bc

MY FUTURE PAST

book_age16+
2.0K
FOLLOW
22.9K
READ
love-triangle
love after marriage
arranged marriage
independent
confident
drama
bxg
office/work place
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Vanesa Laura, perempuan yang akrab disapa Anes itu hanya bisa terdiam kaku ketika ia diminta untuk menjadi menantu di keluarga Gama. Bagaimana mungkin dia menikahi lelaki yang sama sekali tidak dicintainya? Lelaki dingin yang bahkan hanya berbicara beberapa kali dengannya, itupun hanya soal pekerjaan. Apakah ini cara yang harus ia lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Gama yang kepadanya? Apakah harus dengan cara menikah dengan Axel? Apakah masih kurang kontribusi yang ia berikan untuk perusahaan Gama Group? Kalau bisa memilih, Anes akan lebih memilih menikah dengan Ben, sepupu Axel yang pernah memiliki sepenggal kisah singkat di masa lalu dengannya, tapi toh tidak bisa, dia tetap harus menikahi Axel. Tidak cukup dengan permasalahan pernikahannya dengan Axel, Anes harus diperhadapkan dengan kenyataan bahwa dia harus bertemu lagi dengan mantan kekasihnya yang dulu harus berpisah karena keluarga dari mantannya mati-matian menolak Anes karena kenyataan hidup Anes sebagai seorang yatim-piatu. Kisah ini akan membawa Anes kembali bertemu orang-orang dari masa lalunya yang pada akhirnya akan menjadi bagian terpenting dari masa depannya. Bagaimana Anes akan menghadapi situasi yang dihadapinya? Keputusan apa yang akan Anes ambil? Dan yang terpenting siapa yang pada akhirnya akan ia pilih untuk masa depannya? Akankah kisah kehidupan dan cintanya akan berakhir bahagia?

chap-preview
Free preview
PROLOG
PROLOG   Beberapa staf dan kepala bagian terlihat mulai gelisah, beberapa orang mulai melirik jam di pergelangan tangan mereka membuatku juga terpancing melakukan hal yang sama. Aku melirik jam tangan Daniel Wellingtong yang melingkar pas di pergelangan tangan kiriku, merknya tidak terlalu mahal, tidak juga terlalu murah bagiku, aku menabung sebagian gajiku selama empat bulan pertama bekerja di kantor ini untuk bisa membelinya. s**t! Sudah hampir jam sebelas malam! Ini mau membahas apa lagi sih? Om Gama ngga capek apa ya sudah selarut ini masih belum selesai juga rapatnya. Udah tua juga harusnya banyak-banyak istirahat di rumah. Bukannya cepat-cepat menyelesaikan pembahasan, ini malah sibuk dengan ponselnya, katanya sih ada email penting yang masuk. Come on om, sayur sop di atas komporku bisa-bisa sudah basi karena lupa ku masukkan ke dalam kulkas. Aku terlalu malas kalau harus masak makanan baru, rasanya badanku sudah hampir remuk. Pulang kerja mau langsung makan, mandi lalu tidur. “Oh oke maaf ya agak lama.” Om Gama meletakkan ponselnya. Akhirnya. “Tadinya saya mau menyampaikan hal yang terakhir ini besok atau lusa, tapi barusan saya dapat email dari direktur cabang di Palembang, ada beberapa hal penting yang harus didiskusikan bersama direktur cabang lainnya, jadi kemungkinan besok siang saya harus terbang ke Palembang sekaligus meninjau langsung kinerja pabrik kita yang di sana.” ucapan om Gama terjeda, dia mengambil segelas air putih di depannya. Mungkin orang tua kalo ngomong agak panjang dikit gampang capek kali ya? Jadi harus banyak-banyak minum. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berusaha melawan rasa ngantuk yang semakin membrutal ini. Suhu ruangan yang cukup dingin membuatku ingin menarik selimut sekarang juga lalu tidur dengan pulas. “Jadi begini,” om Gama melanjutkan bicaranya sambil meletakkan kembali gelas itu, “Saya ini sudah tua, sudah usia pensiun, tahun depan saya sudah enam puluh tahun. Jadi saya rasa sudah waktunya untuk saya medelegasikan kepimpinan ini kepada anak saya.” What! Jadi ini ‘hal penting terakhir’ yang mau disampaikan? Kok mendadak? Semua mata tercengang saling berpandangan satu sama lain. Fanny yang duduk disebelahku spontan langsung menyikutku lalu berbisik “Gila, kok mendadak banget sih?” tanyanya padaku seolah aku tahu jawabannya. “Mana gue tau. Lu kira gue anaknya.” Jawabku dengan suara berbisik pula. “Ya kali aja lu ada dengar kabar apa kek, lu kan cukup deket sama keluarga si bos.” Ujarnya lagi, kini dengan wajah seolah ingin menginterogasiku. “Yang deket sama mereka itu orang tua gue. Gue mah di sini cuma kerja, staf doang. Urusan perpindahan kekuasaan ya mana gue tau.” Jawabku lalu membenarkan posisi duduk karena nampaknya om Gama ingin melanjutkan bicaranya lagi. “Saya tahu ini terkesan mendadak, tapi sebenarnya hal ini sudah saya pikirkan cukup lama. Saya juga sudah berdiskusi dengan keluarga dan beberapa kepala bagian. Tapi kalian tenang saja, saya tidak akan langsung menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab saya kepada anak saya, saya akan tetap mengawasi dan mengontrol kinerjanya sampai dia benar-benar siap dilepas untuk menjalankan perusahaan ini sendiri. Anak saya akan mulai masuk kantor hari Senin, nanti akan saya adakan pertemuan dengan kalian untuk menyambut kehadirannya di kantor ini.” Senyum lebar mengembang di wajah om Gama, dia terlihat antusias dengan perpindahan kekuasaan ini. Mungkin sudah tidak sabar menikmati hari tua. “Oke saya rasa sampai situ saja dulu pembahasan kita. Untuk hal-hal penting lainnya akan kita bahas setelah kedatangan anak saya. O iya, kalau besok ada keperluan yang berhubungan dengan saya bisa hubungi asisten saya karena besok saya akan berangkat bersama ibu saja. Ada yang ingin menambahkan?” tanya om Gama melihat bergantian ke arah kami. “Sepertinya cukup pak.” Jawab Pak Tama mewakili. “Oke kalau begitu terima kasih atas kehadiran kalian dalam rapat ini. Rapat dibubarkan.” Sebagian besar orang di ruang ini langsung berdiri dari kursi mereka, berbondong-bondong menuju pintu keluar setelah sebelumnya berpamitan dengan om Gama. Aku dan Fanny juga langsung berdiri, tersisa kami berdua, om Gama dan asistennya yang kini juga sudah beranjak dari kursi siap-siap ingin pulang. “Pulang dulu pak.” Ucapku memberikan senyum sambil sedikit membungkukkan badan, dan juga diikuti oleh Fanny. “Oh iya hati-hati.” Ujar Om Gama membalas dengan senyuman sambil merapikan berkasnya dibantu dengan asistennya, “Emm Nes,” om Gama memanggilku yang sudah berada di ambang pintu, sedangkan Fanny sudah lebih dulu keluar. “Iya pak?” tanyaku agak bingung. “Jaga kesehatan ya Nes, belakangan saya lihat muka kamu agak sayu. Kurang istirahat ya?” tanyanya penuh perhatian, seperti perhatian seorang ayah kepada anak perempuannya. “Sedikit sih pak hehe.” Jawabku sedikit tercengir. “Minum vitamin dan air putih yang banyak supaya ngga sakit.” Ujar om Gama menasihatiku sambil menyunggingkan senyum lebarnya. “Iya pak, bapak juga. Saya permisi duluan ya pak. Mari. Mbak Hen, saya duluan.” Aku berpamitan kepada om Gama dan mbak Heni asistennya lalu segera menutup pintu setelah mereka membalas dengan, lagi-lagi senyum. Terlalu banyak senyuman yang aku terima dan juga berikan sepanjang hari ini. Lelah juga rasanya. Lelah karena tersenyum? Gimana bisa? Entahlah terkadang rasanya cukup melelahkan saat kamu harus tersenyum dan tertawa pada sebenarnya kamu ingin menangis dan berteriak.   “Eh darimana lu? Lu tau ngga sepanjang jalan menuju lift gue ngomong sendiri tau ngga? Gue pikir lu di belakang ternyata gue ngomong sendiri. k*****t lu ya, untung ngga ada setan yang nyahutin omongan  gue.” Omel Fanny saat aku tiba di hadapannya. “Pak bos ngajak ngobrol bentar tadi.” Jawabku datar lalu menekan angka 1 yang berarti lift akan mengantarkan kami ke lantai dasar kantor ini. Tidak lama pintu lift terbuka dan kami langsung masuk ke dalamnya. “Ngobrol apaan?” tanya Fanny yang sepertinya hampir setiap hal di hidupku dia ingin ketahui. Hal-hal kecil yang terjadi padaku saja dia selalu ingin tahu, apalagi kalau ada hal besar yang ku sembunyikan darinya, bisa-bisa aku dijambak. Fanny adalah teman baikku di kantor ini, kami satu divisi. Dia orang pertama yang mengajakku ngobrol dan makan siang ketika tiga tahun lalu aku masuk kantor untuk pertama kalinya. “Nanyain doang kenapa belakangan gue agak letoy. Terus dia bilang gue harus banyak minum vitamin dan air putih. Ngga disuruh istirahat tapi.” Ujarku dengan pandangan datar ke depan, memandangi pintu lift yang masih berjalan. Kami turun dari lantai empat belas, jadi butuh waktu sedikit lebih lama untuk turun ke lantai dasar. Belum lagi beberapa kali liftnya berhenti di beberapa lantai. Ternyata ada beberapa divisi yang stafnya juga lembur. Sekarang ada lima orang di dalam lift. “Pak bos perhatian juga ya sama lu Nes, kenapa ngga sekalian diangkat jadi anak aja ya Nes?” Fanny mengecilkan suaranya, berbisik kepadaku agar tidak terdengar dengan orang-orang di dalam lift ini. Pintu lift terbuka dan kami segera keluar. “Lu sih agak-agak ya Fan. Dikasih kerja di sini aja gue udah syukur tau ngga. Keluarga mereka emang baik, tapi gue rasa juga karena bapak gue dulu temen baiknnya om Gama. Kalo engga juga palingan biasa aja ke gue.” Jawabku santai sambil kami berjalan menuju basement. “Ah engga ah Nes, gue sih ngeliatnya pak Gama tu beneran kayak sayang gitu loh sama elu, kayak sayang ke anak perempuannya gitu loh Nes.” Ini anak kenapa sih ngeyel banget, kayak dia aja yang ngerasain. Kenapa ngga dia aja yang daftar jadi anaknya om Gama sih? Aku hanya membalas ucapan Fanny dengan tatapan datar ke arahnya sambil menghela napas berat. Malas banget membahas hal tidak penting di—hampir—tengah malam seperti ini, saat badanku sudah sangat merindukan kasur beserta teman-temannya (dibaca : bantal, guling, dan selimut. Hehe). “Lu ngapain? Mobil lu mana?” tanganku terhenti saat hendak membuka pintu mobil, aku bingung kenapa Fanny masih berada di sampingku dan bukannya menuju mobilnya sendiri. Eh tunggu sebentar, mobil Fanny mana? Biasanya selalu parkir bersebelahan dengaku. Ini anak sih kayak anak ayam yang ngekor mulu sama induknya. Iya aku induknya hhmm. “Ngga bawa hehe tadi pagi gue diantar Regi hehe.” Jawabnya cengengesan. “Terus?” tanyaku ketus. Maksudnya apa? Minta diantar pulang? Bener-bener ya si Fanny! “Ya gue mau ikut lu lah.” Jawab Fanny yang malah jadi nyolot. “Ih rumah lu kan jauh Fan. Gila deh. Gue udah ngantuk banget. Kenapa ngga minta jemput Regi aja sih?” tanyaku dengan nada agak kesal. Please deh Fan, kalau ajak ini ngga sudah larut malam dan aku sudah ngantuk berat mungkin masih bisa ku pertimbangkan untuk mengantarkanmu pulang. “Siapa yang minta anterin pulang ke rumah? Orang gue mau ikut pulang ke rumah lu kok. Nginep Nes, nginep hehe besok kan Sabtu jadi kita bisa weekend bareng hehe. Ya boleh yaa gue nginep? Please! Gue males banget di rumah ngga ada temen.” Ujar Fanny berusaha merayuku dengan raut wajah penuh harap. Aku tidak menjawab, aku menyipitkan mataku, menghela napas lalu segera masuk ke dalam mobil. Fanny sudah cukup mengerti bahwa ekspresiku barusan menunjukkan bahwa aku menyetujui dia menginap di rumahku malam ini. Atau mungkin sampai malam selanjutnya. Fanny memang suka seenaknya sendiri, tapi tetap saja dia adalah temanku yang paling baik, mungkin lebih tepatnya sahabatku. “Asyik!” serunya lalu segera menyusul ke dalam mobil.   …   Andai ayah dan ibu ada di sini, mungkin perjalanan panjang ini ngga akan terasa sesulit ini. Setidaknya kalau ada mereka aku masih punya tempat untuk berbagi keluh kesahku, tempat mengadu kalau ada yang menjahatiku. Andai waktu itu ayah mau diajak berobat agar kanker di paru-parunya tidak lebih cepat menyebar berapapun biaya yang harus dikeluarkan asal ayah bisa sembuh. Andai waktu itu ibu mau jujur padaku, jadi aku bisa bekerja keras untuk biaya pengobatan penyakit ginjal ibu. Bukannya malah merahasiakan penyakitnya dariku. Andai waktu bisa diulang kembali, ada beberapa hal yang sangat ingin aku perbaiki. Aku akan mogok makan atau maksa untuk berheti sekolah supaya ayah berhenti merokok dan tidak kena kanker paru-paru. Aku tidak akan terlalu sibuk dengan kuliah dan organisasi kampus agar aku bisa lebih perhatian dengan kesehatan ibu. Andai semuanya masih bisa ku perbaiki, mungkin hidup tidak kana sekejam ini. atau mungkin semuanya memang harus terjadi agar aku bisa memahami bahwa hidup yang sesungguhnya memang kejam seperti ini.                    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook