BAB 1
Suara monitor jantung berbunyi beep… beep… beep… di ruangan IGD rumah sakit militer. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan aroma keringat dan darah yang menempel di seragam pasien. Aruna melangkah cepat dengan jas dokternya, wajah serius, rambut yang sebagian keluar dari ikatan membuatnya terlihat lelah tapi tetap tegas.
“Pasang infus sekarang! Tekanan darahnya drop!” serunya pada perawat. Tangannya cekatan membuka jalur intravena pasien yang baru masuk dengan luka tembak di bahu.
Situasi begitu sibuk, detik demi detik adalah pertaruhan nyawa. Tapi di balik semua hiruk pikuk, ada satu hal yang membuat d**a Aruna sesak, langkah berat yang selalu mengikutinya.
Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik langkah itu.
Raka.
Pria dengan tubuh tegap, seragam loreng rapi, wajah dingin tanpa ekspresi. Ia berdiri di sudut ruangan, tidak menyentuh apa pun, hanya mengamati dengan tatapan tajam seolah tak pernah berkedip.
Sejak pagi, sejak ia datang ke rumah sakit, sejak ia berangkat kerja sosok itu selalu ada. Menyisakan bayangan yang menekan, seakan Aruna bukan dokter, melainkan tahanan yang sedang diawasi sejak kepulangannya ke tanah air.
Aruna mencoba fokus. Tangannya sibuk menekan perdarahan, matanya tak lepas dari pasien. Tapi aura Raka begitu kuat, menusuk konsentrasinya.
“Dok, tekanan darahnya naik perlahan,” lapor perawat.
“Bagus. Terus pantau!” jawab Aruna, suaranya cepat tapi mantap.
Sekilas ia menoleh ke sudut ruangan, dan benar saja Raka masih di sana. Berdiri kaku, kedua tangannya bersedekap, sorot mata dingin seperti bayangan tak diundang.
Kesal mulai merayap ke dalam dadanya.
Sampai akhirnya, pasien bisa distabilkan, Aruna melepas sarung tangan medisnya dengan kasar. “Tolong bawa pasien ke ruang observasi,” katanya singkat pada perawat. Begitu pasien dibawa pergi, ia berbalik cepat.
“Dan kamu!” Aruna menunjuk ke arah Raka.
Beberapa perawat menoleh kaget, suasana yang semula sibuk mendadak menegang.
“Kau pikir ini apa? Bayangan? Kenapa harus menempel terus di belakangku seperti anjing penjaga?!” Suara Aruna meninggi, penuh amarah yang ditahan sejak pagi.
Raka tidak bergeming. Rahangnya mengeras, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Saya hanya menjalankan tugas.”
“Tugas?” Aruna tertawa sinis, matanya berkilat.
“Menguntitku ke toilet juga tugas? Mengawasiku saat aku sedang menyelamatkan pasien juga tugas? Kau pikir aku ini apa, benda berharga yang harus diawasi setiap detik? Aku manusia, Raka! Aku dokter! Aku butuh ruang untuk bernapas!”
Beberapa perawat saling pandang, jelas tak berani mencampuri. Ketegangan di udara terasa menyesakkan.
Raka melangkah maju, jarak antara mereka kini hanya beberapa langkah. Sorot matanya menusuk, nadanya tetap dingin. “Nona Aruna, tugas saya adalah memastikan Anda tidak berada dalam bahaya. Dimanapun Anda berada.”
“Bahaya? Di IGD rumah sakit? Kau gila?” Aruna mendengus, suaranya bergetar karena marah. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti tawanan di tempat kerja sendiri. Setiap langkahku seakan diawasi. Kau menggangguku. Kau membuatku terlihat bodoh di depan pasien dan perawatku sendiri!”
Raka tetap diam beberapa detik. Hanya suara monitor dan langkah tergesa perawat yang lewat di luar pintu mengisi kesunyian.
Akhirnya ia berkata pelan, tapi suaranya dingin bagai pisau. “Lebih baik Nona terlihat bodoh… daripada berakhir mati tanpa saya di sisi Nona.”
Aruna terdiam sejenak. Kata-kata itu menghantamnya keras, bukan karena percaya, tapi karena nada suara Raka terlalu meyakinkan, terlalu… nyata.
Namun ego dan kemarahannya lebih besar. “Jangan sok tahu soal hidupku! Kau tidak mengenalku, Raka! Kau bukan siapa-siapa!”
Suasana meledak. Perawat yang tadinya pura-pura sibuk kini benar-benar menghilang, meninggalkan mereka berdua di IGD yang mendadak sepi.
Raka menatap Aruna lama, seolah menimbang kata-katanya. “Saya tidak perlu mengenal Nona untuk melindungi Nona. Itu perintah.”
“Perintah dari kakekku, kan?” Aruna mendesis, nyaris gemetar karena emosi. “Semua ini karena beliau selalu memperlakukan aku seperti boneka kaca yang rapuh! Dan kau… kau hanya perpanjangan tangannya untuk membelenggu hidupku!”
Suasana membeku. Mata Aruna berkaca, tapi amarahnya membuatnya enggan menunduk.
Raka tak menjawab, hanya berdiri kaku. Namun sorot matanya seperti ada sesuatu yang samar, entah itu rasa bersalah atau sekadar kesadaran bahwa kata-katanya barusan meninggalkan luka.
Aruna menghela napas kasar, lalu meraih jas dokternya yang terlipat di kursi. “Aku tidak peduli. Ikuti aku terus kalau itu perintahmu. Tapi dengar ini, Raka…, aku tidak akan pernah berhenti melawan. Jangan pikir aku akan tunduk hanya karena kau berseragam dan membawa pistol.”
Ia melangkah cepat menuju pintu.
Raka menatap punggungnya yang menjauh, lalu mengucapkan kalimat terakhir sebelum keheningan menutup jarak di antara mereka.
“Melawan pun tidak akan mengubah kenyataan… bahwa mulai hari ini, hidup Anda bukan lagi sepenuhnya milik Anda, Nona.”
Aruna berhenti sesaat di ambang pintu. Kata-kata itu menusuk, membuatnya terdiam sepersekian detik. Tapi ia tak menoleh. Ia memilih melangkah pergi, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara.
Raka tetap berdiri di sana, diam, sorot matanya tajam namun samar menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
Dan di luar gedung rumah sakit, mata-mata asing mengamati dari balik kaca mobil gelap yang terparkir. Sebuah kamera mengarah tepat pada Aruna yang keluar dengan wajah tegang.
Seseorang di dalam mobil tersenyum tipis. “Target sudah diawasi dengan ketat. Tapi itu tak akan bertahan lama.”