Turmoil

1777 Words
Miracle menutup pintu kamar Agatha lalu berjalan menuju tangga berputar yang menuju lobi. Ia resah. "Ada apa, nyonya?" Tanya seseorang yang berpakaian jas yang menunggu di ruang tamu. Petugas keamanan yang dipekerjakan Tuan Markus untuk Miracle. Miracle mendelik kearahnya lalu kembali menggigit kuku ibu jarinya, ia sedang berpikir. "Agatha pulang," katanya. "Lalu?" Tanya pria itu. Miracle memijit kepalanya yang berdenyut. Ia terpikirkan banyak hal kalau melihat wajah Agatha. "Anthony, aku harus bagaimana? Dia disini. Sekarang." Kata Miracle. Anthony menatap nyonya-nya yang kelihatan resah. Mungkin lebih ke antusias, tapi perasaan positif itu tidak bisa mendominasi keraguan hati Miracle untuk melakukan sesuatu. Anthony sering mendengar cerita kerasahan dan keraguan Miracle. Wanita itu ingin dekat dengan putri angkatnya, tapi ia tidak tahu bagaimana. "Mungkin Anda hanya perlu berbicara dengannya." Kata Anthony singkat. Ia benar-benar tidak mengerti dunia keluarga Agatha. Ia masih lajang, dan tidak ada rencana menikah sama sekali. Miracle menggeleng lalu menghela napas lelah. "Aku ngomong apa sih. Dia pasti tidak mau ngomong samaku. " kata Miracle. Miracle kadang-kadang mengutuk dirinya yang datang dari kelas lebih rendah daripada Markus. Ia mencintai pria itu, begitupula sebaliknya. Tapi cinta saja tidak cukup di dunia ini. Cinta bukanlah alasan yang kuat yang bisa membuat orang-orang berhenti membuat mereka menjadi bahan omongan. Cinta juga bukan alasan yang cukup bagi Agatha untuk memercayai Miracle ketika gadis itu pun sudah melalui terlalu banyak hal sampai ia sendiri sudah merasa asing dengan rumah ayahnya ini. "Nyonya," panggil seseorang lembut. Miracle menoleh kepada gadis pelayan rumah itu. "Nona Agatha mencari nyonya." Katanya. Kedua mata Miracle membulat. Begitupula dengan Anthony. Miracle menoleh kepada Anthony dengan tatapaan penuh harap. Seakan ia berkata 'Bisakah? Inikah kesempatan yang diberikan semesta untukku?' Anthony mengangguk. Memberikan dukungan tersiratnya kepada Miracle untuk mengambil kesempatan ini. Miracle menelan ludahnya lalu berdehem dan memperbaiki rambutnya. Entah untuk apa, tapi dia merasa dia harus kelihatan layak untuk bertemu kembali dengan Agatha. "Agatha, sayang?" Sapanya dari balik pintu kamar. Agatha menoleh kepada Miracle, tidak ada kata-kata keluar dari mulut gadis itu. "Kamu memanggilku?" Tanya Miracle. "Ya," jawab Agatha singkat. "Ada apa?" Miracle menutup pintu di belakangnya. Ia sedikit berharap kalau Agatha ingin menceritakan sesuatu tentang Tuan Isaac. Segelintir pengakuan tindak kekerasan dari Agatha sudah cukup untuk membuat Miracle mengadu kepada suaminya. Agatha terdiam sejenak lalu kembali menatap kertas-kertas yang ada di pangkuannya. "Aku ingin ke salon." Kata Agatha singkat. Miracle memukul jidatnya di dalam hati. Tuan Isaac tidak merawatnya? Kenapa seorang tuan putri seperti Agatha harus meminta dulu meski hanya untuk pergi ke salon? Pikirnya. "I.. Iya. Aku akan segera memanggil pak Sapra." "Kamu mau ikut?" Tanya Agatha. Miracle menganga mendengar ajakan Agatha. Agatha? Menginginkannya ikut? Apa ini mimpi? "Ya! Tentu! Um.. Ehem.. maksudku. Ya.. Tentu.." Kata Miracle yang berusaha menyembunyikan perasaan antusiasnya. Ia segera keluar dari kamar Agatha dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia berdiri sejenak disana. Jantungnya memacu karena perasaan antusiasnya. Agatha mengajaknya keluar. Jalan-jalan. Seperti teman. Mungkin kalau Miracle beruntung, seperti anak dan ibu. Miracle berlari kecil kegirangan. Ia turun dan bertemu dengan Anthony yang hendak naik ke lantai dua. "Dia mengajakku ke salon!" Pekik Miracle sambil mengitari Anthony lalu kembali berlari menuju bagian belakang rumah, tempat Pak Sapra, supir Miracle, biasanya minum kopi sambil membaca koran. "Pak! Agatha minta ke salon! Ayo, buruan!" Kata Miracle sambil melambaikan tangannya. Pak Sapra segera berdiri, ikut kegirangan bersama Miracle. Karena ia pun tahu hubungan Miracle dan Agatha yang tegang sejak Miracle pertama kali datang ke rumah Markus. "Eh? Eh! Iya, non, iya bentar saya habisin kopi dulu!" Kata Pak Sapra sambil mengangkat cangkirnya, ikut berlari ke dalam rumah. Miracle bergegas pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Beberapa pelayan kelihatan kebingungan dengan tingkah laku nyonya mereka yang kegirangan seperti anak kecil. Tapi Miracle tidak memedulikan tatapan mereka. Ia menginginkan kesempatan ini. Miracle cepat-cepat mengganti gaun malamnya dengan gaun biru tua selutut berbahan velvet yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu dari toko yang berani ia masuki karena kartu kredit hitam Markus. Wanita itu segera meraih sepatu heels hitam berujung lancipnya dan segera berlari keluar. Tapi ia kembali masuk ke kamar karena ia lupa mengambil tas dan dompetnya. Agatha menunggu di bawah di sebelah Anthony yang sedang sibuk dengan handphone-nya. "Ayo," ajak Miracle sambil meraih tangan Agatha. Senyum lebar merekah di wajah wanita itu. Ia senang. Senang sekali malahan. "Kamu kelihatan senang," kata Agatha ketika Miracle masuk ke dalam mobil masih dengan senyum sumringahnya. "Tentu saja. Ini hangout pertama kita." Katanya. "Oh, bagaimana kalau setelah dari salon kita makna dessert di Deux Doux, lalu..-" Agatha menatap Miracle yang kelihatan antusias untuk merencanakan jalan-jalan pertama mereka. Ia merasa sedikit santai ketika mendengar ide-ide yang bisa dilakukan untuk menghabiskan siang itu. Agatha tidak tahu di suatu tempat yang lain, Isaac telah sadar kalau Agatha pergi ke rumah ayahnya sendirian. Ia menatap petugas keamanannya yang menunduk, takut untuk menatap wajah Isaac karena mereka tahu mereka baru saja berbuat kesalahan. Demi pulang cepat untuk bertemu dengan Agatha, Isaac sampai membatalkan beberapa rapat yang akan dihadirinya hari itu. Pria itu memijit batang hidungnya lalu menuangkan alkohol ke gelas kristalnya. Hari ini adalah hari ulang tahun Agatha. Kay baru menelusuri beberapa berkas akta lahir Agatha dan baru menyadarinya juga. Isaac sangat yakin Agatha minta pergi ke rumah ayahnya hari ini karena hari ini memang hari spesial untuknya. Tapi kenapa dia harus pergi tanpa membawa satupun petugas sih? Bikin sakit kepala saja. Agatha bisa saja bertemu seseorang yang ingin menyakitinya. Apalagi dengan tubuh indahnya itu, bisa saja ada pria m***m yang ingin menyentuh Agatha. Isaac tidak suka kemungkinan seperti itu; mau sekecil apapun. "Kasi tau gue, sialan! Ngeselin banget sih lu semua!" Kay mengumpat pada seseorang di ujung lain teleponnya. Isaac menoleh kepadanya dengan matanya yang memerah. Bukan karena menahan tangis, tapi ia baru saja memelototi lantai karena amarahnya yang memuncak. Isaac ingin kembali menenggak alkoholnya tapi gelasnya sudah kosong dan ia harus menuang lagi. "Gitu, dong, sialan! Kesel banget gue. Makasih, bego!" Kay memutuskan hubungan dan menoleh kepada Isaac, mengangguk; mengonfirmasi bahwa Agatha memang pergi ke rumah ayahnya. "Dimana dia sekarang?" Tanya Isaac. "Kata si Anthony dia lagi jalan-jalan bareng mamanya di Central Point." Mendengar itu, Isaac meletakkan gelasnya lalu segera berdiri. "Gue nyusul dia dulu. Lo balik aja ke kantor." Katanya. Kay mengangguk lalu melambaikan tangannya kepada supir yang menunggu di depan pintu, memberi aba-aba untuk memperhatikan ke arah mereka. "Lo tolong dulu sekalian urus masalah lahan apartemen bareng Christian, ribet banget orang-orangnya." Kay berdecak, "Gue gak suka banget kerja bareng dia, sial." "Masa lo masih dendam kesumat sama dia?" "Gue gak dendam. Gue cuma gak suka kerja bareng dia. Bedain." Kata Kay sambil berjalan melalui Isaac, menepuk pundak pria itu. "Titip salam sama maminya Agatha." *** Agatha duduk di sofa, tepatnya di dalam toko baju yang ia datangi bersama Miracle. Gadis itu sudah selesai membeli baju sedangkan Miracle masih mengepas beberapa baju lagi, jadi Agatha menunggu di luar. Gadis itu mengeluarkan handphone pemberian Isaac dari tas kecilnya lalu menekan tombol power lama guna menghidupkan benda itu. Hari itu adalah hari yang menyenangkan baginya. Ia tidak pernah bicara sebanyak itu dengan Miracle dan ternyata wanita itu lumayan seru juga. Agatha menatap dirinya di cermin sambil perlahan mulai tenggelam dalam pikirannya. Tapi mata gadis itu segera membulat ketika melihat bayangan seorang pria berjas dengan iring-iringan yang dikenalnya sedang celingak-celinguk di luar sana. Isaac sedang disini. Gadis itu juga bisa merasakan handphone yang ada di pangkuannya bergetar. Ada nama Isaac tertera di layar. Sial. Apa pria itu sedang mencari Agatha? Isaac kelihatan sedang meletakkan handphone-nya di telinga sambil menoleh kesana kemari, sedikit mengundang kegaduhan orang-orang di sekitarnya yang mempertanyakan siapa Isaac ini. Tapi pandangan pria itu segera berhenti ketika matanya mendarat kepada wanita yang berada di dalam salah satu toko. Rahangnya kelihatan mengeras selagi ia berjalan cepat menuju Agatha. Gadis itu berdiri sambil mempersiapkan mentalnya untuk dibentak, dimarahi dan mungkin dipukul. Ia tidak tahu apa Isaac berani melakukan itu kepadanya, tapi karena ketidaktahuannya itu, Agatha menjadi paranoid sendiri. Isaac berhenti di hadapan Agatha sambil mematikan handphone dan memasukkan benda itu ke kantong celananya. Ia diam sejenak lalu mengangkat tangannya. Agatha segera berpaling, bersiap-siap untuk menerima tamparan. Tapi Isaac malah menyibakkan rambut Agatha ke belakang. "Kamu gak kepanasan?" Tanyanya. Agatha segera membuka matanya untuk melihat Isaac yang kelihatan khawatir. Dan ia yakin pria itu bukan khawatir kalau dia sedang kepanasan. Disaat seperti itu Miracle keluar dari dalam kamar ganti. Pandangannya mendarat kepada Agatha yang mungil dikelilingi oleh pria-pria berjas hitam dan berbadan tinggi. Wanita itu segera berlari kearah Agatha dan menepis tangan Isaac dengan geram. "Mau apa kamu bawa-bawa garda nasionalmu kesini, hah?" Miracle mendelik kearah Isaac yang kelihatan sedikit kaget karena tangannya ditepis. Baru kali ini tangannya ditepis. "Tau tempat, tuan. Kau mau menganiaya Agatha dilihat orang-orang ini?" Tanya Miracle. "Tu.. Tunggu, Miracle.-" Agatha segera disela oleh tangan Miracle yang mengisyaratkan dirinya untuk menunggu sampai Miracle selesai. "Aku tahu aku tidak bisa berpendapat, tapi kau bahkan tidak merawat Agatha. Pria macam apa kau ini?" "Apa?" Isaac mengernyitkan dahinya. Pria itu segera menoleh kanan kirinya yang mulai berdesas-desus. "Dengarkan aku, lady. Sekarang ini kau sedang salah paham. Jadi tolong minggir dulu, aku mau berbicara dengan pacarku." "Pacar? Pacar kau bilang?" Desis Miracle. "Kau gila? Mulut kotormu itu bisa menyebut Agatha pacarmu? Kau gila?" "Tolonglah, lady. Kau ini berlagak sekali. Kau juga dibanding aku tidak ada apa-apanya." "Hah! Gila ya. Wah, gila kamu. Kamu belum pernah ngerasain tinju di mulutmu ya?" "Miracle, Isaac." panggil Agatha dengan tegas. Miracle dan Isaac yang menggebu-gebu segera menoleh kepada Agatha yang kelihatan tidak senang dengan tingkah laku mereka berdua. "Cukup." Katanya. Rahang Isaac kembali mengeras lalu pria itu segera meraih semua tas kertas yang ada di sekeliling Agatha. "Kita pulang." Kata Isaac dingin. Pria itu segera mencengkeram pergelangan tangan Agatha dengan keras dan menariknya bak sapi. Agatha sempat menoleh kepada Miracle yang masih mengumpat seperti orang gila pada petugs keamanan Isaac yang menghadangnya untuk mengikut. Gadis itu meringis ketika merasakan cengkeraman Isaac semakin keras. "Isaac, sakit.." cicitnya. Tapi Isaac tidak mendengarkan. Pria itu membukakan pintu ke kursi penumpang di sebelah pengemudi lalu menarik tubuh Agatha supaya segera masuk lalu membanting pintu mobilnya. Pria itu segera menyeberang dan duduk di belakang kemudi. Nafasnya sedikit tersengal-sengal, dari amarah dan cara jalannya yang tadi tergesa-gesa itu. "Isaac," panggil Agatha. "Apalagi? Hah? Kau mau apalagi?" Geram Isaac. Agatha segera ciut mendengar suara Isaac yang gaung dan menggelegar di dalam mobil. "Kau tidak bisa mengacuhkan semua yang kukatakan begitu saja, sialan." Desisnya. "Aku hanya mau ke rumah ayahku saja." "Ya! Dan ada satu juta kemungkinan kalau ayah sialanmu itu akan menahanmu untuk kembali kepadaku! Kau tau itu 'kan? Kau mau terjadinya seperti itu 'kan?" "A..Ap-" "Jangan main-main denganku, Agatha! Aku bisa marah juga." Isaac menarik rem tangan dan mulai menjalankan mobilnya dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD