hujan turun makin deras, sementara di dalam ruangan kecil itu, dua nyala api bertemu: satu dari tungku dapur, satu lagi dari hati yang belum padam sejak dua puluh tahun lalu.