Agatha Cooks

1932 Words
Agatha segera menelepon Kay saat bel pulang berbunyi. Ia perlu penjelasan. Rumor apa yang disebarkan tim Isaac di sekolahnya? Semua orang jadi heboh, 'kan jadinya. Agatha menunggu Kay menjawab. Pria otu mengangkat setelah bunyi dering ketiga. "Ya, Agatha?" Sapa Kay. "Lo perlu dijemput?" "Um.. Bulan madu, Kay? Apa maksudnya itu?" Kata Agatha sambil menarik tasnya dan menyeretnya sambil berjalan di koridor yang mulai sepi. "Oh bukan ide gue itu, mbak." Jawab Kay enteng. "Seru pasti tadi lo diomongin satu sekolah, 'kan?" Kay terdengar tertawa. Agatha berdecak. "Lo perlu dijemput gak sih? Gue kok gak dijawab." "Kamu sekarang sama Isaac gak?" Tanya Agatha. Kini malah Kay yang berdecak. "Dia udah berangkat tadi ada urusan mendadak. Proyek dia berulah lagi." Agatha mengernyitkan dahinya. "Lo mau nanya ke dia soal rumor itu? Silahkan aja. Kalo lo nyari mati." "Jadi lo perlu di jemput gak sih, neng?" *** Isaac mengusap alis matanya sambil membaca dokumen di hadapannya untuk kali kelima. "Chris, kau bilang kau sudah mengurus ini." Katanya sambil menoleh kepada Christian, pengacara perusahaan sekaligus orang terpercayanya. "Aku sudah melakukan semua usaha. Tapi penghuni gedung itu bersikeras untuk tinggal. Pemilik gedungnya sudah bersedia untuk menjual gedung itu. Tapi tidak ada gunanya kesediaan dia itu kalau penghuninya masih ada." Isaac menyenderkan tubuhnya ke kursi besarnya sambil menghela napas berat. Karena masalah inilah Isaac berangkat ke kota ini. Tanah di sekitar gedung itu sudah dibeli perusahaannya. Ia berencana untuk mendirikan kondominium mewah di daerah itu. Apapun yang dikatakan Isaac atau utusannya tidak akan bisa meluluhkan orang-orang ini. Meski tawarannya menggiurkan pun utusannya sama sekali tidak bisa mendapatkan kata setuju dari mereka. Jadi dia yakin hanya ada satu cara untuk membuat mereka pergi. Cara yang kotor, tapi ia yakin orang-orang itu akan segera pergi. "Lakukan rencana kedua." Kata Isaac. Christian menelan ludahnya. Ia tahu Isaac suatu waktu akan memberikab perintah itu kepadanya, tapi ia selalu berharap akan kemungkinan kalau Isaac tidak perlu memintanya melakukan itu. "Aku harus kembali besok. Aku tidak bisa berlama-lama disini. Kalau kau punya laporan kirim saja lewat e-mail." Kata Isaac lagi sambil menutup dokumen yang dibacanya. Christian menerima kembali dokumen yang diberikan sekretaris Isaac kepadanya. Pria itu berjalan menuju meja yang ada di dekat dinding penuh dengan lukisan indah dipajang dari ujung ke ujung. Pria itu menuangkan dirinya segelas whiskey dan kembali ke tempat duduknya. Isaac terlalu sering melakukan ini. Ketika tertekan ia akan menuangkan dirinya alkohol untuk membuat dirinya lebih tenang. Ia selalu berencana hanya untuk meminum segelas saja, tapi kemudian ia hanya akan terbangun tengah malam dan merasakan sakit kepala yang teramat sangat karena ia tak sengaja menghabiskan sebotol penuh alkohol yang dimilikinya. Isaac menoleh kepada handphone-nya yang berdering singkat. Sebuah pesan masuk. Kontak tidak dikenal. 'Halo, tuan. Ini kontakku. Kita belum pernah chat. Agatha. Kay memintaku untuk mengontakmu.' Isaac tersenyum sambil menenggak habis alkoholnya lalu kembali ke layar handphone-nya dan mulai mengetik. 'Bagaimana harimu?' Tapi kemudian Isaac segera menghapus kalimat itu dan memilih untuk menelepon Agatha. Gadis itu mengangkat setelah bunyi tunggu pertama. "Selamat siang, tuan." Sapa Agatha. Isaac tersenyum miring sambil mengibaskan tangannya kepada sekretarisnya untuk meninggalkannya sendiri dulu. Wanita itu menurut dan pergi keluar. "Bagaimana harimu, Agatha?" "Baik, tuan. Bagaiman dengan hari tuan?" Hati Isaac mendarat di tempat yang tidak nyaman ketika terus mendengar Agatha terus menyebutnya dengan panggilan seakan ia majikan gadis itu. "Panggil Isaac saja. Aku tidak suka dipanggil tuan terus." "Baik, Isaac. Bagaimana dengan harimu?" Ulang Agatha bersama dengan koreksi Isaac. "Sekarang sudah baikan, setelah mendengar suaramu." Agatha sedikit terkekeh dengan gombalan Isaac itu lalu berdehem. "Apa Anda sudah makan?" Tanya Agatha basa-basi. Sudah, tapi aku inginnya memakanmu, "Sudah. Aku sudah makan?" "Belum. Tapi aku rencananya mau ke toko kue di ujung jalan dulu. Kata temanku disana ada koleksi shortbread yang enak. Terus aku juga ingin beli nasi di warung Mbak Tatik, katanya enak banget tapi baru buka. Tapi kayaknya aku ke Mbak Tatik dulu soalnya katanya sering cepat habis, teru..- ah, maaf." Isaac tersenyum ketika mendengar Agatha yang tiba-tiba malah menjelaskan tentang makanan dan rencana makan siangnya seakan Isaac adalah guru Bahasa Indonesia di sekolah yang bertanya bagaimana liburan Agatha. Isaac terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya."Ma.. Maaf. Aku malah jelasin panjang lebar." Kata Agatha tiba-tiba, sadar kalau dirinya seakan menjelaskan sebuah esai tentang makanan favoritnya. "Iya, tidak apa-apa." Kata Isaac sambil terkekeh kecil. Jujur ia suka gadis banyak omong seperti Agatha. Seperti mendengarkan cerita dari seorang pembuat cerita yang handal. Seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur yang menenangkan. Ia jadi ingin bertemu dengan Agatha secepatnya. Tapi jadwal terbangnya itu besok. Atau.. "Oh ya, aku akan pulang...hari ini." Kata Isaac sambil menekan tombol untuk memanggil sekretarisnya kembali ke dalam. "Oh ya? Apa penerbangannya akan lama? Jam berapa Anda akan sampai disini?" "Aku mungkin akan sampai sekitar jam 7? Atau jam 8." "Oh begitu? Anda mau dimasakkan sesuatu? Apa makanan favorit Anda?" "Aku apa saja tidak masalah." Kata Isaac sambil mengisyaratkan kepada sekretarisnya untuk mempersiapkan penerbangan untuk malam ini. "Ya sudah sampai nanti ya." Pamit Isaac sambil menutup telepon. "Bagaimana dengan proyek di Fifth Avenue, tuan?" Tanya sekretarisnya sambil mengetikkan sesuatu di iPadnya.  "Minta tim Christian membereskannya. Seharusnya si Wendy yang mengurus kantor cabang disini kenapa dia selalu pergi dengan grup sosialitanya pada waktu seperti ini sih? Cewek gila." Kata Isaac sambil menarik jasnya dan berjalan keluar kantor. "Apakah saya perlu memesankan makan malam juga untuk di jalan, tuan?" "Tidak usah, Ashley." Kata Isaac sambil tersenyum mengingat Agatha akan memasakkan sesuatu untuknya, "Aku nanti makan dirumah saja." *** "Apa katanya?" Tanya Kay yang tengah mengelus Nana yang duduk di pangkuannya. Dia baru balik dari dokter hewan. "Tuan Isaac..- Maksudku Isaac. Dia pengen dimasakkan sesuatu. Apa makanan kesukaannya?" "Aku juga tidak tahu." Agatha mengerutkan dahinya. "Bagaimana maksudnya kamu tidak tahu?" "Gue kan asistennya. Bukan pembantunya. Jadi gue gak masak buat dia. Gue malah lebih tahu alkohol favorit dia." Kata Kay sedikit berguman di kalimat terakhirnya. "Udah, masak apa aja. Dia pasti suka. Isaac itu bucin tauk. Setau gue cewek yang deket sama dia semua mau ngelakuin apa aja Isaac selalu gak keberatan." "Oh, terus kenapa dia gak pernah jadi?" Kay berpikir sejenak, "Gue rasa ceweknya pada gak pernah tulus suka sama dia." "Begitu?" "Iya. Namanya juga anak konglomerat. Pasti yang suka sama dia seringnya yang matre. Dia males aja." Agatha manggut-manggut lalu mengeluarkan sebungkus mi instan dari bungkusan plastik berisi belanjaan dia tadi dengan Kay. Dia membeli banyak barang dan makanan yang ia rasa diperlukan di rumah ini. Apalagi cemilan. Dapur Isaac benar-benar kosong. Agatha bahkan tidak yakin kalau Isaac punya pembantu sebenarnya. Gadis itu tidak pernah melihat mereka muncul. "Isaac punya ART gak ya, Kay?" "Punya. Tapi lagi libur seminggu." Kata Kay sambil menghidupkan mesin mobil. "Kerjaannya apa aja biasanya?" "Masak, nyuci, bersih-bersih. Isaac juga punya tiga orang tukang kebun. Montir pribadi. Dokter pribadi." "Kok kamu malah jelasin semua?" "Iya, biar lo gak nanya panjang lebar. Penasaran banget sih lo. Udah sebulan juga tinggal sama dia, kok malah nanya ke gue mulu. Lo pernah ngomong gak sih sama dia?" "Pernah kok." "Berapa kali? Selain pas kalian n*****t tapi." "Santai dong bahasanya." Agatha memukul lengan atas Kay lalu kembali berpikir, "Um.. uh.. tujuh kali..?" "Cuma tujuh kali? Gue sama Nana aja sehari ngomong dua ratus kali. Padahal Nana ini anjing loh. Ini lo yang jual mahal atau Isaac, hah?" "Ih aku kan canggung." Kata Agatha sambil menyilangkan tangannya di dadanya. "Gak tau lagi deh gue. Padahal lo banyak omong gini. Gak ngerasa gila lo gak bisa ngomong banyak?" Agatha menggeleng sambil menggedikkan bahunya. Tidak juga, pikirnya. Kay menurunkan Agatha di teras rumah lalu berkendara pergi. Ia ingin mengantar Nana kembali ke rumah dulu. Agatha menatap mobil Kay menjauh pergi, keluar dari gerbang megah rumah Isaac--yang menjadi rumah Agatha juga sekarang. Gadis itu berbalik dan berjalan masuk kedalam. Gadis itu selalu berusaha untuk merasa seperti berada di rumah. Tapi rasanya sangat aneh. Semua yang dilihatnya masih terasa asing. Sangat asing. Sebenarnya yang dikatakan Kay itu ada benarnya. Ia memang tertekan disini. Ia takut. Ia takut Isaac mungkin saja akan membunuhnya, atau mencelakainya karena ia bertingkah. Ia harus sopan. Ia harus tahu diri. Itu yang selalu ditekankan Agatha pada dirinya sendiri. Agatha meletakkan bungkusan-bungkusan penuh makanan diatas meja marmer dapur dan mulai menyusunnya di rak, lemari, laci; dimanapun tempat yang Agatha rasa perlu diisi. "Selamat siang," sapa sebuah suara manis yang mengagetkan Agatha. Gadis itu menoleh untuk melihat seorang gadis lainnya yang berpakaian seperti asisten rumah tangga muncul dari lorong. "Halo." Sapa Agatha. "Saya Wendy, asisten rumah tangga tuan Isaac," katanya sambil menghampiri Agatha dan membantunya mengeluarkan sekarton s**u dan meletakkannya di dalam kulkas. "Oh iya, aku Agatha." Kata Agatha sambil kembali kepada bungkusan-bungkusan di hadapannya. Agatha bahkan tidak tahu harus menyebut dirinya apa di rumah itu. Mungkin teman tidur? Tapi kalau memang benar seperti itu posisinya, Agatha rasa ia tidak perlu memberitahukannya kepada siapapun. Itu bukan posisi yang perlu dibanggakan. Mereka berdua tidak berbicara atau melakukan interaksi yang terlalu signifikan lagi sampai akhirnya semua persediaan tertata rapi. Agatha mengamati rak-rak di dapur Isaac yang tertata rapi dengan bangga. Meski memang ia membeli semuanya dengan uang Isaac, tapi Agatha merasa sedikit berguna juga. Wendy pamit untuk membersihkan kamarnya yang sudah lama tidak terpakai lalu pergi keluar, menuju rumah kecil di ujung taman. Mungkin rumah itu tempat tinggal pekerja di rumah Isaac, pikir Agatha. Tapi kenapa Isaac tidak membiarkan mereka menggunakan salah satu kamar di rumah besar ini dan malah membuatkan rumah yang lebih kecil untuk mereka? Agatha terus berpikir banyak hal selagi mempersiapkan makanan yang ingin dibuatkannya untuk Isaac. Ia ingin melakukan ini semata ingin merasa berguna saja di rumah Isaac. Mungkin pria itu akan sedikit senang dan menghapus pikirannya untuk membunuh Agatha, entahlah. Intinya Agatha hanya ingin bersikap baik saja. Ia masih sayang nyawanya. Waktu menunjukkan pukul enam ketika Agatha memulai kegiatan masak-memasaknya. Awalnya dia ingin memasakkan opor ayam, tapi ia takut lidah bule Isaac tidak akan suka. Lalu dia ingin mencoba untuk memasak makanan dari resep yang ditemukannya online. Soufflé.  Kata resep yang dibacanya, menu itu terbuat dari telur yang dibuat sedemikian lembut dan kembang. Bukan resep yang susah, pikir Agatha. Ketika Agatha mulai mengaduk campuran telurnya, Agatha mendengar suara pintu dan orang-orang yang berbincang dari arah depan rumah. Agatha refleks segera pergi ke depan membawa mangkuk berisi campuran telurnya dan sebuah garpu di tangan lainnya. Isaac menatap Agatha sedikit kaget dengan tampilan lucunya dengan celemek dan mangkuk. "Woah, Agatha. Kamu sedang apa?" Tanya Isaac sambil mendekap tubuh Agatha dan mengecup puncak kepalanya. "Tapi, kamu mau makan di rumah?" "Oh iya, aku lupa." Kata Isaac sambil melepas jasnya. "Kamu butuh bantuan?" "Tidak." Isaac mengikuti Agatha di belakang sambil tersenyum simpul melihat Agatha yang masih dengan seragam sekolahnya dibalik celemek itu. "Kamu mau buat apa?" "Soufflé." "Kamu yakin mau buat Soufflé?" Tanya Isaac sambil tempat duduk di meja marmer di dapur. Ia ingin melihat Agatha masak. "Ya, 'kan cuma telur saja?" Isaac tersenyum. Ia tahu apa itu Soufflé. Bahkan koki pribadinya pun masih belajar memasak makanan yang katanya rumit itu. Memang resepnya kedengaran mudah karena hanya terbuat dari telur. Tapi sebenarnya Soufflé itu makanan yang susah untuk dibuat sesuai dengan ekspetasi. Agatha harus berhasil mengocok telurnya sampai berbusa dan mengembang. Lalu ia juga harus tahu suhu yang tepat untuk memasak telurnya itu supaya bisa mengembang dan tetap kembang ketika dikeluarkan dari oven. Teksturnya pun harus lembut, seperti memakan awan, begitulah deskripsi Isaac ketika ia pertama kali memakan Soufflé yang berhasil. Dan itupun di hotel bintang lima tepatnya Amerika. Isaac membuat taruhan di dalam benaknya. Kalau Agatha berhasil memasakkan Soufflé untuknya, pria itu akan segera menikahinya. Tapi ia terkekeh sendiri dengan taruhannya itu. Karena ia yakin Agatha akan gagal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD