Daddy's House

1573 Words
Agatha terjaga karena sinar matahari yang menyengat kulitnya. Matanya mengerjap beberapa kali sampai penglihatannya yang samar-samar sepenuhnya fokus. Gadis itu bangkit dan melihat suasana kamar yang berbeda. Wallpaper hijau dan jauh lebih sempit dari kamar sebelumnya. Agatha teringat dengan kesepakatannya dengan Isaac semalam setelah ia mandi. Isaac memang setengah mabuk ketika ia mendengarkan Agatha. Tapi gadis itu yakin Isaac paham kata-kata yang meluncur dari mulut Agatha. "Jadi kamu mau kamar terpisah?" Tanya Isaac. Agatha mengangguk takut-takut. Isaac menghela napasnya sambil menyandarkan kepalanya di sofa. "Kamar ini kurang nyaman? Aku bisa ganti barang-barang yang kamu gak suka." Kata Isaac sambil berjalan cepat dan menangkap kedua lengan Agatha. Gadis itu memalingkan wajahnya sambil mencoba untuk menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. "Bu.. Bukan furniturnya masalahnya." "Jadi apa masalahnya?" Tanya Isaac sedikit kesal. Kamu. Masalahnya itu kamu. "A.. Aku perlu waktu sendiri juga." Jawab Agatha. Isaac kembali menghela napasnya. Apasih susahnya memberikan Agatha kamar terpisah? Kalau bisa pun Agatha akan meminta rumah terpisah darinya. Toh Isaac punya kendali utama di rumah yang juga miliknya ini. Agatha hanya tidak ingin tidur bersebelahan dengan pria yang baru dikenalnya. Itu saja. Apalagi dengan pria yang baru saja membelinya dari ayahnya. "Lihat aku," kata Isaac sambil mendekatkan wajahnya kepada Agatha. Gadis itu perlahan menoleh kepada Isaac yang kelihatan sangat lelah dengan dua kantong mata yang sedikit hitam menghiasi kedua mata hijaunya. Agatha tidak menyadarinya karena ia pun belum pernah menatap wajah pria itu sedekat dan sejelas ini. "Kenapa kamu perlu kamar terpisah?" Ulang Isaac lagi, seperti tidak yakin dengan alasan Agatha tadi. "A.. Aku butuh waktu sen-" "Kenapa kamu perlu kamar terpisah, Agatha?" Potong Isaac tidak sabaran karena setiap Agatha berbicara ia mencicit seperti hamster. Agatha menelan ludah, merasakan kedua tangan Isaac mencengkeram lengan atas Agatha semakin kuat. Apalagi alasan yang bisa ia katakan supaya pria ini percaya? Ia tidak mempersiapkan diri untuk skenario ini. Tapi apa susahnya sih? Isaac menghela napas. Ia kelihatan frustasi bagi Agatha. "Oke, oke, oke." Kata Isaac. "Aku akan minta mbak untuk ngerapihin kamar sebelah." Kata Isaac sambil memijit batang hidungnya. Pria itu berdecak lalu meninggalkan Agatha yang berdiri sendirian di tengah kamar besar itu. Ia sekarang sudah kehilangan kata-kata. Apa dia salah? Tidak. Dia hanya meminta kamar terpisah. Itu saja. Lalu kenapa Isaac begitu gusar? Toh dia hanya perlu mengunjungi Isaac ketika pria itu membutuhkannya lalu setelah semua tugasnya selesai, ia bisa kembali ke kamarnya. "Kamu marah?" Tanya Agatha, menghampiri Isaac yang duduk di bangku balkon lantai dua dengan segelas alkohol. Lagi-lagi alkohol. Isaac menghela napasnya berat lalu kembali bermaksud menenggak habis alkoholnya, tapi Agatha menahan tangan Isaac dan meraih gelasnya. "Kamu marah?" Ulangnya lagi sambil memeluk lengan kekar Isaac. Gadis ini tahu cara meluluhkan hati orang, pikir Isaac, dan ia berhasil. Isaac mendaratkan kepalanya diatas kepala Agatha dan mencium puncak kepala gadis itu. "Kenapa kamu perlu kamar terpisah, Agatha?" Agatha mendongak untuk menatap wajah Isaac, "bahkan seorang raja tidak akan tidur dengan selir kesayangannya." Isaac mengernyitkan dahinya. "Aku bukan seorang raja." Katanya. "Dan kamu bukan seorang selir." "Kau tidak lihat dinasti bisnismu? Perusahaanmu adalah kerajaanmu, Isaac. Dan aku menandatangani kontrak untuk berada disini. Bukankah itu sama saja seperti selir?" Tanya Agatha. Isaac kembali menghela napas. Ia kira Agatha sudah melupakan bagaimana ia bisa berada disini. Karena kontrak, atau keserakahan ayahnya atau apalah. Pria itu kira Agatha sudah sukarela untuk berada disini dan mungkin mulai merasa nyaman. Tapi ternyata tidak. "Baiklah. Iya, iya." Kata Isaac sambil mengelus kepala Agatha. "Kamu bisa pilih kamar mana saja yang kamu mau. Ok?" "Ok." Agatha kembali ke kenyaataannya ketika mendengar suara ketukan pintu yang kecil. "Iya." Jawabnya. Kepala Isaac menyembul dari balik pintu. Ia sudah memakai baju jasnya. Agatha menghela napas lalu berdiri dan melepaskan celana dalamnya, seakan sadar dengan maksud kedatangan Isaac. Isaac tertegun melihat tingkah laku Agatha yang seperti sudah menghapal kebiasaannya. "Tidak, tidak. Aku kesini cuma mau menyapamu." Kata Isaac. Agatha terdiam sebentar lalu merasakan dekapan lembut dari Isaac yang sudah harum cologne. "Selamat pagi," sapanya. Pria itu mengharumi leher jenjang Agatha sambil mempererat dekapannya. "Iya, pagi." Sebenarnya Isaac kekurangan apa? Pikir Agatha. "Um, Isaac?" "Ya?" "Apakah aku bisa mampir ke rumah ayahku dulu hari ini?" Tanya Agatha. Hari ini sekolah libur. Ada rapat guru atau apalah, Agatha tidak ingat, intinya hari ini sekolah libur. "Kau mau apa kesana?" Tanya Isaac sambil memundurkan kepalanya untuk melihat wajah Agatha. "Oh, um.. Ada beberapa hal yang ingin kuambil disana." "Apa hal-hal itu tidak bisa diganti saja? Kamu bisa beli yang lebih mahal kalau mau. Aku bisa mengurusnya." "Ti..Tidak. Sayangnya, tidak. Barang yang mau kuambil itu peninggalan ibuku." Isaac tertegun sejenak lalu mengangguk-angguk. "Bawa Kay bersamamu." Katanya singkat. "Tapi 'kan hanya ke rumah ayahku." Kata Agatha. "Kemanapun itu. Bawa keamanan bersamamu. Sudah banyak yang tahu tentang posisimu di rumahku." Agatha tertegun sejenak melihat tatapan serius Isaac. Pria ini tidak main-main. Ia tidak tahu seberapa banyak orang yang sebenarnya ingin menjatuhkan Isaac, tapi Agatha tahu semua orang akan bermain kotor kalau itu soal uang dan kekuasaan. Isaac memiliki keduanya. Lalu sekarang ia memiliki Agatha, wanita. Yang bisa saja menjadi kekuatan, tapi titik lemah yang Isaac khawatirkan juga. "Baiklah." kata Agatha. Tapi Agatha sudah berangkat dan sudah berdiri di pintu depan rumah ayahnya yang megah. Ia pergi sendirian, tentunya. Agatha lelah dikelilingi pesuruh Isaac. Ia lelah dikelilingi orang-orang yang tidak dikenalnya, yang menanyakannya kebutuhannya yang lain yang bisa mereka penuhi. Agatha mengangkat tangannya yang terkepal bermaksud mengetuk ketika mendengar suara kunci yang terbuka dari dalam. Seorang wanita; ibu tiri Agatha, membuka pintu dengan tergesa-gesa. Wajahnya kaget, tapi senyum merekah di wajahnya. "Agatha," katanya, mulai terisak. Merengkuh Agatha masuk ke dalam semerbak vanilla yang ringan. "A.. Aku mengkhawatirkanmu. Apa kamu baik-baik saja, sayang? Apa dia memperlakukanmu baik?" Tanya wanita itu sambil meneliti setiap inci wajah putri tirinya. Agatha segera menepis tangan wanita itu. Ia segera kembali mengumpulkan dirinya yang sedikit berserakan di sekitar Agatha lalu tersenyum. Mungkin kembali teringat posisinya yang tidak signifikan untuk Agatha. "Kamu pulang, sayang?" Tanya wanita itu. "Apa kamu akan menginap disini?" Untuk pertimbangan awal Agatha, ia sebenarnya ingin menginap di rumahnya dulu untuk beberapa saat. Tapi sekarang ini ia milik Isaac. Properti Isaac. Gadis itu harus tahu apa pendapat Isaac. Ia harus patuh. Ya 'kan? Ia harus patuh. Ah, bodo amat. "Ya." Kata Agatha. "Aku akan menginap." Wanita itu tersenyum. Agatha lupa siapa sebenarnya nama wanita di hadapannya ini. Ia cuma mendengar namanya disebutkan dua kali. Itu terjadi ketika ayahnya memperkenalkan wanita itu kepada Agatha pertama kali dan yang kedua kali ketika mereka membacakan akad nikah di panggung. Miracle? Sepertinya Miracle. Kenapa namanya bagus sekali? Agatha mencibir dalam hati. Agatha melewati Miracle, mempersilakan dirinya sendiri masuk. "Apa kamu sudah makan? Mau aku minta dimasakkan Bi Inna sesuatu?" Miracle mengikuti Agatha ke tangga berputar yang berada di tengah lobi rumahnya. "Ya, terserah." Kata Agatha. Miracle tersenyum lembut lalu berlalu pergi ke dapur. Miracle sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang lain. Tapi ia tidak berani. Karena ia juga tidak ingin mendapati dirinya telah membuat Agatha yang baru pulang tidak nyaman. Ia ingin setidaknya memiliki sedikit dari perhatian Agatha. Ia ingin bisa duduk di taman, makan es krim dan bersenda gurau dengan Agatha. Ia ingin mendengar curhatan masa SMA Agatha di ruang tamu yang terasa dingin karena tidak pernah ditempati. Semua permintaannya itu tulus, tapi Agatha memang orang yang sulit. Ia masih belum bisa meneriman Miracle. Mungkin karena ia belum bisa menemukan ketulusan Miracle. Miracle sadar kalau dirinya tidak bisa menggantikan posisi ibu kandung Agatha di hati gadis itu. Tapi selangkah demi selangkah, pikirnya. Ia tidak perlu tergesa-gesa. Agatha masuk ke kamarnya lalu meletakkan tas kecilnya di bangku meja belajarnya. Tidak ada yang berbeda, pikirnya ketika melihat sekelilingnya. Apa Miracle meminta Bi Inna membersihkannya secara berkala? Karena ia yakin seharusnya ada bau kayu yang menyengat kalau kamarnya tidak ditempati untuk waktu yang lama. Agatha segera berjalan menuju walk-in closetnya dan meraih sebuah kotak hijau lumut yang ia sembunyikan di balik deretan sepatunya. Senyum merekah di wajahnya ketika melihat tumpukan foto yang familiar di matanya. Guru bahasa Agatha dulu pernah mengatakan sesuatu yang secara tak sadar Agatha ingat dengan baik. Ia mungkin tetap tidak bisa menganilisis unsur intrinsik teks, tapi setiap hal-hal kecil yang sebenarnha tidak terlalu penting untuk nilai akademiknya melekat di kepala gadis itu. Ada perasaan tersendiri ketika kita menemukan serpihan kenangan lama. Perasaan yang hangat untuk hati kita yang beku karena dunia. Perasaan yang melelehkan tembok es kita untuk sejenak. Sebuah pelarian sederhana. Tapi cukup untuk menghentikan ambisi kita yang melelahkan. Agatha selalu merasa kalau guru bahasanya itu delusional. Tapi kata-kata itu selalu terngiang di otaknya. Mungkin dia ada benarnya pikir Agatha. Waktu terasa berhenti ketika Agatha melihat lembar demi lembar kenangan yang tertinggal akan ibu Agatha. "Agatha?" Kata sebuah suara dari arah kamar tidur Agatha. Gadis itu cepat-cepat memasukkan kembali semua kenangan berharga ibunha itu lalu berdiri dan keluar dari ruang gantinya. Miracle datang masuk bersama sepiring nasi, ayam goreng, sambal dan lalapan. Di tangannya yang satu lagi ia memegang jus jeruk yang baru diperas. "Em, aku rasa kamu lebih suka makan di kamar." Kata Miracle malu-malu. Agatha menerima makanannya lalu meletakkannya di meja belajarnya. "Dimana ayah?" "Oh, Mark sudah berangkat ke kantor tadi. Apa kamu mau ngomong dengannya?" "Tidak, aku cuma bertanya." Miracle mengangguk lalu tersenyum. Ia menatap Agatha diam, begitupula dengan Agatha. "Ada yang mau kau katakan?" Tanya Agatha ketika sadar Miracle tak kelihatan berencana pergi. "Oh, em..itu.. Tidak." Kata Miracle lalu pamit pergi. Agatha mengernyit pada wanita aneh itu sejenak lalu kembali menoleh kepada nasi yang ada di meja belajarnya. "Kayaknya enak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD