Prolog
Tiga hari
Aku menghitung kalau sekarang mungkin sudah tiga hari aku terkunci di tempat sempit dan gelap ini.
Meski begitu, pandanganku seakan tidak bisa beralih dari satu tempat. Dari sosok Mama yang terbaring dengan kondisi mengenaskan di atas tempat tidur, berlumuran darah dan juga menatapku dengan tatapan kosong.
"Mama ..." Aku sudah mencoba memanggilnya beberapa hari ini.
Mamaku yang cantik, kini terlihat jelek dan membiru.
Aku melihat bagaimana mereka menyiksa dan membunuh Mama. Aku melihat semua yang orang-orang itu lakukan pada Mama, aku bisa mencium aroma besi yang menyeruak di udara saat cairan merah dari tubuh Mama mengalir keluar dan mengitori lantai.
Aku bahkan tidak bisa berteriak karena Mama seakan berbicara dengan tatapannya. Menyuruhku untuk tetap diam.
Jadi saat itu aku hanya menutup mulutku kuat-kuat dengan tanganku yang gemetar.
Ruangan ini mungkin terlihat seperti cermin dari luar, tapi hanya aku dan Mama yang tahu kalau ini adalah ruangan rahasia yang dibangun khusus di rumah ini.
Sesuatu yang hangat mengalir di sudut mataku.
Ah ... air mata.
Aku ternyata masih bisa menangis. Kukira air mataku sudah habis.
Suara bergemuruh datang dari perutku dan dengan gerakan yang lemah aku mencoba meraih botol air mineral di dekatku.
Habis.
Bahkan tidak ada satu tetespun.
Perutku perih tapi itu tidak terasa begitu menyakitkan.
Hatiku yang terasa lebih perih.
"Jangan salahkan kami. Suamimu, Adijaya Atmaja yang meminta kami untuk menghabisimu dan juga anak haram itu."
Ucapan orang itu terus-menerus terngiang-ngiang di telingaku.
Aku cukup mengerti apa maksudnya. Papaku ingin aku dan Mama mati.
Papa yang selama ini kurindukan menyuruh orang-orang itu melakukan semua hal yang jahat itu pada Mama.
Papa juga ingin menyuruh orang-orang itu melakukan hal jahat padaku.
Tapi kenapa?
Apa salah Mama dan aku?
Kenapa Papa harus melakukan semua ini pada Mama?
Air mata kembali mengalir deras dan aku mulai merengek lagi seperti dua hari sebelumnya.
Aku memanggil-manggil Mama meski aku tahu kalau Mama tidak mungkin menanggapi panggilanku.
Yang tersisa dari Mama hanyalah jasad yang membiru dan kesunyian.
Mungkin aku juga akan berakhir seperti itu karena ruangan ini terkunci dari luar.
Bahkan saat orang-orang menemukan Mama, tidak akan ada yang menemukanku di ruangan ini.
Mama ... pada akhirnya aku akan mati seperti Mama.
Orang-orang itu tidak bisa membunuhku seperti mereka membunuh Mama tapi aku akan mati juga seperti Mama karena aku tidak akan pernah bisa keluar dari ruangan itu.
Tidak apa-apa.
Aku meyakinkan diriku sendiri.
Setidaknya aku akan bertemu dengan Mama lagi pada akhirnya.
Aku ingin bertemu dengan Mama.
Pandanganku mengabur dan rasa pusing menderaku karena tidak ada makanan yang masuk ke perutku tiga hari ini. Perutku terasa perih.
Aku ingin makan ayam goreng istimewa buatan Mama. Aku berjanji untuk tidak lagi menanyakan tentang Papa. Aku juga tidak akan pernah protes lagi kalau disuruh belajar dari rumah dan tidak kesekolah.
Aku hanya ingin bertemu Mama lagi.
Saat aku hampir kehilangan kesadaran, aku menyadari tubuhku seakan mengambang di udara.
Suara seorang pria yang memanggil namaku terdengar familiar.
Aku berusaha membuka mataku tapi tidak bisa.
Itu terlalu sulit untukku.
Padahal aku hanya ingin melihat seperti apa malaikat maut yang akan menjemputku.
Apakah dia seseram yang ada di film? Dengan jubah hitam dan wajah tengkorak?
Atau siapa tahu dia sama tampannya dengan Paman Kay? Bukankah Paman Kay pernah berperan sebagai malaikat maut saat masih bermain film bersama Mama?
Kesadaranku semakin mengabur.
Sesungguhnya aku tidak begitu peduli meski malaikat maut yang menjemputku akan seram atau malah setampan Paman Kay.
Aku hanya ...ingin ke tempat Mama.
Aku membenci Papa
#
Damar menyelimuti bocah mungil dalam pelukannya dan meletakkannya di kursi penumpang.
"Bertahanlah Nak. Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati. Kau tidak boleh mati demi ibumu, demi Kay, demi aku dan demi membalas semua yang sudah mereka lakukan pada ibumu dan dirimu," suara Damar terdengar gemetar.
Dengan segera dia memacu mobilnya dan pergi dari tempat itu.
Bahkan dia juga tahu kalau dirinya tidak akan mungkin bisa menghindar dari keluarga Atmaja. Tidak dengan kemampuannya sekarang yang bahkan tidak sebanding dengan Atmaja Grup.
"b******n kau Adijaya!" teriak Damar penuh kemarahan bercampur kesedihan.
Seumur hidupnya, dia tidak akan bisa melupakan perbuatan Adijaya Atmaja dan seluruh keluarga Atmaja.
Damar tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana orang-orang itu dengan tega membiarkan jasad Rania tergeletak begitu saja di atas tempat tidur saat dia masuk.
"Manusia-manusia kejam," gumam Damar perih
Andai dia bisa, ingin rasanya Damar meraih jasad sahabatnya itu dan memakamkannya dengan layak. Tapi jika dia melakukan itu maka fitnah yang diharapkan keluarga Adijaya akan terwujud. Semua itu persis seperti dugaan Kay.
"Kalian tidak bisa dimaafkan. Adijaya, kau tidak bisa dimaafkan," ucap Damar pilu.
Damar tidak memiliki pilihan lain. Yang bisa dia lakukan hanya menelepon Polisi secara anonim dan membawa Ranya pergi dari sana secepat mungkin sebelum Polisi datang.