Hari Kematian | Bab 1
Dengan gaun indah yang panjangnya sampai ke lantai itu di kenakan di tubuh mungil seorang wanita. Ia tersenyum manis tanpa tau apa yang akan ia hadapi beberapa jam kedepannya. Tamu-tamu berlagak sok kenal, menyalimi, memberi selamat, dan tertawa bersamanya.
Hingga gaun berwarna merah muda itu terkena cipratan merah darah dari lukanya sendiri. Aurora lari di lorong sepi gedung mewah itu. Peluh memenuhi dahinya, bibirnya getir menahan sendu dengan nafas yang memburu.
Ini bukan malam pertunangannya. Ini malam kematiannya.
Aurora menahan tumpahan darahnya yang terus menerus menetes ke lantai. Belati kecil masih menempel di bagian perut kananya. Senjata itu masih menancap dengan sempurna, tanpa berani ia lepas karen darahnya akan keluar semakin banyak.
Ia hanya mampu menahan, berharap seseorang akan datang menolongnya.
Luna masuk ke dalam ruangan kecil tempat Aurora bersembunyi.
"Adikku sayang~" Suara Luna yang mengayun membuatnya menggenggam tangan dengan keras. Ia menatap dendam dengan netra yang sudah berair emosi.
Aurora menatap dari celah lemari usang dengan diam. Mencoba menstabilkan nafasnya yang menderu.
Tiba-tiba laki-laki berjas putih juga masuk ke dalam ruangan itu. Sejenak Aurora berpikir kalau sosok itu akan datang membantunya. Ia hendak mendorong pintu lemari itu dan lari menuju pria yang datang.
Hingga...
"Kamu ngapain di sini?"
Aurora membeku dengan lesu. Ia menatap tak percaya pria yang ia pikir akan datang membantunya bak seorang pangeran malah menjadi alasannya putus asa.
"Acaranya udah mau mulai, kamu udah selesai siap-siap?"
Luna nampak tersenyum kecil dengan menyembunyikan tangannya yang penuh darah ke belakang. Pria itu merangkul mesra pundak Luna tanpa memikirkan perasaannya yang melihat itu dari sela-sela lemari.
Setelah melihat mereka pergi, Aurora terduduk di dalam lemari dengan perasaan tidak percaya. Kakak kembarnya yang ia sayangi malah membunuhnya di hari pertunangannya. Sementara tunangannya? Laki-laki b******k itu pergi bersama sang kakak dan dengan tega membuangnya.
Derap kaki berbunyi jelas di dalam ruangan itu. Aurora tau bahwa mereka adalah orang-orang suruhan Luna untuk membunuhnya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ia dikhianati oleh sang Kakak dan Tunangannya sendiri.
Pintu lemari terbuka dengan keras. Aurora mendongak menatap laki-laki dengan tubuh besar dan pakaian serba gelap datang mengantar kematiannya.
Wanita itu menatap dengan pasrah, membiarkan laki-laki itu menyeretnya keluar dengan kasar. Tubuhnya tebanting di tengah-tengah ruangan. Aurora menunduk menatap lantai dingin dengan tangis yang tak mampu lagi ia bendungi.
Salah satu dari mereka berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Aurora. "Saya akan memberi kematian yang tidak menyakitkan." Pria itu lalu mendekatkan mulutnya ke telinga. "Jadi jangan bersuara."
Tubuh kecil itu lalu digendong dan dibuang ke jendela. Aurora mengangkat tangannya berharap untuk keterakhir kalinya. Berharap seseorang akan datang meraih genggaman tangannya.
Tapi tak seorangpun muncul dari sana. Harapannya kembali hilang. Ia memejamkan matanya pedih hingga tubuhnya masuk ke dalam air. Suara cipratan terdengar besar dari kolam. Tapi tak ada yang peduli, semua orang sedang merayakan pesta bersama Luna dan sang tunangannya.
Kematiannya hanya akan menjadi angin lalu yang tak perlu di tangisi oleh orang banyak. Toh, posisinya akam segera di tempati oleh sang kakak. Sementara laki-laki b******n itu akan mencari perempuan lain dengan mudah.
Satu-satunya yang akan terjebak dalam pusaran dendam itu hanya dirinya, Aurora. Yang berjanji di depan dewa kematian untuk membalaskan kebencian yang ia rasakan.
Air matanya seolah bercampur dengan air kolam. Darahnya menyebar memberi semburat merah kelam di dalam sana. Tak ada yang sadar, tak ada yang peduli. Ia akan mati sendirian, dalam lautan penuh kebencian dan penolakan.
Ia tidak boleh pergi seperti ini.
Tapi terlambat, arwahnya sudah lebih dulu di genggam oleh dewa kematian. Menjemputnya dengan cahaya putih yang menyayat mata. Pandangannya kabur, kepalanya sakit, dan nafasnya sesak luar biasa.
Jadi beginilah rasanya mati.
"Woyy! Lo belum bangun yak?! Bangun nggak lo??"
Suara pintu di gedor-gedor terdengar, di ketuk keras beberapa kali. Aurora terbangun dari posisi tidurnya dengan cepat. Ia meneliti sekelilingnya.
Kondisi kamar dengan nuansa putih dan merah muda yang kalem. Juga aksesoris trend yang indah dipandang mata. Sebuah lukisan potret dirinya juga terpajang di atas sana.
Kalau ini akhirat, ia akan merasa nyaman karena kembali ke kenangan lamanya.
Senyumannya yang terpatri itu langsung memudar saat sebuah pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita lain di sana.
Luna datang dengan wajah kesalnya.
Aurora langsung menggenggam tangannya dengan erat. Menatap tajam ke arah sosok yang ada di depannya dengan netra dendam.
Kalau ini adalah akhirat, berarti ia sedang berada di neraka. Dibayangi oleh sosok pembunuhnya untuk selama-lamanya.
"Lo kok masih tidur sih? Astaga! Gue kayak mau marahin lo tau nggak, tapi nggak ada waktu!"
Luna dengan cepat mendatanginya yang masih terduduk diam di atas kasur. Tangannya dengan cepat menarik saudara kembarnya itu untuk bangun. Tapi Aurora langsung menepis tangan itu dengan cepat sambil mempertahankan netra tajamnya.
"Nggak usah sentuh gue!"
'Tak!'
Sebuah sentilan mengenai dahinya dengan cepat. Aurora mengaduh pelan, kalau ini akhirat, kenapa ia masih merasa kesakitan?
"Buruan siap-siap, dia udah dateng!" Ujar Luna dengan tegas tanpa mempermasalahkan perkataan dinginnya tadi.
Aurora menatap datar dengan kebingungan tersirat "Siapa?"
Mendengar pertanyaan adiknya itu, Luna dengan cepat tersenyum jail. "Calon suami lo udah dateng, dia lagi bicara sama Papah."
Aurora langsung terperanjat kaget. Ia bukan di akhirat ataupun neraka.
Ia kembali ke masa lalu!
Aurora bangkit dan menghampiri cermin besar yang ada di kamarnya. Memegang wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu kembali memeriksa perutnya yang sempat di tusuk dengan belati.
Luna berdecak. "Iya-iya, diet lo berhasil. Udah, sekarang lo siap-siap. Ntar cowok lo keburu balik."
Tapi Aurora tidak bergeming sedikitpun. Ia masih setia berdiri di sana sambil memandangi tubuhnya di dalam cermin.
Ini asli, tidak ada luka, tidak ada bekas darah.
Ia sungguh kembali ke kehidupan lamanya.
Aurora menatap kepergian Luna yang beranjak dari kamarnya. Ia berhasil diberi kesempatan kedua. Berhasil melewati dewa kematian dan melawan waktu.
Sekarang tugasnya hanya satu, balas dendam.