bc

MIMPI ITU, KAMU?

book_age18+
4
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
friends to lovers
boss
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
kicking
brilliant
witty
city
office/work place
love at the first sight
polygamy
like
intro-logo
Blurb

Terpaan angin sore yang kencang berulang kali menerbangkan helai-helai rambut lurus yang terurai bebas, membelai wajah gadis itu dengan dingin yang lembut. Langit barat mulai merona oranye keemasan, perlahan ditelan oleh warna kelabu yang merayap dari ufuk timur. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, namun langkahnya tetap terpaku di tempat yang sama—seolah dunia hanya menyisakan dia dan cakrawala yang semakin temaram.Burung-burung pulang ke sarang, berterbangan riuh di udara, sementara daun-daun kering beterbangan mengikuti irama angin. Nafasnya terdengar pelan namun berat, berpadu dengan desiran angin yang tak henti membelai telinga.“Sudah empat jam, lo berdiri di situ.” Suara seorang pria memecah hening, nadanya setengah heran setengah khawatir. Ia baru saja mendekat, langkahnya terhenti di samping sang gadis, pemilik rambut panjang yang masih enggan mengalihkan pandangan dari langit.“Hmmm…” Gadis itu hanya merespons singkat, nyaris tanpa intonasi, seperti kata-kata itu keluar begitu saja tanpa tenaga.“Gue yang cuma ngelihatin aja udah capek. Lo nggak capek?” tanyanya lagi, kali ini sambil sedikit mencondongkan badan, mencoba menangkap ekspresi di wajah gadis itu.“Gue suka lihat langit.” Jawaban itu sederhana, tapi terdengar tulus. Matanya tetap menatap jauh, seakan di balik awan kelabu ada sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.Pria itu tersenyum kecil, meski ada nada menyerah di ujung bibirnya. “Gue tau. Tapi bisa kan liatnya sambil duduk atau rebahan gitu…?” ujarnya sambil mencoba berkelakar, berharap mendapat sedikit tawa. Namun lawan bicaranya tetap diam, tidak menunjukkan reaksi sedikit pun.“Gak asik lo…” cibiran itu meluncur ringan, tapi ada sisa rasa penasaran yang belum terjawab di balik tatapannya. Ia pun berdiri di sana, ikut menatap langit—mencoba mengerti apa yang sebenarnya gadis itu lihat di antara warna senja yang perlahan hilang.

chap-preview
Free preview
Seo Juya.
“Rabbit!” Leon muncul dari arah pagar, tangannya penuh dengan kantong plastik. Tanpa permisi, ia sudah masuk ke rumah besar itu. Seperti biasa, langkahnya seenak sendiri, seolah rumah itu miliknya juga. “Lihat nih. Gue dateng bawa gorengan. Lo harus berterima kasih, gue nyelametin sore lo dari kesepian.” Leon menjatuhkan dirinya ke sofa ruang tamu, langsung rebahan. Juya mengangkat wajah dari novel yang sedari tadi ia baca. Senyumnya terbit tipis. “Kesepian? Lo pikir gue nggak bisa hidup sehari tanpa lo?” “Bisa sih,” Leon meraih bantal, memeluknya. “Tapi pasti boring. Makanya gue dateng.” Juya mendecak, menutup novel. “Lo tuh maling. Tiba-tiba masuk, ribut lagi. Kayak nggak punya rumah sendiri.” Leon terkekeh. “Maling hati, Rabbit.” “Ewww, jijik banget.” Juya langsung melemparkan bantal ke wajahnya. Leon menepisnya sambil tertawa puas. “Eh, tapi serius, gue mau cerita soal Vivian. Lo tau nggak, dia tiba-tiba minta putus.” Juya langsung menaikkan alis. “Pantesan lo bawa gorengan banyak. Biasanya kan kalau lo lagi galau, lo nyari gue sambil nyemil.” Leon meringis, pura-pura tersinggung. “Ih, ketahuan banget kebiasaan gue ya.” “Dari dulu kebiasaan lo emang gampang ditebak. Cuma satu yang nggak berubah.” “Apa tuh?” Juya menatapnya datar. “Lo tetep buaya.” Leon ngakak keras sampai hampir tersedak gorengan. “Astaga, Rabbit. Lo jahat banget.” Juya tersenyum kecil, lalu melipat kakinya di sofa. “Udah berapa sekarang? Indah, Raisa, Vivian. Ada lagi daftar tunggu?” “Eh, jangan lebay. Gue tuh setia, tau.” “Setia ke siapa?” Juya menyipitkan mata. “Setia ke daftar panjang pacar lo?” Leon mengangkat bahu, lalu tiba-tiba melirik rak di dekat TV. “Eh, Rabbit. Gue nggak habis pikir sama lo. Kenapa sih lo masih naro poster itu di situ?” Juya langsung menoleh ke arah yang dimaksud. Poster besar BTS terpajang manis, dengan wajah Jungkook yang jadi pusat perhatian. Senyum Juya mengembang penuh semangat. “Itu Jungkook, bias gue! Jangan macam-macam sama dia.” Leon mendengus. “Bias, bias… apaan coba. Buat gue itu cuma plastik. Gimana sih lo bisa ngefans sama orang yang bahkan nggak kenal sama lo?” “Plastik?” Juya refleks meraih bantal lain dan melemparkannya ke Leon. “Berani-beraninya lo ngata-ngatain Jungkook plastik! Astaga, Leon!” “Yah, kan bener!” Leon ngakak, melindungi wajahnya dengan tangan. “Lo tiap hari dengerin lagu mereka, tiap hari nonton Run bts tiap hari teriak-teriak sendiri di kamar. Itu tuh udah parah banget.” Juya manyun. “Lo nggak ngerti. Beda banget sama pacar-pacar lo yang cuma numpang eksis. Jungkook itu asli. Dia kerja keras, dia punya bakat, dia inspirasi gue.” Leon berdecak, pura-pura bosan. “Inspirasi apaan. Inspirasi bikin lo nggak laku kali.” Juya menepuk lengannya. “Kalau gue nggak laku, salah siapa? Salah lo, Leon! Tiap cowok yang mau deketin gue pasti langsung ilfeel gara-gara lo dateng kayak bodyguard.” Leon pura-pura bangga, menepuk d**a. “Ya iyalah, Rabbit. Gue kan sahabat lo. Gue nggak bisa asal kasih lo ke sembarang orang.” “Buaya sok jadi bodyguard.” Juya memutar bola matanya, tapi senyum kecil terbit tanpa ia sadari. Leon ikut tersenyum, menatap wajah Juya sekilas. Ada kehangatan yang tak pernah hilang, meski obrolan mereka selalu diwarnai cekcok kecil. “Lo tau nggak, Rabbit? Dari dulu gue ribet sama lo. Tapi jujur, gue nggak pernah bosen.” Juya terdiam, lalu pura-pura sibuk membuka bungkus gorengan. Dalam hatinya, ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, sesuatu yang berat. Tapi ia menahannya. Leon tidak tahu apa-apa. Tidak tentang luka lama yang Juya simpan rapat-rapat, tidak tentang trauma yang membuatnya berhenti percaya cinta, dan tentu saja… Untuk sekarang, cukup baginya mendengarkan ocehan Leon dan menahan tawa saat mereka berdebat tentang Jungkook. Karena di balik semua rahasia yang ia sembunyikan, Leon adalah satu-satunya rumah yang membuatnya merasa… tidak sendirian. 💜 Suara ketikan keyboard memenuhi ruang kerja yang dingin oleh hembusan AC. Juya duduk dengan fokus di depan layar, jemarinya lincah meneliti naskah artikel yang baru saja masuk. Di sampingnya, seorang pria dengan kemeja biru muda—Aldi—sibuk menandai kalimat yang perlu revisi. “Juya, menurut lo bagian ini udah oke belum? Gue takut kalau terlalu kaku.” Aldi menyodorkan kertas hasil editannya. Juya mengambilnya, membaca cepat, lalu tersenyum. “Bagus kok. Lo udah mulai bisa ngerasain gaya tulisan media kita. Nggak semua harus baku banget, kadang perlu lebih ringan.” Aldi menghela napas lega. “Untung partner gue lo, ya. Kalo bukan, mungkin gue udah kena semprot atasan.” Juya terkekeh pelan, lalu kembali menatap layar. Meski sibuk, ia tetap menikmati pekerjaannya sebagai editor. Baginya, menyusun kata-kata adalah cara lain untuk bernapas—pelarian dari sepi yang menemaninya di rumah. Di sisi lain kota, suasana kantor berbeda sama sekali. Ruang terbuka dengan meja-meja penuh kabel, layar komputer, dan aroma kopi instan. Leon bersandar di kursinya, memutar-mutar bolpoin sambil melirik layar monitor. “Bro, lo nggak ngerjain coding? Deadline besok,” tegur Haikal dari meja seberang. Leon melirik malas, lalu tersenyum. “Santai, Kal. Gue kerja kalau udah ada mood. Dan biasanya mood gue datang jam-jam terakhir.” “Dasar lo, Le.” Bastian ikut menimpali sambil menepuk bahunya. “Eh, by the way, hari ini lo bakal satu tim sama Vely, kan?” Seketika senyum Leon menghilang. Dimas yang sedari tadi mendengar langsung ikut bergabung. “Yah, gawat nih kalau udah nyebut nama itu.” Leon mendengus, wajahnya dingin. “Gue kerja sama siapa aja nggak masalah. Tapi kalo sama dia, jangan harap gue bakal ramah.” Ketiganya saling pandang, tahu betul alasan di balik sikap dingin Leon. Vely—dulu pernah jadi bagian dari lingkaran persahabatan mereka. Namun semuanya hancur saat ia ketahuan dekat dengan Venzo, pacar Juya waktu itu. Dari situlah hubungan Juya dan Venzo retak, dan Leon tidak pernah memaafkan. Tak lama, pintu ruang kerja terbuka. Seorang wanita dengan blouse hitam dan rambut sebahu melangkah masuk, membawa laptop. Vely. Senyumnya tipis, tapi pandangan matanya langsung tertuju pada Leon. “Leon, kita satu project lagi ya. Long time no see.” Leon hanya mengangkat alis, tidak menjawab. Suasana mendadak kaku. Dimas, Haikal, dan Bastian langsung pura-pura sibuk dengan layar masing-masing, padahal kuping mereka awas menunggu reaksi Leon. “Lo nggak akan kabur kan kayak dulu?” Vely mencoba membuka percakapan lagi. Leon mendesah, lalu menatapnya dengan sorot tajam. “Gue nggak pernah kabur. Gue cuma nggak suka kerja bareng orang yang udah ngerusak sahabat gue. Simple.” Ruangan jadi hening. Vely terdiam, bibirnya hendak membantah, tapi ia memilih menahan diri. Ia tahu, Leon tidak akan pernah mudah didekati lagi. Sementara itu, di kantor lain, Juya tiba-tiba menatap layar kosong. Ada rasa perih setiap kali mengingat nama Vely—seseorang yang pernah ia anggap sahabat, tapi berkhianat. Namun Juya belum tahu… bahwa di balik semua itu, ada cerita lain yang belum pernah sampai ke telinganya. Dan rahasia itu suatu hari akan mengguncang semuanya. 💜 Malam turun dengan tenang. Lampu-lampu jalan menyinari kompleks perumahan yang sepi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas. Di balkon kamarnya, Juya duduk santai dengan cangkir cokelat panas di tangan. Uap hangatnya naik perlahan, menenangkan setelah satu hari penuh pekerjaan. Ia menyandarkan tubuh pada kursi, memandang ke seberang jalan. Balkon rumah tetangganya, yang tak lain adalah rumah Leon, tampak gelap. Sepertinya sahabatnya itu masih belum pulang dari kantor. Biasanya, jika Leon sudah di rumah, balkon itu akan terang dengan suara musik pelan atau bayangan Leon yang mondar-mandir sambil menelpon. Juya tersenyum tipis. “Kerjaannya pasti numpuk lagi,” gumamnya pelan. Namun perhatiannya terhenti saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah Leon. Ia mencondongkan tubuh, menajamkan pandangan dari atas balkon. Dan ia tidak salah lihat—sosok perempuan berambut panjang turun dari dalam mobil. Raisa. Juya mendadak kaku. Dari dulu ia tahu satu fakta: Leon tidak pernah membawa pulang pacar-pacarnya. Tidak Indah, tidak Vivian. Tapi Raisa berbeda. Entah kenapa, perempuan itu selalu berani datang sendiri ke rumah Leon. Juya tetap diam, hanya memperhatikan dari kejauhan. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan seorang gadis kecil muncul—Kena, adik Leon. Dari ekspresi wajahnya, Juya bisa menebak jelas bahwa Kena tidak nyaman melihat Raisa berdiri di depan pintu. “Leon masih di kantor,” suara Kena terdengar samar dari kejauhan. “Aku ada janji belajar sama Kak Juya, jadi maaf ya, Kak Raisa, aku nggak bisa nemenin.” Juya hampir tersedak cokelatnya sendiri. Ia tahu Kena baru saja berbohong demi menyingkirkan Raisa. Anak itu memang selalu blak-blakan, dan dari dulu tidak pernah benar-benar suka pada pacar-pacar Leon. Tapi khusus Raisa, ketidaksukaan itu jauh lebih kentara. Raisa menahan senyum, namun jelas terlihat ketidakpuasan di wajahnya. Tatapannya sempat terangkat ke arah balkon Juya, membuat Juya buru-buru menunduk. Hatinya terasa hangat sekaligus aneh. Sejak lama ia tahu, Raisa tidak pernah menyukainya. Raisa menganggap Juya sebagai penghalang—dinding besar yang selalu membuat Leon lebih memilih sahabatnya ketimbang pacarnya sendiri. Dan mungkin, dalam hati kecilnya, Raisa tidak salah. Juya menarik napas dalam, lalu kembali meneguk cokelat panasnya. Dari atas balkon, ia hanya bisa menjadi penonton dari drama kecil yang berulang kali terjadi di hidup Leon. Tapi ia tidak pernah sekalipun mengomentari, apalagi ikut campur. Sebab di balik tawa dan kebiasaan mereka yang seperti keluarga, ada satu batas yang tidak pernah ia lewati: Juya hanyalah sahabat. Atau setidaknya, ia terus meyakinkan dirinya begitu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.0K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.6K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
30.9K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
50.9K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.7K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook