Chapter 1. Semalam Bersama Kapten
"Finally, done!" Rani menatap layar laptop yang penuh dengan data cuaca, rute penerbangan, dan juga perhitungan bahan bakar.
Ini adalah pekerjaan Rani, dia setiap hari menyiapkan flight plan untuk penerbangan lokal maupun internasional. Jemari gadis itu sempat bergetar ketika mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruang briefing.
“Pagi, Rani.” Suara berat itu membuat jantung Rani berdetak lebih cepat.
Rani menoleh. Di hadapannya berdiri Arka, sang kapten muda yang dulu adalah tetangga sekaligus teman sekelas saat SMP dan SMA. Senyum ramah Arka masih saja membuat jantungnya kacau, apalagi kini ia berseragam pilot, semakin membuat Arka tampak menawan.
“Pagi, Kapten,” jawab Rani formal, meski matanya sempat tak sengaja menatap terlalu lama.
Arka duduk di seberang meja, membuka map berisi dokumen penerbangan yang sudah Rani siapkan. “Perhitungannya detail sekali, seperti biasanya. Kamu memang FOO yang paling teliti.”
Rani tersenyum tipis. “Itu memang sudah tugas saya, Kapten.”
Sejenak, ruangan itu terasa hening.
Rani ingin sekali berkata bahwa dulu ia selalu menulis nama Arka di setiap halaman buku diary, tapi buru-buru batinnya menjerit, "Jangan gila Rani! Nggak banget cewek nembak cowok! Malu, ih!"
“Okey, it's time to flight,” ucap Arka sambil berdiri, merapikan topinya.
“Selamat bertugas, Kapten.” Rani menundukkan kepalanya dan tersenyum manis, berharap Arka melihat senyumannya.
Tapi, Arka tampak seolah tak peduli, pria itu melangkah pergi.
Dan Rani hanya bisa menatap punggung kekar pria itu hingga hilang di balik pintu sambil membatin, "Aku menunggu kepulanganmu, Kapten."
***
Hari itu, Rani mendapat tugas mendampingi penerbangan uji rute baru. Ia duduk di kursi jump seat tepat di belakang Arka dan kopilotnya. Suara mesin pesawat bergemuruh, dan ia bisa merasakan getaran halus ketika roda mulai berputar di landasan.
“Siap, clear for tak off.” Suara Arka terdengar tegas di radio.
Sesekali, Arka menoleh ke belakang, memastikan Rani nyaman. “Gimana? Aman di situ?” tanyanya sambil tersenyum singkat.
Rani buru-buru mengangguk. “Aman, Kapten.”
Sebenarnya, Rani ingin sekali menambahkan kata-kata, "Selama ada kamu, pasti aman."
Sepanjang penerbangan, Rani mencatat data cuaca dan rute. Namun, matanya sesekali menangkap bayangan Arka dari kaca kokpit. Tangan kekar pria itu tampak mantap menggenggam tuas kendali pesawat, ekspresi seriusnya saat berkomunikasi dengan ATC, bahkan senyum kecilnya ketika bercanda dengan kopilot, semua itu mengembalikan kenangan masa indah masa kecil dan masa remaja di pikiran gadis itu.
“Masih sama, ya.” Tiba-tiba Arka berkata saat pesawat sudah di ketinggian jelajah.
Rani menoleh cepat. “Apa yang sama?”
Arka melirik Rani sebentar sebelum kembali fokus ke panel instrumen. “Kamu. Masih suka nulis cepat-cepat sambil menggigit ujung pena. Dulu waktu SMA juga gitu, kan?”
Rani terdiam, jantungnya berdebar lebih keras daripada getaran mesin pesawat, ia tersenyum kaku. “Owh, kamu masih ingat, ternyata.”
Arka terkekeh. “Kita berteman sejak SMP, nggak mungkin aku lupa kebiasaan kamu, Ran.”
"Ah, bener juga kamu." Kalimat Arka membuat Rani semakin sulit menahan perasaan yang sudah lama dipendam. Gadis itu menunduk, menuliskan angka-angka di catatan, berusaha menutupi rona merah di wajah.
Pesawat mendarat mulus di landasan. Begitu mesin dimatikan dan lampu tanda sabuk pengaman padam, suasana kokpit terasa lebih tenang. Rani merapikan berkas-berkasnya, sementara Arka melepas headset lalu duduk santai di kursinya.
“Gimana pengalaman pertama ikut terbang bareng aku?” goda Arka sambil menoleh ke Rani.
“Deg-degan, tapi seru." Rani tersenyum tipis. "Rasanya aku masih nggak percaya kamu yang dulu sering nyontek PR aku sekarang jadi kapten.”
"Eh, jangan buka aibku, dong!" Arka tertawa lepas. "Kalau anak buah dengar, bisa malu aku.”
Rani ikut tertawa, ia merasa sangat senang karena bisa sedekat ini dengan Arka lagi. “Ngomong-ngomong, kamu masih sering kontak sama geng cowok SMA-mu dulu?”
“Kadang-kadang sih kumpul. Tapi ya ... jarang banget komplitnya. Soalnya kan udah pada sibuk sama kerjaan masing-masing.” Arka berhenti sejenak, lalu menarik napas panjang. “Rani, aku mau kasih kabar bahagia ke kamu.”
"Ka–kabar bahagia? Rani menatap Arka dengan kening berkrut. “Apa itu?”
Arka tersenyum, tapi sorot matanya tampak serius. “Aku mau nikah.”
Seketika, d**a Rani terasa seperti diremas. “Ni–nikah?”
“Iya,” jawab Arka mantap. “Dengan pramugari di maskapai ini juga. Kamu pasti tahu, yang namanya Elma itu, loh. Kita udah pacaran diam-diam selama satu tahun dan ya ... akhirnya kita memutuskan untuk menikah.”
Rani terdiam, tangannya mengepal di balik meja kokpit, mencoba menahan denyut nyeri yang tiba-tiba menyerang d**a. Hatinya terasa seperti terbelah dua, tapi wajahnya ia paksa tetap tenang.
“Oh ....” Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya. “Selamat, ya.”
Arka tersenyum lega. “Makasih, Ran. Aku memang pengin kamu jadi orang yang pertama tahu. Karena kita sudah lama berteman.”
Kata teman itu menusuk lebih dalam daripada yang Rani kira. Gadis tersenyum samar, menunduk agar Arka tak melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Dalam hati ia berbisik lirih, "Teman, ya ... syukurlah dari kemarin aku menahan diri untuk tidak menyatakan cinta padanya."
Saat hujan deras mengguyur jalanan, motor Rani tiba-tiba tersendat lalu mati total di tengah genangan. Dengan panik, ia segera menepi ke trotoar yang becek, sepatu kanvasnya terendam air. Rambut yang panjang kini sudah lepek menempel di wajah, baju kantor pun basah kuyup, membuat tubuhnya menggigil kedinginan.
Rani memutar kunci kontak berulang kali, jari-jarinya yang gemetar menekan starter dengan putus asa. “Ayolah, tolong nyala!” gumamnya lirih, suara tenggelam di tengah gemuruh hujan.
Napas Rani mulai tersengal, d**a terasa sesak bukan hanya karena dingin, tapi juga karena luka yang masih segar akibat ucapan Arka tadi. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, menusuk lebih tajam dari angin malam yang menusup kulitnya. Tangan gadis itu terkulai di atas setang motor, bahu berguncang, dan membiarkan air mata jatuh bercampur dengan derasnya air hujan di wajah. Di tengah jalan yang lengang itu, hanya tangis tertahan dan suara hujan yang menjadi saksi rapuhnya hati malam itu.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari situ. Kaca jendela diturunkan, dan wajah Arka muncul. “Rani?”
Rani menoleh, kaget. “Arka?”
Tanpa banyak bicara, Arka membuka pintu, memerintahkan sopirnya minggir. Ia berlari ke arah Rani. “Ayo, aku bantu dorong.”
Dengan tenaga berdua, akhirnya motor itu sampai di rumah Rani yang sederhana.
“Makasih ya, Kapten.”
“Udah berapa kali sih aku bilang, jangan panggil aku Kapten di luar jam kerja,” sahut Arka, masih terengah.
Rani ragu sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, “Mau masuk dulu nggak? Kamu bisa mandi dulu biar nggak kedinginan. Aku masih simpan baju dan celana milik almarhum Ayahku, sekalian aku bikinin mie rebus dan teh panas sebagai ucapan terimakasih.”
Arka menatap Rani sebentar, lalu mengangguk. “Oke.”
Saat Arka sedang mandi, Rani menyalakan kompor, menyiapkan teh panas dan membuat dua porsi mie rebus dengan telur dan sawi. Aroma gurih mulai memenuhi ruangan, berpadu dengan deras hujan di luar.
“Wah ... rasanya kayak balik ke masa SMA, ya. Pas kita belajar kelompok, terus kamu bikinin aku dan temen-temen mie rebus,” ucap Arka sambil tersenyum.
Rani terkekeh pelan. “Iya. Ayo kita makan bareng!”
Mereka duduk berhadapan, mangkuk mie yang kini tinggal kuah hangat tergeletak di meja kayu. Obrolan mereka mengalir, sesekali diselingi tawa kecil saat mengenang masa-masa sekolah dulu, yaitu tentang guru galak, teman usil, atau cerita konyol yang dulu pernah mereka anggap serius. Namun, di tengah gelak tawa itu, tiba-tiba seluruh ruangan terjerembab dalam kegelapan. Dan suara kipas otomatis berhenti, digantikan suara hujan.
Rani terlonjak panik. “Astaga! Arka!”
Gadis itu refleks meraih lengan tangan Arka, lalu tanpa sadar memeluknya erat. Jantung berdegup kencang dan tubuhnya gemetar. Arka merasakan getaran itu, lalu perlahan menepuk punggung gadis itu.
“Tenang, Ran. Ada aku di sini.”
Hening.
Napas mereka terasa begitu dekat, saling memburu di antara gelap yang hanya diterangi kilatan cahaya petir dari luar jendela. Entah siapa yang lebih dulu memulai, tiba-tiba bibir mereka bersentuhan, ragu di awal, lalu semakin dalam. Rani merasakan tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau karena debar yang tak terkendali. Arka menahan wajahnya dengan kedua tangan, seolah takut melepaskan.
Ciuman itu berlanjut, semakin intens, hingga langkah mereka bergeser. Dari kursi kayu ruang tamu, punggung Rani terbentur lembut ke dinding, lalu dengan tarikan napas yang berat, Arka meraih tangannya, menuntunnya. Mereka berjalan terseok, masih saling berpelukan, bibir tak terpisahkan, menuju kamar Rani. Pintu kamar terbuka dengan satu dorongan pelan, dan di sanalah malam menyatukan dua hati yang tak seharusnya bersatu.
Arka tiba-tiba tersentak, matanya membesar. “Rani ... kamu ...? Masih ... virgin?”
Rani memejamkan mata, air mata menetes. Ia tak sanggup menjawab. Tapi tubuhnya sudah memberi jawaban.
Arka menahan napas, dia merasa bersalah, tapi dia juga terbakar gairah. Semuanya sudah terlambat, malam itu mereka akhirnya larut dalam pelukan satu sama lain.
Pagi-pagi sekali, Rani terbangun, tubuhnya terasa sangat letih, selimut kusut menutupi kulitnya.
Arka sudah tak ada.
Rani menutup wajah dengan tangan, air mata menetes. “Bodoh! Kamu, Ran! Kamu yang salah. Maka, kamu harus siap menanggung rasa sakit ini sendirian!”