Episode 1
Enam bulan yang lalu
Pesta pernikahan itu begitu mewah, gemerlap oleh cahaya dan tawa. Di balik kilau lampu dan dekorasi keemasan, berdiri dua orang yang tampak paling bahagia malam itu. Semua orang tersenyum, bersulang, dan memberi doa terbaik. Semua… kecuali aku.
Aku duduk di kursi pojok, tempat yang nyaris terlupakan. Tak ada satu pun yang menyadari keberadaanku — termasuk mempelai laki-laki yang kini tampak celingukan, seolah menanti seseorang yang tak juga datang. Aku tahu siapa yang ia cari, dan itu membuat dadaku terasa sesak.
Mempelai wanita terlihat begitu cantik malam itu, tertawa lepas sambil menyambut tamu satu per satu. Setiap senyumnya seperti cambuk halus yang menyadarkanku: aku bukan siapa-siapa lagi.
Aku menarik napas panjang, menulis sesuatu di amplop putih yang sudah kusimpan lama. Lalu meletakkannya di meja tamu — biarlah nanti seseorang menemukannya.
Untuk terakhir kalinya, aku menatap mereka dari jauh. Senyum kecil muncul di bibirku, bukan karena ikhlas… tapi karena akhirnya aku tahu: sudah waktunya pergi.
“Happy wedding day, you are the apple of my eyes.”
Lucu memang. Tapi kalimat itu terasa seperti ejekan yang ditujukan padaku sendiri. Aku seperti tokoh utama laki-laki di film favoritku—yang hanya bisa duduk di antara tamu undangan, menyaksikan wanita yang dicintainya menikah dengan orang lain. Bedanya, kali ini aku yang menjadi tokoh itu. Aku yang melihat lelaki yang kucintai bersanding dengan wanita lain.
Dia, Mas Gilang—kakak tiriku. Lelaki yang membuatku tahu rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta masa remajaku yang tumbuh diam-diam, melewati batas yang tak seharusnya. Tapi kami tahu, sejak awal, kami takkan bisa bersatu. Status kami saja sudah cukup untuk menjadikannya dosa kecil yang harus disembunyikan.
Bertahun-tahun kami bersembunyi, menjalani cinta yang tak boleh ada. Aku pikir itu akan berakhir bahagia. Tapi dua bulan lalu, ayah tiba-tiba mengatakan bahwa Mas Gilang harus menikah dengan putri rekan bisnisnya. Saat itu aku hanya terdiam—membeku—menunggu reaksi Mas Gilang. Tapi dia menerimanya… tanpa perlawanan sedikit pun. Dan di saat itu juga, hatiku hancur.
Belakangan aku tahu, di belakangku, dia sudah bertemu wanita itu. Namanya Melisa—putri tunggal dari rekan bisnis ayah tiriku. Cantik, lembut, sempurna di mata siapa pun. Mungkin juga di mata Mas Gilang.
Setelah itu, dia terus mencoba menjelaskannya padaku. Rayuan, janji manis, alasan klise tentang pernikahan bisnis, dan permintaan maaf yang tak pernah benar-benar menenangkan. Tapi aku sudah lelah. Apa yang bisa kuharapkan dari seorang kakak tiri yang bahkan tidak bisa memperjuangkan cintanya sendiri?
Aku mengundurkan diri dari perusahaan keluarga, membawa sedikit tabungan, dan memutuskan untuk pergi. Aku tidak ingin tinggal dan terus waras dalam rumah yang penuh kenangan tentang dia.
Dan hari ini… adalah hariku pergi. Sejauh mungkin dari semua yang menyakitkan.
Selamat tinggal, Mas Gilang. Semoga bahagiamu bersama pilihanmu sepadan dengan luka yang kau tinggalkan di sini. Aku sudah tak sanggup lagi menahan diriku; yang kulihat kini bukan sekadar sakit—tapi belati yang menancap dalam.
3 bulan kemudian Setelah pernikahan
Aku benar-benar pergi dan memulai hidup baru di kota lain. Hidupku cukup tenang—setidaknya sampai tiga bulan setelahnya. Malam itu, aku dan teman-teman sedang berpesta di sebuah klub malam. Musik berdentum, lampu menari-nari di antara kabut asap dan aroma alkohol.
Aku sudah sedikit mabuk saat meraih tasku.
“Ness, mau ke mana?” tanya Lyra sambil tertawa kecil.
“Mau cari angin. Ikut gak?” sahutku, tersenyum meski kepala sedikit berat.
“Boleh deh,” jawabnya, lalu mengikutiku ke luar lorong.
Aku berdiri di sana, menyalakan sebatang rokok, menghirupnya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap perlahan.
“Ness,” panggil Lyra lagi.
Aku menoleh.
“Temanku minta dikenalin sama kamu,” katanya sambil tersenyum nakal.
“Yang mana?”
“Tristan. Cowok yang datang bareng aku tadi.”
Oh, yang tampan tapi pendiam itu. Aku mengangguk pelan.
“Mau gak? Kamu kan jomblo,” godanya.
Aku menggigit bibir, lalu tertawa kecil. Iya, jomblo. Dan setelah semua yang terjadi, mungkin aku memang butuh seseorang—atau sesuatu—untuk membuatku lupa.
“Boleh deh,” jawabku akhirnya.
Kami pun berbalik hendak masuk lagi ke dalam, tapi—
Brugh!
“Aah!” pekikku pelan, menabrak seseorang. Rasanya seperti menabrak dinding.
“Ness.”
Suara itu.
Aku terpaku. Jantungku berdetak kencang. Terlalu familiar untuk bisa salah dengar.
Aku mendongak, dan di sana—berdiri Mas Gilang.
“KNessa?” suaranya terdengar rendah tapi menusuk.
“Kenal?” tanya Lyra bingung.
Aku refleks mundur setengah langkah.
“Enggak. Enggak kenal,” sahutku cepat, menarik tangan Lyra untuk pergi.
Namun genggaman kuat menahan lenganku.
“Mas…” suaraku nyaris bergetar.
“Oh, jadi sekarang gak kenal kakak sendiri?” katanya dingin.
Lyra menatapku kaget.
“Kakak?”
“Ya. Aku kakaknya,” jawab Mas Gilang tegas.
“Maaf, Kak, aku gak tahu…” Lyra tergagap, lalu buru-buru pergi.
“Lyra! Jangan tinggalin aku!” panggilku, tapi dia sudah menghilang di kerumunan.
Mas Gilang menarikku keras keluar dari klub, menyeretku melewati lorong yang dingin menuju mobil hitam yang terparkir di depan.
Di sana ada Liam, sekretarisnya, dan Jo, bodyguard yang kukenal.
“Mas, lepasin!” bentakku sambil mencoba melepaskan tangan.
Tapi dia malah menggenggam lebih erat, hingga lenganku terasa nyeri.
Tanpa peringatan, aku dihempaskan masuk ke dalam mobil.
“Mas!” seruku.
“Bukannya tadi gak kenal?” balasnya dingin, menatapku dengan mata yang gelap dan penuh amarah.
Aku terdiam.
Aroma tubuhnya masih sama—maskulin, hangat, dan terlalu akrab. Semua kenangan yang sudah coba kulupakan mendadak menyerbu tanpa ampun.
“Mas, tolong lepaskan aku,” ucapku pelan, mendorong dadanya, tapi tubuhnya terasa seperti batu.
Dia menatapku dalam-dalam.
“Sudah puas main-mainnya, Ness?” tanyanya dingin, suaranya rendah tapi menusuk.
Aku membalas tatapannya, berusaha tetap tegar meski nadinya berdetak liar.
“Apa maksudmu, Mas?”
“ Oh, kau pura-pura lupa dengan apa yang kau lakukan?” tanyanya tajam, menatapku tanpa berkedip.
“Mas, kamu sudah menikah. Aku gak ada urusan lagi sama kamu,” ucapku tegas, berusaha terdengar tenang meski d**a terasa sesak.
Dia menyeringai pelan, senyum yang selalu berhasil membuatku marah sekaligus lemah.
“Jadi kamu masih belum bisa terima, ya?”
“Tentu! Kamu pikir aku apa?” bentakku, mendorong dadanya kuat-kuat. Entah dari mana datangnya tenaga itu, tapi kali ini dia benar-benar terdorong.
Aku duduk tegap, menatapnya dengan pandangan tajam.
Dia tertawa kecil, suaranya terdengar rendah dan menggoda.
“Mulai berani sekarang? Siapa yang ngajarin, hmm?”
Aku menahan napas, berusaha tak terpancing.
“Mas, udah deh... jangan seperti ini. Lebih baik kamu pulang aja.” suaraku melemah di akhir kalimat.
“Ya sudah, ayo pulang bersama,” tegasnya.
“Aku gak mau! Gak sudi!” teriakku di dalam mobil.
“Kness!” geramnya, matanya menatapku tajam.
Aku balas menatapnya. Kali ini aku tidak takut lagi.
Tatapannya tiba-tiba melembut. Tangannya meraih tanganku, hangat dan familiar.
“Ayo pulang sama-sama…” suaranya lirih. “Pulang, Ness.”
Aku menatapnya. Rasanya ingin menangis. Setelah mati-matian berusaha melupakannya, ternyata aku masih tidak bisa. Dan sekarang, entah apa yang membawanya ke sini hingga kami bertemu lagi.
“Aku gak mau, Mas,” ucapku, menarik tanganku dari genggamannya.
“Ness…” panggilnya lagi.
“Mas udah nikah,” kataku pelan.
“Setidaknya kita masih saudara. Kamu gak seharusnya main kabur seperti ini. Pikirkan Ibu kamu… pikirkan Ayah,” ucapnya.
Aku menatapnya, senyum getir di bibirku.
“Aku udah gak punya Ibu. Dan Ayah?” suaraku meninggi sedikit. “Dia ayah kamu, Mas. Bukan ayahku.”
Dia menatapku.
"Dan kita hanya saudara tiri."