bc

Bukan Kita Yang Ditakdirkan

book_age18+
156
FOLLOW
2.0K
READ
forbidden
love-triangle
BE
family
stepfather
drama
sweet
lighthearted
kicking
city
office/work place
affair
like
intro-logo
Blurb

Kadang, cinta datang bukan untuk dimiliki… melainkan hanya untuk disyukuri.

Leon __ suami tampan yang selalu diremehkan istrinya.

Dinda __ istri setia yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.

Mereka bertemu di tengah prahara rumah tangga !! Suami yang direndahkan istri bertemu wanita yang hidup tanpa cinta.! Mereka saling mengisi kekosongan.

Leon kembali merasa menjadi pria sejati…

Dinda akhirnya merasakan hangatnya cinta yang tak pernah ia dapat dari suaminya.

Tapi…

Bagaimana jika cinta itu hanyalah sebuah dosa yang manis?

Bagaimana jika takdir justru menjauhkan, bukan menyatukan?

“Bukan Kita yang Ditakdirkan”

Sebuah kisah terlarang yang akan mengaduk-aduk emosi, membuatmu bimbang antara mendoakan cinta mereka bertahan… atau mengutuk hubungan yang salah ini.

Siap-siap baper, emosi, bahkan ikut jatuh cinta pada kisah yang salah… tapi indah.

chap-preview
Free preview
BAB 1 Hari Pertama Dinda
Pagi itu Leon bangun kesiangan. Matahari sudah tinggi, menyusup malu-malu lewat tirai kamar. Tubuhnya masih terasa hangat dan segar setelah semalam menjalani "olahraga suami-istri" yang penuh gairah bersama istrinya. Ia tersenyum kecil, mengingat betapa manja istrinya semalam, lalu buru-buru bangkit saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00. "Astaga! Hari ini ada karyawan baru!" serunya panik sambil berlari ke kamar mandi. Leon mandi seperti sedang ikut lomba cuci motor. Sikat gigi, sabunan, bilas, pakai parfum, lalu seret dasi dan jaket seadanya. Dia bahkan tidak sempat sarapan. Dengan satu tangan merapikan rambut dan satu tangan lagi menyalakan mesin mobil, Leon meluncur ke kantor seperti dikejar deadline Kementerian Keuangan. Di lantai kantor yang sejuk dan sudah sibuk dengan suara ketikan dan tawa ringan rekan kerja, seorang wanita duduk manis di kursi tamu ruangan Leon. Namanya Dinda. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai karyawan baru di divisi pemasaran. Rambutnya diurai rapi, wajahnya sedikit tegang, dan tangan mungilnya menekap map berisi dokumen-dokumen pribadi. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Leon? Belum terlihat batang hidungnya. Lalu pukul 07.40, pintu ruang utama terbuka mendadak. Leon masuk dengan langkah santai seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi baru tiga langkah, tawa kantor pecah bersamaan. “Woiii, Pak Leon!” seru Toni dari meja kerjanya “Sisa semalamnya belum hilang, tuh!” “Wah, bekas kecupan mesra, ya?” canda Risa sambil menunjuk leher Leon dengan pena. Leon tertegun sebentar, lalu menyentuh lehernya sendiri. Matanya melebar. Ya ampun... masih ada jejak bibir merah muda di sisi kiri lehernya. "Waduh..." gumamnya, tapi bukannya malu, dia malah terkekeh dan mengangkat alis bangga. “Namanya juga pasangan aktif,” kata Leon santai, membuat seisi kantor tertawa lebih keras lagi. Sementara itu, Dinda yang duduk persis di depan meja Leon, hanya bisa menunduk dalam diam. Dia tidak tahu harus ikut tertawa, pura-pura tidak tahu, Yang jelas, pipinya sudah semerah tomat yang baru dipetik. Belum sempat suasana mereda, pintu ruangan terbuka lagi. Seorang wanita masuk dengan langkah percaya diri dan kemeja ketat berwarna pastel. Dialah Shinta, bagian administrasi. Ia melenggang ke arah Leon sambil membawa map dokumen, dan meletakkannya di meja Leon. “Pak Leon, ini yang perlu ditandatangani hari ini,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Leon mengambil map itu, masih dengan wajah geli karena ejekan teman-teman. Tapi sebelum sempat ia membuka halaman pertama, Shinta melingkarkan tangannya ke bahu Leon dari belakang—lalu mulai memijat punggung Leon dengan manja. “Pasti semalam seru banget, ya…” bisiknya pelan, lalu mencondongkan diri dan menatap bekas di leher Leon. “Warna bibirnya istri Bapak cantik juga, ya…” Tawa kantor kembali meledak, kali ini lebih liar. Leon hanya menggeleng pelan, mencoba tetap fokus menandatangani dokumen sambil menahan geli. Dinda masih menunduk, nyaris tenggelam di balik mapnya sendiri. Setelah Shinta keluar, membawa dokumen dengan langkah ringan dan senyum penuh arti, Leon akhirnya menoleh ke Dinda yang masih kaku seperti patung karyawan baru. “Oh iya, kamu pasti Dinda, ya?” sapa Leon sambil mengulurkan tangan. Dinda cepat-cepat berdiri dan menjabat tangan bos barunya dengan ragu. “Selamat datang di dunia yang penuh candaan tak berkesudahan,” ujar Leon sambil tersenyum. “Santai aja, ya. Di sini semua orang memang agak rame.Tapi niatnya baik.” Dinda hanya tersenyum malu-malu. Leon kemudian memberikan setumpuk berkas dan daftar pekerjaan yang perlu dipelajari. Ia menjelaskan dengan gaya santai dan suara cukup keras agar seisi ruangan tetap bisa mendengar kalau bos mereka memang nggak pernah canggung—even dengan bekas ciuman yang tak sengaja jadi pusat perhatian. Hari pertama kerja selalu membawa perasaan campur aduk bagi Dinda. Antara semangat baru dan gugup yang tak bisa disembunyikan. Tapi siang itu, sebelum waktu pulang resmi, Leon mendekatinya di meja kerja. “Din, kamu boleh pulang duluan aja. Kita ada rapat internal sore ini, bukan untuk semua divisi,” ujar Leon, dengan nada yang hangat tapi tetap tegas. Dinda tersenyum, sedikit lega. “Baik, Pak. Terima kasih.” Ia pun segera berkemas, terburu-buru ingin segera pulang, membayangkan bisa menyambut anak perempuannya di rumah. Tapi ada yang tertinggal—sesuatu yang begitu penting namun tak disadarinya. Ponsel. Sesampainya di rumah, yang menyambut Dinda bukan peluk anak atau senyum hangat suami. Tapi suara tinggi yang langsung menyambar tanpa jeda. “Kamu itu ya! Baru juga hari pertama kerja udah ceroboh! HP bisa ketinggalan! Kamu pikir HP itu cuma buat main sosmed?” Dinda tercekat. Ia mencoba menjelaskan, tapi suara suaminya lebih cepat. “Balik lagi ke kantor sekarang! Ambil HP-mu! Jangan kayak anak kecil!” Dinda hanya mengangguk, menunduk. Tak ingin memperpanjang pertengkaran. Ia tahu, jika membalas, semua bisa lebih panas. Ia pun melangkah keluar, menahan perasaan campur aduk di dadanya. Gedung kantor sudah gelap ketika Dinda tiba. Hanya ada suara jangkrik dan lampu parkir yang temaram. Ia menemui satpam yang berjaga. “Pak, maaf, semua orang udah pulang, ya?” Satpam itu mengangguk sopan. “Iya, Bu. Rapatnya juga barusan selesai. Kantor udah sepi dari setengah jam lalu.” Dinda berdiri terpaku. Hatinya mulai perih. Entah karena lelah, karena HP yang belum ketemu, atau karena ucapan suaminya yang terus menggema di kepalanya. Ia pulang dengan tangan kosong, hanya membawa perasaan sesak yang makin membengkak. --- Leon masih di ruang rapat ketika matanya tertuju pada meja kerja Dinda. Meja yang baru hari ini dipakai, tapi sudah tampak rapi. Terlalu rapi. Hanya satu benda yang tertinggal di sana. Sebuah ponsel dengan casing bunga-bunga pastel. Ia mendekat, meraih HP itu. Sempat menatap layar yang gelap, dan untuk sepersekian detik, ia bertanya-tanya: apakah ini bentuk kelalaian biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Ia menaruh HP itu ke dalam tas kerjanya. “Saya amankan dulu,” gumamnya sendiri, lebih seperti alasan untuk meyakinkan diri. Malam itu, ia membawa pulang ponsel Dinda. Bukan niat buruk, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ia sendiri tak mengerti. Di sisi lain kota, Dinda kembali ke rumahnya dengan tangan hampa. Suaminya masih duduk di ruang tamu, menunggu. “Mana HP-nya?” tanyanya datar. “Udah gak ada orang di kantor…” jawab Dinda pelan. “Aduh, Din… ya ampun kamu ini. Gimana sih? Masa HP bisa hilang. Besok-besok dompet hilang, anak hilang, kamu gak sadar!” Dinda tak menjawab. Ia tak ingin menangis, Ia hanya diam.Diam yang dalam.Diam yang menandakan bahwa hatinya perlahan menjauh,tanpa harus pergi Pertengkaran-pertengkaran kecil seperti itu seakan menjadi makanan harian dalam rumah tangganya.Dinda mulai terbiasa dengan omelan dan komentar sinis. Bahkan ketika ia diam, itu pun tetap salah.Ketika ia mencoba menjelaskan, dianggap membantah. Ketika ia menunduk, dianggap tidak menghormati. Ia hanya menemukan damai ketika memejamkan mata, atau ketika anaknya tertawa kecil karena cerita dongeng sebelum tidur. --- Pagi itu, Dinda tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Raut wajahnya letih, matanya sembab meski sudah ia tutupi dengan bedak tipis. Ia mengenakan blouse putih bersih dengan rok kerja warna krem pucat. Wangi parfum samar melayang ketika ia lewat lorong kantor yang masih sepi. Tangannya mencengkeram tas selempang erat—tidak karena berat, tapi karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Begitu masuk ke ruangannya, ia duduk di meja kerja, menunduk. Menyiapkan mental, mengatur napas. Ia baru mengangkat wajah ketika mendengar langkah kaki mendekat. Langkah yang tegap dan pelan. Tak butuh waktu lama untuk mengenali suara sepatunya. “Pagi, Dinda.” Dinda langsung berdiri. “Selamat pagi, Pak Leon.” Senyum Leon muncul. Singkat tapi hangat. Ia merogoh tas kerjanya dan mengeluarkan sesuatu yang membuat perut Dinda berdesir: ponselnya. “Ini... kamu ketinggalan kemarin. Saya amankan dulu, takut hilang.” “Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan...” Dinda menunduk. Wajahnya hangat, entah karena malu, gugup, atau karena kedekatan fisik yang mendadak terasa terlalu dekat. Jari mereka sempat bersentuhan ketika HP itu berpindah tangan. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat hati Dinda mencelos. Leon mengamati wajah Dinda. Ada guratan lelah di sana. Tapi juga ketenangan, dan keanggunan yang tak bisa dijelaskan oleh jabatan atau status. Ia sempat ingin bertanya, “Kamu baik-baik saja di rumah?” tapi bibirnya urung membuka. Terlalu pribadi. Terlalu dini. Dinda juga menyadari tatapan itu. Tatapan yang tidak seperti tatapan manajer pada bawahannya. Lebih lembut. Lebih dalam. “Saya... sempat kembali ke kantor kemarin sore, Pak,” ucap Dinda akhirnya, pelan. “Oh ya?” Leon mengernyit sedikit. “Maaf, kami semua udah keburu pulang. Saya pikir kamu juga nggak akan kembali.” Dinda tersenyum tipis. “Suami saya... menyuruh saya ambil HP-nya kemarin juga.” Leon mengangguk pelan. Ada jeda yang menggantung di antara mereka. Hening. Tapi bukan hening yang kikuk. Lebih seperti ruang kosong yang bisa diisi macam-macam rasa. “Ya sudah. Yang penting sekarang HP-nya udah balik ke tanganmu,” ujar Leon akhirnya. “Lain kali, jangan buru-buru pulang. Santai aja.” Dinda mengangguk. “Iya, Pak.” Tapi di dalam dadanya, tidak ada kata santai. Yang ada justru bergejolak. Ada sesuatu yang terasa berubah sejak kemarin. Ia berusaha menyangkal, tapi senyuman Leon yang ramah itu muncul dalam pikirannya lebih dari sekali. Ia pun kembali duduk, pura-pura sibuk membuka file di laptop. Sementara Leon melangkah pergi, tapi sempat menoleh sekali. Sekilas. Cepat. Tapi cukup untuk membuat senyum Dinda merekah sendiri, meski buru-buru ia tutupi dengan cangkir kopi. Hari itu suasana kantor lebih riuh dari biasanya. Udara dingin dari AC tidak mampu menurunkan panas obrolan para karyawan. Penyebabnya cuma satu: pengumuman bonus kinerja bulan ini. Sejak pagi, kabar tentang siapa saja yang mendapat bonus sudah tersebar seperti angin gosip, dan yang paling menarik perhatian semua orang adalah nama yang berada di puncak daftar penerima bonus terbesar: Leon. “Pak Leon nih... bonusnya gede banget bulan ini,” gumam salah satu staf marketing sambil menepuk-nepuk meja. “Wajar sih,” sambung Risa sambil mengunyah permen. “Target timnya tembus dua kali lipat. Keren juga si Pak Leon, ya... selain keren kerjanya, keren juga nyarungnya.” Tawa pecah. Beberapa staf yang sedang makan siang menoleh. Dinda duduk di antara mereka, berusaha tersenyum sekadarnya. Ia sedang memotong lontong dalam wadah makannya ketika Rio, karyawan dari tim sebelah yang memang dikenal suka bercanda asal ceplos, tiba-tiba berseru. “Pak Leon! Itu si Dinda belum dapat bonus bulan ini, tuh. Nggak mau ditraktir bakso atau apa gitu? Biar makin semangat kerja!” Semua mata langsung melirik ke arah Dinda dan Leon yang sedang berdiri di dekat dispenser. Dinda reflek menunduk, pipinya memanas. Sementara Leon, seperti biasa, tersenyum dengan santai dan menjawab dengan gaya khasnya. "Boleh asal makanya cuma berdua saja, supaya romantis." jawab Leon Tawa meledak. Beberapa orang sampai menepuk-nepuk meja. Dinda ingin lenyap dari ruangan itu. Ia ikut tertawa, tapi ada rasa canggung yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Ia bisa merasakan pipinya bersemu merah. “Jangan mau, Din!” seru Risa dari ujung ruangan sambil menunjuk Leon dengan sedotan minumannya. “Pak Leon itu laki-laki mata keranjang! Pacarnya ada di mana-mana! Di parkiran ada, di pantry ada, di grup WA apalagi!” Suara tawa makin menjadi. Leon tertawa paling keras. “Eh eh, itu fitnah loh, Bu Risa. Saya ini setia. Satu hati untuk semua wanita!” “Wah, itu bukan setia, Pak. Itu mah... setianya dibagi rata!” celetuk Rio lagi, dan kantor kembali bergemuruh oleh tawa. Dinda ikut tertawa, tapi hatinya seperti disiram air panas dan es batu sekaligus. Canggung. Grogi. Tapi juga... ada yang berdesir. Ada yang bergetar. Ia tak tahu apakah itu malu, atau karena diam-diam ia menyukai perhatian itu. Dan yang lebih membuatnya bingung, ia mulai menyadari bahwa ia tidak merasa marah. ---- Sore hari, ketika ruangan mulai sepi dan karyawan lain mulai berkemas, Leon mendekatinya lagi. Tanpa tawa, tanpa candaan kali ini. “Tadi aku bercanda aja ya, jangan diambil hati,” ujarnya sambil menyenderkan tubuh di sisi meja Dinda. Dinda tersenyum gugup. “Saya tahu, Pak... saya nggak ambil hati kok.” Leon mengangguk. “Tapi kalau kamu mau bakso beneran... bilang aja. Tapi masih tetep syaratnya ya, cuma berdua.” Dinda menunduk, wajahnya kembali panas. “Ayo, jangan serius-serius amat jadi orang. Ketawa dikit, nanti cepat tua loh,” ujar Leon, lalu melangkah pergi, meninggalkan jejak aroma parfum maskulin yang samar-samar menusuk hidung dan... hati.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.7K
bc

TERNODA

read
198.2K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
29.6K
bc

My Secret Little Wife

read
131.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook