Space

1549 Words
Isaac mengunyah Soufflé yang dimasak Agatha. Tidak buruk. Pikirnya. Tapi tidak sesempurna yang dibuatkan koki pribadinya. Isaac terkekeh dalam hati, berarti dia tidak perlu menikahi Agatha, 'kan? "Enak." Kata Isaac sambil tersenyum simpul. Agatha hanya menatapnya lalu berbalik dan menuangkan segelas jus jeruk dan menyodorkannya kepada Isaac. "Jus jeruk bagus untuk kesehatan." Kata Agatha. Isaac tersenyum lagi sambil menenggak jusnya sedikit. Agatha hanya duduk diam di seberang meja sambil memainkan jari jemarinya. Ia sedang menunggu Isaac sampai ia selesai lalu mungkin akan mmenelepon teman-temannya, entahlah. Ia tidak lapar, itu yang sekarang ia yakini. "Kamu tidak makan?" Tanya Isaac. Agatha menggeleng lalu kembali memainkan jari-jemarinya. Isaac tertegun melihat Agatha yang sibuk dengan dunianya sendiri. "Agatha." Panggilnya. Agatha menoleh sesegera mungkin. "Aku membelikanmu sesuatu." Kata Isaac ssmbil tersenyum dan meraih sebuah kertas karton berwarna putih dengan tulisan font yang tebal, VS. "Terima kasih," kata Agatha sambil membuka tas karton itu. Ia mendapati sebuah lingerie dan pakaian dalam baru. Semuanya berwarna cerah dan warna tipikal untuk suasana sensual. Agatha sebenarnya sudah tidak berharap lagi. Isaac tentu hanya melihatnya seharga p*****r bayarannya. Ia sedikit merasa bodog sekarang karena memperlakukan Isaac terlalu baik. Ia lelah sekali rasanya. "Pakai itu sekarang disini." Perintah Isaac. Agatha mendongak kepada Isaac yang menunggunga dengan gelas jus jeruk menempel di bibirnya. Kedua matanya yang tajam menyorot kearah Agatha yang menelan ludah. Ia ingin menolak. "Bi.. Bisakah kita melakukannya di kamar saja?" Tanya Agatha. Ia mencuri pandang kearah lorong kemana Wendy tadi pergi bersama sekeranjang cucian. "Disini." Kata Isaac. Agatha mengerjap beberapa kali. Ia benar-benar harus melakukannya. Agatha mulai membuka kancing bajunya perlahan sambil sesekali mencuri pandang kepada Isaac yang menunggu dengan sabar. Tapi Isaac berdiri dan kemudian menarik Agatha menuju ruang tamu gelap. Cahaya rembulan yang menelusup dari jendela besar dengan pemandangan kolam renang hanya satu-satunya sumber cahaya untuk mereka berdua. Agatha merasa benar-benar tidak nyaman. Ia sudah bertemu dengan semua pegawai Isaac selama sebulan tinggal disitu. Mereka semua tinggal di rumah kecil di ujung taman. Kaca jendela di rumah ini pun transparan dan orang-orang diluar bisa melihat ke dalam dan begitu pula sebaliknya. "Isaac, tidak bisakah kita melakukannya di kamar?" Pinta Agatha sekali lagi. Tapi Isaac melepaskan genggaman tangannnya ketika Agatha sudah berdiri di atas karpet bulu sedangkan pria itu memposisikan dirinya untuk duduk dengan nyaman di sofa panjangnya. Ia menatap Agatha sambil melonggarkan ikatan dasinya. Agatha terdiam di hadapannya sambil ikut menatapnya juga. "Kita tidak sedang lomba tatap-tatapan." Kata Isaac sambil tersenyum miring. Agatha menghela napasnya perlahan lalu mulai kembali membuka kancing baju putihnya. "Perlahan," kata Isaac, "aku mau melihat semuanya." Agatha tidak bisa melakukan hal lain selain menurutinya. Ia membuka kancing, resleting dan kaitan pada pakaiannya dengan perlahan. Ia menoleh kepada Isaac yang balik menoleh kepadanya. "Aku malu." Kata Agatha ketika ia berdiri dengan celana dalam dan branya. "Kenapa?" Tanya Isaac. Agatha menggeleng. Enggan memberitahunya. Karena Isaac hanya akan menyangkalnya saja, ia tahu. Ia mengerti polanya. "Lepas pakaian dalammu." Perintah Isaac sejenak setelah itu. Agatha melepas kaitan branya, lalu menutup payudaranya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menjatuhkan bra itu di lantai. Selanjutnya Agatha melepaskan celana dalamnya. Lalu refleks menutup bagian intimnya dengan tangan kanannya. Isaac kelihatan tidak senang dengan refleks Agatha. Pria itu menatapnya tajam tanpa berkata apapun. Rahangnya mengeras. "Untuk apa kau menutup d**a dan selangkanganmu?" Tanya Isaac. Agatha membuka mulutnya ingin berbicara, ketika melihat Wendy muncul dari lorong dengan keranjang di tangannya. Gadis itu kaget, tapi ia diam mematung. "Pakai lingeriemu," kata Isaac. Agatha menahan sesak yang membuncah di dadanya. Ia ingin menangis meraung-raung. Ia sudah sepenuhnya menjadi jalang. Bahkan sebelum hari itu. Tapi ia tidak siap untuk diperlakukan seperti ini. Lagi. Kedua penglihatan Agatha berkunang-kunang. Perasaannya memenuhi sekujur tubuhnya, ia seakan ditarik kembali ke dalam jalur memorinya yang lampau. Sekujur tubuhnya merinding. Ia melihat sekelabat memori di hadapannya. Wajahnya memucat. Isaac pun bisa melihatnya. Tapi Agatha kembali menenggelamkan perasaannya. Ia kuat. Ia harus kuat. Gadis itu memakaikan lingerie yang transparan itu di tubuhnya lalu kembali menoleh kepada Isaac. Inilah yang pria ini mau. Memperlakukan Agatha sebagai benda pameran. Agatha diam. Isaac pun sama. Agatha menoleh kepada Wendy yang masih berdiri di posisi yang sama. Kelihatan takjub kepada Agatha, mungkin karena tubuhnya yang indah, atau mungkin karena gayanya yang sensual. Tapi apapun alasan yang dimiliki Wendy, semakin ia menatap Agatha semakin Agatha merasa tidak nyaman. Wendy menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan pergi. Isaac mendengar suara pintu dibuka dan ditutup, namun fokusnya kembali kepada Agatha. Gadis itu benar-benar merasa jijik dengan dirinya sendiri sekarang.  "Isaac, kumohon," kata Agatha sekali lagi. "Bisakah kita melakukannya di kamar?" Isaac berdiri dan mendekatkan tubuhnya dengan Agatha. Bau cologne Isaac menyengat hidung Agatha begitu pria itu membenamkan wajahnya di pundak Agatha. Isaac tidak mendengarkan permintaan Agatha dengan baik. Ia tidak peduli. Ia ingin melakukannya dimana saja dengan Agatha dan ia sudah tidak peduli apa mau perempuan ini. Isaac meremas p****t Agatha sambil mencium setiap inci leher Agatha. Gadis itu memekik ketika Isaac membuka lebar kedua bantalan yang dimiliki Agatha dibawah sana lalu memukulnya. Isaac mengangkat kedua tangan Agatha supaya melingkar di lehernya selagi pria itu terus menciumi leher Agatha dengan ganas. Agatha mendesah ketika Isaac mulai menghisap lehernya dengan kencang. Isaac mengangkat kedua kaki Agatha dan melingkarkannya di badannya sendiri, mengunci Agatha untuk bergelantung pada tubuhnya. Agatha merasakan kedua tangan Isaac kini meraba daerah intimnya. Menusuk dan mengelus lubang Agatha yang sudah basah. Isaac mendudukkan Agatha di meja di ujung koridornya. Seluruh rumah itu kini hanya diterangi cahaya rembulan yang sangat terang malam itu. Hanya lampu dapur yang hidup, tapi ruangan itu jauh dari mereka berdua sekarang. "Isaac," desah Agatha. Isaac berhenti menjilat dan menghisap leher Agatha lalu membuka paha Agatha lebar. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Agatha mengira benda itu adalah kondom. Tapi gadis itu segera yakin kalau benda yang dikeluarkan Isaac itu bukan untuknya. Tapi untuk gadis itu. Isaac memasukkan dua jarinya ke dalam v****a Agatha pelan, untuk mempersiapkan Agatha dengan sesuatu yang ingin dimasukkannya. "A.. Apa itu?" Agatha berusaha melihat kebawah, tepatnya ke tangan kanan Isaac yang beristirahat di pintu liangnya. Isaac mencium bibirnya pelan lalu mengunci mata Agatha kepada miliknya ketika pria itu memasukkan vibrator berbentuk pil ke dalam Agatha tanpa aba-aba. Pria itu menaikkan kecepatan benda itu dengan perlahan. Ia selalu ingin menggunakan benda itu pada pelacurnya. Tapi setiap kali mereka melihat Isaac mengeluarkan benda itu dari lacinya, mereka segera mendorong Isaac. Tidak dengan Agatha. "Kau tidak mau mendorongku?" Tanya Isaac. Agatha menoleh kepada kedua atensi berbinar Isaac. Ia menelan ludahnya, tak berani menjawab. Tentu ia ingin mendorong Isaac. Tapi sesuatu di dalam dirinya menginginkan Isaac untuk menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Isaac tersenyum lalu mengecup kening Agatha. Ia menaikkan kecepatan vibrator itu ke maksimal. Agatha menggelinjang. Mengejan keras ketika ia bisa merasakan getaran kencang datang dari benda kecil itu. "Ahnn Isaac, jangannh uhh.. disinihh.." Isaac mendekap tubuh Agatha. Agatha balas mendekap tubuh Isaac. Pria itu tersenyum ketika merasakan Agatha meremas kemejanya. "Kau suka?" Tanya Isaac. Agatha menggeleng dengan wajahnya yang seperti penuh ekstasi itu. "Kau suka berbohong." Kata Isaac sambil membelai puncak kepala Agatha. Agatha mengerang, menekan kepalanya ke d**a Isaac ketika ia mendapatkan o*****e pertamanya. Kakinya mengambang lurus di udara ketika jari jarinya meringkuk ke dalam. "Isaac," desah Agatha, "Kumohon jangan disini." Isaac menatap Agatha dalam-dalam, lalu melepas kemeja bajunya. Ia tahu ada yanh sedang menonton mereka. Dan malah karena itulah ia tidak mendengarkan permintaan Agatha. "Aku maunya disini." Bisik Isaac. Pria itu menghentakkan miliknya yang sudah tegang kedalam Agatha. Gadis itu mengerang kesakitan. Ini bukan sekali dua kali memang, tapi punya Isaac sekarang ini terasa jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Isaac bisa mendengar pekikan tertahan dari ujung ruangan lainnya. Ia semakin yakin ada yang sedang menguping mereka. Wendy menontonnya. Ia bersembunyi di balik dinding sambil menutup mulutnya. Ia sesekali bergidik kaget ketika mendengar erangan-erangan sensual Agatha menggema dari ujung ruangan. Gadis itu menekan tubuhnya ke dinding sambil mendengar dan sesekali menoleh kepada tuan dan nyonyanya. Gadis itu terduduk disana. Kakinya gemetaran dan ada perasaan di dadanya yang membuncah. Gadis itu bisa merasakan tubuhnya merespon pada erangan-erangan itu. Ia bisa merasakan miliknya basah dibawah sana, tapi ia hanya menutup mulutnya saja. Ia tidak berani bergerak juga. Isaac menghentak keras ke dalam Agatha ketika mencapai orgasmenya. Pria itu mencium bibir Agatha dengan keras selama sisa orgasmenya ada. Pria itu tersenyum puas ketika bibirnya pun tersengal-sengal. Tapi ia segera membuka matanya ketija mendengar isakan tangis. "Kau.. brengsek." Cicit Agatha. Ada sesuatu di dalam diri Isaac yang terasa tenggelam. Pria itu mengusup bibirnya sejenak, lalu menyisir rambut Agatha sejenak. Ia melepaskan miliknya dari milik Agatha, mengambil tisu di sebelahnya dan membersihkan milik Agatha. Pria itu melepaskan baju kemejanya dan memakaikannya kepada Agatha. Gadis itu tidak berhenti menangis. Tapi ia terlalu lemah untuk memukul atau memberontak Isaac. Pria itu menggendong Agatha dan bergerak kearah kamarnya. Dalam isakannya, Agatha mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengatakan sesuatu. Sesuatu yang selalu ia inginkan. "Aku ingin kamar sendiri." Katanya, masih terisak dan berantakan. Isaac meletakkan Agatha perlahan di tempat tidur lalu menoleh ke wajah gadis itu sambil mengernyitkan dahi. "Tapi kau bilang apa?" "Aku mau kamar sendiri." Kata Agatha. Isaac mengernyitkan dahinya semakin keras. "Kenapa kau mau kamar sendiri?" Tanyanya. "Apa karena barang-barang disini? Aku bisa minta di dekor ulang." Kata Isaac sambil mengedarkan pandangannya. Bukan. Pikir Agatha. Bukan. Agatha menoleh kepada Isaac yang kelihatan khawatir. Apa yang dia khawatirkan? Pikir Agatha. Kenapa dengan wajah itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD