Bab 1: Cahaya yang Kembali
Hujan sore di Bandung turun dengan lembut, membasahi halaman rumah sederhana di pinggiran kota. Di dalam, suara tawa seorang gadis remaja memecah keheningan.
“Ibu, nilai biologi aku sembilan puluh lima!” seru Icha sambil memperlihatkan lembar nilai di tangannya.
Kirana menatap anaknya dan tersenyum, meski ada kilatan rindu di balik matanya. “Pinter banget anak ibu,” katanya sambil mengusap kepala Icha. “Tapi jangan lupa makan dulu, nanti sakit perut lagi.”
Icha mendengus kecil. “Iya, Bu. Aku bukan anak kecil lagi.”
Namun nada manjanya masih sama seperti dulu.
Sudah lima tahun sejak hari itu hari di mana cahaya biru terakhir memudar bersama Radit. Lima tahun sejak Kirana bangun di taman dengan liontin yang retak di tangannya.
Ia menyimpan liontin itu di dalam kotak kayu kecil di bawah tempat tidurnya, bersama surat-surat lama dan foto-foto mereka bertiga.
Kadang, setiap malam sebelum tidur, ia masih berbicara sendiri, seolah Radit sedang duduk di sampingnya.
> “Aku udah kuat, Dit. Tapi kadang, aku masih pengen kamu jawab ‘iya’.”
Namun malam ini... sesuatu berubah.
Ketika ia membuka kotak itu untuk menaruh surat tagihan listrik, liontin itu bergetar pelan.
Bukan hanya itu cahaya biru samar kembali muncul di retakan logamnya.
Kirana terpaku.
> “...Protokol Kusuma – Sinyal ditemukan.”
Suara itu lirih, nyaris tak terdengar. Tapi Kirana mengenal suara itu.
Radit.
Tangannya gemetar. Ia memandang liontin itu seperti menatap hantu masa lalu.
“Tidak... ini nggak mungkin,” bisiknya.
---
Keesokan paginya, Kirana menemui Gio di bengkel elektronik miliknya.
Gio, yang kini tampak lebih dewasa dengan rambut beruban di pelipis, menatap liontin itu dengan alis terangkat.
“Lo yakin ini masih aktif?”
“Semalam nyala. Ada suara... Radit,” jawab Kirana pelan.
Gio menarik napas panjang. “Kir, gue udah cek server Kusuma Protocol tiga tahun lalu. Semua datanya hancur. Secara teknis, itu nggak mungkin nyala lagi.”
“Tapi gue lihat sendiri, Gio. Lo pikir gue halu?”
Gio menatapnya lama. “Gue nggak bilang lo halu. Tapi kalau itu Radit... berarti ada sesuatu yang bangkit lagi dari dalam sistem itu.”
Kirana menggenggam liontin itu erat. “Gue udah kehilangan dia sekali, Gio. Gue nggak sanggup kehilangan dia lagi.”
“Justru itu masalahnya, Kir,” ucap Gio pelan. “Kalau sistem ini aktif lagi, bukan cuma Radit yang bakal balik.”
---
Sementara itu, di sisi lain kota, seseorang menatap layar hologram besar dengan mata dingin.
Cahaya biru menari di sekitar ruangan berlapis logam.
> “Sinkronisasi subjek ‘R.Kusuma’ – 12% aktif.”
Sosok itu berjalan perlahan ke arah tabung kaca tinggi yang berisi cairan biru.
Wajahnya terlihat jelas ketika lampu redup berubah terang.
Felicia Ward.
Ia menyentuh permukaan kaca dengan ujung jarinya.
Di dalamnya samar-samar terlihat bayangan wajah Radit, setengah transparan, seperti hologram hidup yang belum sempurna.
Felicia tersenyum tipis.
> “Kamu pikir bisa mati dua kali, Radit? Tidak secepat itu.”
“Kusuma Protocol belum selesai... dan kali ini, kamu akan hidup sesuai kendaliku.”
---
Di rumah, malam datang dengan sunyi yang ganjil.
Kirana berdiri di dapur sambil menatap liontin di meja. Cahaya birunya kini berkedip pelan, seperti detak jantung.
Dari kamar, Icha memanggil, “Bu! Lampu kamar aku kedip-kedip!”
Kirana buru-buru berlari ke arah kamar Icha.
Namun begitu ia masuk, udara di dalam kamar terasa lebih dingin dan di layar tablet Icha yang sedang menyala, muncul pesan tulisan bergerak sendiri.
> “Icha... kamu dengar aku?”
Icha menatap tablet itu dengan wajah pucat. “Bu... siapa yang nulis ini?”
Kirana langsung memeluk anaknya, menatap layar dengan gemetar.
Pesan berikutnya muncul.
> “Kirana... jangan takut. Aku butuh bantuan kalian.”
Air mata Kirana langsung menetes.
“Radit...?”
“Ya Tuhan... Dit, kamu di mana?”
Layar bergetar, lalu menampilkan satu kalimat terakhir sebelum mati total.
> “Aku... di antara cahaya dan waktu.”
---
Malam itu, Kirana berdiri di halaman rumah sambil menatap langit yang dipenuhi awan gelap. Liontin di lehernya terus berdenyut, seolah memanggilnya ke arah barat ke tempat di mana dulu laboratorium Kusuma Research berdiri.
Ia tahu satu hal pasti.
Perjalanan mereka... belum berakhir.
Dan kali ini, cinta yang dulu menyelamatkan dunia akan diuji sekali lagi antara manusia, mesin, dan waktu.
---
Kalimat terakhir muncul sebagai penutup bab:
> “Cinta tak mati saat waktu berhenti. Kadang... ia hanya menunggu ditemukan lagi di antara cahaya.”
Hujan telah reda. Namun, di luar jendela kamar, kilat masih sesekali menyambar langit malam.
Kirana duduk di tepi ranjang, masih menggenggam liontin itu. Cahaya birunya kini meredup, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang aneh seolah ada detak samar di dalam logam kecil itu, seperti denyut jantung.
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin.
Wajah yang dulu penuh keyakinan kini menyimpan banyak tanya. Lima tahun ia mencoba hidup normal, menjadi ibu sekaligus wanita yang kuat. Tapi malam ini, semua ketenangan itu retak lagi.
“Kalau benar itu kamu, Dit...” bisiknya lirih. “Kenapa baru sekarang?”
Icha muncul di pintu, wajahnya masih cemas. “Bu, tablet aku tadi beneran nulis sendiri. Itu bukan aplikasi, bukan video juga. Kayak... kayak seseorang yang beneran ngomong.”
Kirana menarik napas dalam. Ia tak ingin anaknya ikut takut.
“Udah, sayang. Sekarang tidur, ya. Ibu jaga di sini.”
Icha akhirnya berbaring, tapi matanya masih terbuka lebar menatap liontin di tangan ibunya.
Sebelum benar-benar tertidur, ia berbisik, “Bu... kalau itu Ayah, jangan biarin dia pergi lagi, ya?”
Kirana tersenyum tipis dan mengusap kepala putrinya. “Ibu janji.”
Namun dalam hati, ia tahu janji itu tak akan mudah ditepati.
---
Keesokan harinya, Kirana kembali ke toko Gio membawa liontin yang kini tampak lebih aktif. Ada retakan baru di permukaannya yang menyala seperti sirkuit hidup.
“Lihat ini,” katanya cepat. “Tadi pagi muncul garis baru, kayak pola kode.”
Gio mengamati dari dekat, lalu menghubungkan liontin itu ke komputer modifikasi miliknya. Layar di depannya langsung menampilkan deretan simbol aneh dan potongan suara terdistorsi.
> [RADIT.KUSUMA // ACCESS POINT FOUND]
[PROTOKOL_AKTIF: 21%]
[KONEKSI: PARADIGM_A01]
“Paradigm A01?” gumam Gio. “Kir, itu nama proyek terakhir Radit sebelum semuanya hancur. Proyek yang dia bilang bisa... memindahkan kesadaran manusia ke bentuk digital.”
Kirana menelan ludah. “Maksud kamu... dia masih hidup di sana?”
“Kalau sistemnya masih nyala, bisa jadi sebagian memorinya tersimpan di jaringan itu.”
“Berarti aku bisa nyelam ke sana? Kayak... masuk sistem?”
Gio langsung menatapnya tajam. “Jangan gila, Kir. Ini bukan film. Kalau lo nyoba konek tanpa alat stabilizer, lo bisa kehilangan kesadaran beneran.”
“Tapi kalau itu satu-satunya cara buat nyelamatin Radit, gue harus coba.”
Gio terdiam lama sebelum menghela napas berat. “Baik. Tapi kita harus hati-hati. Kalau Kusuma Protocol aktif lagi, bukan cuma Radit yang akan bangkit. Orang lain juga bisa... muncul.”
Kirana menatap layar itu dalam-dalam, melihat jejak nama Radit bergetar seperti sedang berjuang bertahan di dalam sistem.
“Kalau dia bisa dengar aku,” bisiknya, “aku bakal datang, Dit. Tunggu aku.”
---
Malam kembali datang, kali ini tanpa hujan. Kirana duduk di ruang tamu, liontin itu kini tergantung di lehernya lagi.
Ia membuka laptop tua milik Radit yang selama ini tak pernah disentuh.
Saat ia tekan tombol daya, layar langsung menyala dan menampilkan satu pesan tunggal di tengah layar hitam.
> “Kirana... buka file bernama CahayaKembali.exe.”
Tangannya gemetar. Ia menuruti instruksi itu.
Begitu file terbuka, muncul hologram samar wajah Radit, separuh transparan, tapi senyumnya masih sama seperti dulu.
> “Kalau kamu lihat ini, berarti aku masih di sini. Tapi aku nggak tahu sampai kapan sistem ini bisa bertahan.”
“Kirana... mereka menemukan cara menyalakan ulang Kusuma Protocol. Dan Felicia... dia salah satunya.”
Kirana menatap layar itu dengan napas tertahan.
“Felicia? Maksudnya Felicia Ward? Dia yang bantu kamu dulu di proyek itu?”
Radit di hologram hanya menatapnya dengan mata sendu.
> “Dia ingin mengubah manusia menjadi data yang bisa dikontrol. Aku ingin menyelamatkan kesadaran tapi dia ingin menguasainya.”
Hologram itu mulai bergetar.
> “Kalau kamu masih percaya padaku... carilah Node Sigma. Itu pintu masuk antara dunia kita dan sistem.”
Layar berkedip, lalu gelap.
Kirana jatuh terduduk. Air matanya mengalir tanpa sadar.
Ia tahu ini bukan sekadar pesan lama. Ini adalah panggilan dari seseorang yang mungkin masih hidup di antara dunia dan kode.
---
Di luar sana, di tengah kota yang mulai tertidur, seseorang berjalan di koridor laboratorium bawah tanah. Felicia menatap layar hologram besar menampilkan data baru.
> [KIRANA – ACCESS DETECTED]
[NODE SIGMA – AKTIF 1%]
Felicia tersenyum dingin.
“Selamat datang kembali ke permainan, Kirana,” bisiknya. “Kita akan lihat, siapa yang lebih dulu menemukan cahaya.”
---
Malam semakin larut. Angin membawa aroma hujan yang belum turun.
Kirana berdiri di jendela, menatap kilatan langit di kejauhan.
Liontin itu berdenyut pelan di dadanya, seolah menjawab sesuatu yang hanya ia bisa dengar.
“Radit...” ucapnya pelan. “Aku nggak akan biarkan mereka punya kamu. Tidak lagi.”
Cahaya biru dari liontin itu kembali berkilau lembut kali ini bukan sekadar pantulan logam, tapi seperti jawaban dari seseorang di seberang cahaya.
Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun, Kirana merasa cinta mereka belum berakhir.
Hanya... berpindah tempat.
---
> “Cahaya yang dulu hilang... kini mulai menuntun pulang.”