Another One

1811 Words
Agatha menempelkan handphone-nya yang berdering ke telinganya. Ia menunggu sejenak sampai suara dering itu berubah menjadi suara helaan napas orang diujung lain. "Hi, Kay. Aku hari ini mau jalan-jalan dengan temanku." Katanya. "Oh, yaudah. Lo mau bawa bodyguard?" "Gak usah. Rame kok." Kata Agatha berbohong. Kay berdehem, "Lo ijin sama Isaac juga gih." "Oh, ok." Kata Agatha sebelum mengakhiri panggilan. Gadis itu melihat sekeliling kelasnya yang sudah sepi selagi menunggu nada dering berubah menjadi suara seseorang. Pada dering yang ketiga, Agatha segera kembali memusatkan perhatiannya ke teleponnya. "Halo, Isaac?" Sapa Agatha. Isaac berdehem. "Uh.. aku boleh jalan bareng temen gak ya?" "Gak boleh." Jawab Isaac dengan cepat. Agatha kedengaran mengeluarkan 'uh' yang panjang sampai Isaac terkekeh. "Ya, boleh kok." Kata pria itu lagi. "Kalau mau beli sesuatu pakai kartu kredit yang aku kasih aja." Kata pria itu lagi. "Aku masih ada duit kok di akunku." "Duit kamu pakai pas aku udah bangkrut aja. Tapi berarti gak bakal pernah dipake dong," kata Isaac sambil tertawa. Agatha berdehem sambil tersenyum kecil. "Kamu mau dijemput nanti?" Tanya Isaac. "Tidak perlu. Teman aku bawa mobil." Jawab Agatha. Isaac berdehem, mengiyakan sambil menunggu kata-kata lain dari Agatha. "Ada lagi?" Tanya Isaac. Agatha berpikir sebentar lalu menidakkan pertanyaan itu. "Ya udah kalau gitu. Hati-hati." Kata Isaac sebelum Agatha mengakhiri panggilan itu. Lucas masuk ke kelas Agatha sambil menyeret tasnya di lantai, menyapu debu di lantai itu bak sapu. Tipikal Lucas, batin Agatha. Gadis itu segera berdiri dan menyelempang sebelah selempang tas ranselnya. Pria itu mendekap pinggang gadis itu lalu mencium puncak kepalanya dengan sayang. Membuat Agatha teras sedikit lebih nyaman. "Kamu mau kemana dulu hm?" Tanya Lucas. "Ayo makan." Kata Agatha sambil melepaskan dekapan Lucas. Pria itu mengernyitkan dahinya dan kembali mencengkeram pinggang Agatha. "Kenapa?" Tanya Lucas. "Nanti ada orang yang liat, Lucas." Kata Agatha sambil mendorong tangan Lucas menjauh. Tapi pria itu kembali mengcengkeram pinggang Agatha, malahan dia berani meremas p****t Agatha. Gadis itu memekik lalu mengadah menoleh kepada wajah Lucas yang menatapnya dengan wajah serius. "Kamu 'kan memang milikku. Biar semua orang tahu." Kata Lucas sambil mendorong tubuh Agatha untuk mulai berjalan. Agatha kembali mengatupkan bibirnya. Setengah dirinya suka disebut milik pria itu. Tapi setengah lagi ingin meronta, berkata kalau Agatha seharusnya milik Isaac. Tapi gadis itu dirundung rasa takut. Dia takut Lucas marah, dia takut dipukul, dia takut disiksa. Ia belum pernah diperlakukan buruk oleh pria ini. Tapi Lucas kelihatan seperti pria yang berani melakukan itu padanya. Meski pria itu selalu berkata kalau Agatha seharusnya tenang, karena Lucas tidak akan pernah tega untuk menyakitinya. Tapi Agatha hanya takut. "Aku mau mampir ke markas dulu," Kata Lucas ketika mereka sudah berada di mobil. Rona wajah Agatha segera memudar ketika mendengar keinginan Lucas itu. "A.. Aku di mobil saja ya." Minta Agatha. "Hm? Masuk aja dulu. Kamu 'kan udah kenal." Agatha menggeleng. "Aku lagi gak mau ketemu orang." Lucas menatap Agatha sekilas lalu mengangguk sambil memajukan bibir bawahnya. "Yah, terserah sih." "Aku gak bakal lama. Tunggu ya." Kata Lucas sambil membuka pintu mobilnya. Agatha tersenyum sekilas lalu kembali menghadap kedepan, menatap markas yang dimaksud Lucas itu. Sebuah gedung penyimpanan yang sudah terbengkalai. Tempat ini milik ayah Lucas, seharusnya gudang untuk komestik atau sesuatu, Agatha juga tidak yakin untuk apa seharusnya gudang itu. Tapi entah karena apa gedung itu jadi tidak dipakai bersama semua gedung lain di komplek itu. Lucas kemudian memakai komplek itu sebagai markas untuk dia dan anak gengnya. Hanya satu hal yang Agatha yang suka dari tempat itu. Komplek itu berada di pinggir laut. Agatha keluar dari mobil untuk merasakan wajahnya diterpa semilir angin asin. Ia berjalan menuju ujung komplek itu. Mendaratkan tangannya di pagar jaring yang membatasinya dengan deburan ombak. "Agatha?" Panggil sebuah suara. Bukan suara Isaac, bukan suara Lucas juga. Tapi hati Agatha rasanya tenggelam dibawa ombak laut di hadapannya itu. Ia tidak suka asal suara itu. "Halo, Benjamin." Sapa Agatha sambil menoleh kepada pria yang memanggilnya tadi. Benjamin berdiri tidak jauh darinya, bersama sekelompok laki-laki lainnya. Pria itu mendengus terkekeh. Ia tersenyum miring sambil membuang rokok yang ada di tangannya. "Hei, sudah lama ya." Kata Benjamin sambil mendekati Agatha. Gadis itu segera waspada dan mundur selangkah ketika Benjamin mengambil selangkah ke depannya. "Aku kesini bersama Lucas." Kata Agatha sambil merasakan pagar jaring di belakangnya. Benjamin tersenyum miring sambil berdecak. "Terus? Apa hubungannya?" Kata Benjamin sambil terus mendekati Agatha yang mulai dirundung rasa gugupnya. "Kau kenapa?" Bisik Benjamin ketika ia cukup dekat dengan Agatha. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Tapi dadanya sudah terlanjur sesak. Wajahnya pun sudah memucat. Dunia seperti gempa di matanya sekarang. Benjamin hampir menyentuh pipi Agatha dengan tangannya sebelum Lucas muncul dari belakangnya dan menepis tangan Benjamin. "Mau apa lo sama cewek gue?" Lucas mendelik kepada Benjamin yang sedikit kaget dengan kemunculan Lucas. Agatha segera bersembunyi di belakang Lucas sedangkan Benjamin hanya kembali tersenyum miring. "Cewekmu kok yang memanggilku." Itu tidak benar. "Gue yakin lo yang datang sendirian." Lucas segera merangkul Agatha lalu menggiringnya kembali ke mobil. "Kamu 'kan tadi bilangnya nunggu di mobil." Bisik Lucas sambil mereka berjalan ke mobilnya. "Iya, aku cuma mau lihat laut." "Yaudah kamu balik ke mobil dulu. Kunci pintunya sampai aku balik ya." Kata Lucas sambil membukakan pintu kepada Agatha. "Um.. kalian mau ngapain?" Tanya Agatha sebelum ia masuk. Lucas hanya tersenyum. "Masalah anak geng, sayang." Kata Lucas sambil mendorong kepala Agatha dengan lembut supaya ia masuk ke mobil. Agatha tidak mengerti arti 'masalah anak geng'. Tapi tiap kali gadis itu protes dengan organisasi yang Lucas bangun itu, pria itu hanya akan membuat Agatha diam dengan menyetubuhinya. Jadi Agatha akhirnya diam sendiri. Mata Agatha mengikuti gerak-gerik Lucas dan Benjamin yang berjalan ke dalam gudang itu. Benjamin menoleh kearah Agatha yang terhenyak lalu tersrnyum kepada gadis di dalam mobil itu. Agatha bergedik ngeri melihat senyum Benjamin yang janggal. Tapi kemudian perhatiannya berpindah ke handphone-nya yang berdering. Panggilan dari Isaac "Halo, Agatha?" "Ya, Isaac?" "Kamu sedang apa?" Agatha mengernyitkan dahinya. Tapi kemudian segera menjawab Isaac. "Aku sedang menunggu temanku di mobil." Katanya. "Kalian mau makan kemana? Biar aku pesankan tempat saja, sekalian tagihannya dikirim ke aku." "Enggak usah. Kamu 'kan udah ngasih kartu." "Oh, iya ya. Yaudah deh. Kamu kalo ada apa-apa telepon ke aku. Kay lagi bad mood." Agatha terkekeh lalu mengiyakan dan mengakhiri koneksi telepon. Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Ia menghela napasnya berat sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Baru sekarang terasa lelahnya meladeni orang-orang ini. Ia rasanya ingin melarikan diri dari masalahnya di kota ini. Kemana saja. Asalkan ia bisa sendiri dengan pikirannya. Lucas kembali ke dalam mobil sambil membawa sekantung sesuatu. Agatha menoleh kepada pria yang ikut menoleh kepadanya. Lucas kemudian mendekatkan wajahnha dan mengecup pelipis Agatha. "Jadi. Apa kamu sudah memikirkan jawabanmu?" Kini Lucas dan Agatha sudah ada di restoran cepat saji di Central Point. Agatha menoleh kepadanya sambil mengunyah burgernya. "Jawaban untuk?" "Pertanyaanku tadi pagi." Agatha segera menghela napas. Pria ini tidak sabaran. Agatha setidaknya perlu seminggu untuk menyesapi pertanyaan itu. Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil kembali menggigit makanannya. Lucas berdecak. "Oh, ayolah. Kamu selama ini mempertanyakan hal yang sama 'kan? Aku sudah menjawabnya. Sekarang aku bertanya, kenapa kamu tidak bisa menjawabnya?" Uh, entahlah. Mungkin karena kau juga sangat lama menjawab pertanyaanku. Tapi Agatha hanya tersenyum manis. Dia malas berdebat dia hanya ingin pulang. Ah, tidak juga. Pulang pun dia akan bertemu Isaac yang kemungkinan ingin membuat gadis itu mengerang kesakitan. Orang-orang ini melelahkan. "Aku bisa mengantarmu pulang." Kata Lucas sambil membuang sampah makanan mereka di tempat yang disediakan restoran. Agatha menggeleng. "Aku bisa sendiri. Kamu duluan aja." Katanya sambil mengeluarkan ponselnya dan mulai berjalan. "Kau mau kemana?" "Aku mau lihat-lihat dulu." "Aku ikut aja." Kata Lucas sambil sedikit mempercepat langkahnya untuk mengejar Agatha. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Kata Agatha sambil tersenyum. Lucas mengernyitkan dahinya kepada Agatha. Tidak biasanya gadis itu ingin melakukan semuanya sendirian. Dulu sebelum ia ke Jepang, Agatha akan selalu meneleponnya untuk memintanya menemani gadis itu pergi entah kemana. Awalnya Lucas suka gadisnya jadi manja hanya padanya. Tapi semakin lama ia semakin kelelahan. Karena itu pula ia memilih untuk sedikit menjauh dari Agatha. Sekadar bernapas lega tanpa gadis itu. Lucas merasa sepertinya Agatha sadar dengan apa yang dilakukannya. Mungkin saat ini gadis itu hanya ingin bersikap lebih dewasa dari sebelumnya karena sadar Lucas lelah dengannya yang terus manja. "Kamu yakin?" Tanya Lucas sambil menarik lengan Agatha. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum simpul. Lucas menaikkan kedua alisnya. Entah mengapa ia suka Agatha yang ingin mandiri seperti ini. Yah, ia masih suka Agatha yang manja. Pria itu mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan empat lembar uang Rp 100 000,- lalu menyodorkannya kepada Agatha. "Kamu mau nitip sesuatu?" Tanya Agatha. Lucas menggeleng, "Uang jajanmu." "Aku punya uang." Jawab Agatha. Tapi Lucas bukannya mengembalikan uangnya itu ke dompetnya dan malah mengeluarkan dua lembar lagi dari dompetnya, kembali menyodorkannya kepada Agatha yang kini mengernyitkan dahinya. "Aku tidak butuh, Luke." Katanya sambil mendorong tangan Lucas yang disodorkan ke arahnya. Lucas terdiam sejenak tapi kembali menyodorkan tangannya lagi ke Agatha sambil menganggukkan kepalanya. Agatha kembali menggeleng. Tapi Lucas segera mendekatkan tubuhnya dan memasukkan uang itu ke saku baju Agatha. Jari pria itu masuk terlalu dalam dan menekan p******a Agatha sedikit dari saku itu. Agatha berdehem sambil menahan tangan Lucas yang nakal. "Kamu terima saja, sayang. Aku tidak suka kalau kamu menolak." Kata Lucas sambil meremas p******a Agatha yang sebelah lagi terang-terangan. Agatha memalingkan wajahnya yang memerah sambil berdehem dan mendorong tubuh Lucas. "Nanti ada yang lihat, Lucas." Protesnya. Lucas hanya terkekeh sambil mencium kening Agatha lalu menyingkirkan tangannya. "Besok aku jemput ya." Kata Lucas. "Aku tidak sekolah besok." "Hah? Kau berencana sakit besok?" Tanya Lucas sedikit sarkas. Agatha hanya menggeleng sambil tersenyum. "Aku ada urusan keluarga." "Berapa lama kamu berencana gak sekolah, sayang?" "Kenapa kamu perlu tahu?" "Iya, biar aku tahu berapa lama juga aku tidak perlu ke sekolah." Agatha terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. "Kau harus sekolah meski aku tidak, Lucas." "Apa gunanya? 'Kan aku ke sekolah karena kamu ke sekolah. Jadi berapa lama kamu berencana tidak sekolah?" "Entah. Seminggu mungkin." Kata Agatha sambil menggedikkan bahunya. Lucas manggut-manggut sambil memperbaiki posisi baju Agatha yang sedikit terangkat karena kelakuannya tadi. "Oke. Aku tidak perlu sekolah selama seminggu. Kalau gitu aku duluan ya. Kamu yakin bisa sendirian nih?" Tanya Lucas yang kini berlagak seperti induk yang hendak membiarkan anaknya yang selama ini berada di bawah naungan sayapnya kini harus menghadapi pahitnya kehidupan sendirian. Agatha mengangguk sambil tersenyum simpul. Lucas ikut tersenyum, merasa sedikit bangga pada Agatha, kemudian berlalu pergi, sesekali menoleh kepada Agatha yang menunggunya untuk menjauh. Agatha kembali menghela napasnya sambil mengusap kepalanya yang terasa sedikit berat hari itu. Ia benar-benar lelah menghadapi pria-pria b******k ini tanpa berteriak kepada mereka. Agatha menelepon Isaac yang sedari tadi mengiriminya pesan. "Halo, Isaac?" Sapa Agatha ketika bunyi dering berhenti. "Akhirnya kau meneleponku!" Kata Isaac, "Oke, kau perlu dijemput 'kan? Kamu dimana? Biar aku kesana." Kata Isaac. Agatha terkekeh kecil sambil melihat sekelilingnya. Langit sudah gelap. Hari sudah malam. "Aku di Central Point." "Oke, aku kesana, ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD