bc

KEKASIHKU ADALAH PAMANKU

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
BE
heir/heiress
drama
bxg
bxb
serious
brilliant
campus
highschool
polygamy
naive
like
intro-logo
Blurb

Elvano, seorang remaja berusia 20 tahun, hidup sendiri, pekerja keras dan smart, tak sengaja menemukan seorang anak remaja Reiven 17 tahun yang sempat mengisi hidupnya dan dia yang membawa dia pada konflik cinta segitiga dan mengungkap dari mana dia berasal.sejarah kelam masa lalunya karena dibuang oleh Ayahnya karena intrik warisan Terbongkarnya identitas Elvano menjadikan dia bimbang dan frustasi. karena Elvano adalah paman mereka

chap-preview
Free preview
Bab 1 TAK SENGAJA MENEMUKANMU
Suara bising proyek yang sejak pagi tak henti—bunyi besi, bor, dan percikan las—akhirnya mereda satu per satu. Ia menatap bangunan yang setengah jadi di hadapannya, menandai sesuatu di buku catatan kecil yang sudah lusuh di sudutnya. “Untuk malam ini cukup,” gumamnya pelan. El menoleh ke dua bawahannya yang masih membereskan kabel di sisi barat. “Bang Jun, matikan semua sumber setelah pekerjaan closing selesai ya!!” Ucap El “Baik bos “ jawab bang jun “Pastikan isolatornya dipasang ganda, jangan asal tempel. Besok aku periksa ulang sebelum kalian pasang panelnya.” Mereka mengangguk cepat. Elvano tersenyum kecil—bukan senyum formal, tapi lebih seperti kebiasaan lembutnya yang membuat orang lain merasa dihargai. Begitu semua beres, ia melangkah keluar area proyek. Udara malam menerpa wajahnya, membawa aroma logam, tanah, dan sedikit debu. Helm ia kenakan, motor tuanya menyala pelan, dan roda mulai berputar menyusuri jalanan kota yang mulai sunyi. Lampu-lampu toko satu per satu padam, hanya menyisakan pantulan samar di aspal basah. Malam itu terasa berbeda—terlalu hening untuk ukuran kota yang biasanya ramai. Elvano tak terburu-buru pulang. Ia menikmati perjalanan lambatnya, seolah waktu sedang memberinya ruang untuk bernapas. Dalam kesunyian seperti itu, ia sering merasa damai—tak ada suara selain deru mesin, tak ada yang memintanya berpikir terlalu keras. Namun kedamaian itu mendadak retak. Ketika ia melintasi area belakang gedung kosong yang dulu sempat jadi ruko, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Di antara tumpukan kardus dan sampah plastik, ada sesosok tubuh tergeletak diam. Elvano spontan memperlambat laju motor, memicingkan mata di balik kaca helm. “...apa itu?” Ia menepi, mematikan mesin, dan menjejakkan kaki ke aspal. Begitu mendekat, udara malam terasa lebih dingin. Ada bau besi—bau darah yang samar. Dan di sana, tergeletak seorang remaja laki-laki. Tubuhnya kurus, hanya memakai celana pendek, kulit putihnya dipenuhi lebam ungu kebiruan. Wajahnya penuh goresan, bibirnya pecah, rambutnya kusut seperti habis diseret. Elvano tertegun. “Ya Tuhan...” desisnya pelan. Ia berjongkok, memeriksa napasnya. Masih ada—lemah, tapi ada. Remaja itu tampak kelelahan bahkan untuk sekadar bernapas. Bahunya naik-turun lambat, mata tertutup rapat dengan bulu mata panjang yang menempel di pipi lembabnya. Tanpa pikir panjang, Elvano melepas jaketnya dan menyelimutkan tubuh remaja itu. Kulitnya dingin—dingin sekali, seperti baru keluar dari hujan. “Halo… dengar aku?” panggilnya lembut, menepuk pelan pipi si remaja. Tak ada respon. Ia menatap sekeliling. Jalanan sepi, hanya suara jangkrik dan lampu neon yang berkelap pelan. Tak ada siapa pun yang bisa diminta tolong. Akhirnya, Elvano menarik napas dalam. “Baiklah... ikut aku dulu, ya,.” Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh ringan itu ke pelukan, mendudukkannya di depan motor, memastikan kepala remaja itu bersandar di dadanya. Perjalanan pulang kali ini terasa panjang. Angin malam menampar pelan wajah mereka, suara motor bergaung di lorong sempit kompleks yang sepi. Elvano tak tahu siapa anak itu, dari mana datangnya, atau kenapa bisa tergeletak dalam keadaan begitu mengenaskan. Tapi hatinya—yang sejak kecil terbiasa menolong siapa pun di panti asuhan—tak mampu membiarkan seseorang menderita sendirian di pinggir jalan. Rumah Elvano sederhana. Sebuah rumah tipe 21 di sebuah perumahan RSS di pinggiran kota.Hanya satu kamar tidur, dapur kecil, dan ruang depan yang ia sulap jadi tempat kerja sekaligus ruang tamu. Ia membuka pintu, membawa tubuh remaja itu masuk, dan langsung mengambil handuk serta air hangat. Perlahan, ia bersihkan luka di wajah dan bahunya, lalu mengobatinya satu per satu. Setiap kali kain basah menyentuh kulit pucat itu, Elvano menahan napas—takut menyakitinya lebih jauh. Sesekali ia berbisik tanpa sadar, seperti menenangkan seseorang dalam tidur. “Sudah… tidak apa-apa sekarang. Kamu aman.” Lampu kecil di ruang tengah menyala lembut, menerangi wajah remaja itu yang kini tampak lebih tenang. Elvano duduk di kursi, memandangi sosok asing itu lama-lama, lalu bersandar sambil menghembuskan napas berat. Ia tak tahu kenapa malam itu terasa begitu berbeda. Seakan ada sesuatu yang baru saja datang, mengusik rutinitas sunyinya, dan membawa keheningan lain—yang lebih hangat, tapi juga menakutkan. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Hujan rintik yang tadi terdengar jauh kini mulai mengetuk-ngetuk atap seng rumah kecil itu. Elvano memandang ke luar jendela sebentar, lalu kembali menoleh pada remaja yang masih terbaring di sofa. Bibir anak itu tampak kering, kulitnya pucat hampir transparan. Elvano meraih kain basah baru, menepuk pelan dahi yang mulai panas. “Demam…” gumamnya khawatir. Ia beranjak ke dapur, menyalakan kompor, memanaskan air, lalu melarutkan bubuk obat penurun panas yang tersisa di rak. Rumah itu terasa begitu sunyi—hanya suara hujan dan langkah Elvano yang sesekali bergema. Ia duduk lagi di sisi sofa, mengangkat kepala remaja itu pelan, membantu meneguk sedikit air. Sebagian menetes di dagu, tapi cukup untuk membasahi tenggorokannya. “Pelan saja…” ucapnya lembut, meski tahu anak itu belum sadar sepenuhnya. Tangan Elvano sempat berhenti di tengah gerakan. Ia memperhatikan wajah di hadapannya dengan seksama—wajah muda, lembut, dan bersih. Mungkin sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun, pikirnya. Tapi ada sesuatu pada ekspresi anak itu bahkan dalam tidur: campuran kesedihan dan ketakutan yang dalam sekali. Elvano menghela napas. “Apa yang sudah kamu alami, dek?” Suara hujan makin deras, menambah perasaan hampa di ruangan itu. Elvano memindahkan anak itu ke kamar tidur setelah membersihkan dan mengobati luka lukanya Ia mematikan lampu utama, menyisakan cahaya kecil dari sudut ruangan. Sambil duduk di kursi kayu, Elvano terus berjaga. Sekitar tengah malam, anak itu menggeliat. Tubuhnya sedikit bergetar, napasnya memburu. Elvano buru-buru mencondongkan tubuh, khawatir kalau demamnya naik lagi. Anak itu tampak berjuang di antara sadar dan tidak. Bibirnya bergerak kecil, seolah berbisik pada seseorang yang tak terlihat. “Jangan… tolong jangan pukul aku lagi…” katanya lirih. Suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat d**a Elvano mengeras. Ia spontan menggenggam tangan anak itu. “Tenang… kamu aman sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi.” Tangan itu terasa dingin, tapi perlahan mengendur, seperti percaya pada suara yang menenangkannya. Elvano tetap di sana, menggenggam tangan itu sampai akhirnya napas si remaja kembali teratur. Beberapa jam berlalu. Elvano sempat tertidur di kursi, tapi matanya kembali terbuka ketika cahaya pagi mulai menyelinap dari sela tirai. Suara burung di luar terdengar samar, bercampur aroma tanah basah setelah hujan. Ia menatap jam—pukul enam lewat sedikit. Rasanya kepala sedikit berat, tapi begitu ia melihat sosok di tempat tidur itu masih tertidur dengan napas tenang, lelahnya seperti terhapus. Ia berdiri perlahan, meregangkan badan, lalu menyiapkan bubur instan di dapur. Panci kecil beruap, dapur sempit itu terasa hangat. Sambil menunggu bubur matang, Elvano menatap kamar tidur. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu terasa tidak benar-benar sepi. Ada napas lain di sana. Ada kehadiran yang entah bagaimana membuat ruang sederhana itu terasa hidup. Ia menaruh mangkuk di meja kecil di dekat tempat tidur, lalu duduk di kursi, menyandarkan punggung ke dinding. Sesekali pandangannya terarah pada wajah remaja itu—kulit pucatnya kini sedikit berwarna, rambut hitamnya menutupi kening, bibirnya tidak lagi sekeras semalam. “Semoga kamu cepat sadar,” bisiknya pelan. “Aku masih ingin tahu siapa namamu.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
310.7K
bc

Too Late for Regret

read
289.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.0K
bc

The Lost Pack

read
402.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
147.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook