Isaac & Anna

1665 Words
"Hubungan kamu dengan Tuan Isaac itu apa? Kalian kayak udah kenal lama." "Pertama, lo mending berenti aja manggil dia Tuan Isaac. Dia juga gak suka dipanggil kek gitu. Kedua, gue dulu pas umur delapan dipungut bapaknya dia. Gue kira gue dijadiin anak atau apalah soalnya pas gue dateng, bapaknya ngaku dia tinggal sendirian. Yaudah. Tapi setelah sebulan gue tinggal disitu, ada cewek dateng. Cantik banget, blasteran gitu. Bawa bayi. Ngomongnya itu anak Tuan Hilton. Gue kayak nonton sinetron anjir pas ngeliat mereka berantem di ruang tamu. Terus yah gitu, si Isaac akhirnya diasuh bapaknya. Gue juga gak yakin sih Isaac beneran anaknya apa enggak. Cuman gue ngerasa bapaknya akhirnya milih dia ketimbang gue buat ngejalanin perusahaan itu gegara gue 'kan butek, gak cocok jadi image perusahaan. Jadi dipilih deh Isaac yang blasteran. Gue yakin dia pungut gue awalnya karena dia butuh penerus, terus dia cap cip cup deh. Tapi setelah ada gue, Isaac, pilihan yang lebih ganteng dan menjanjikan dateng." "Tuan Hilton itu papanya Isaac?" "Ya, nama dia Bill Hilton, cuma dia gak suka dipanggil nama depan. Jadi Tuan Hilton deh." "Tapi gak masuk akal deh. Masa cuma karena kamu butek, jadi Isaac yang dipilih." Agatha melirik lagi kulit tembaga Kay yang mengkilat. Sebenarnya jauh dari kata kusam, mungkin 'butek' yang dia maksud itu karena Kay tidak putih kinclong kayak bihun atau ubin kamar mandi rumah Isaac. Kay menggedikkan bahunya, "Gue gak pernah nanya kenapa. Secara pinter, gue sama si Isaac sama aja. Dia pinteran dikit deh. Cuman bedanya Isaac emang ganteng, khas blasteran. Cewek suka deket-deket. Apalagi kalo tau dia berduit. Gue 'kan anaknya mainnya geng, suka tawuran, bikin illfeel. Mungkin ada keterkaitannya juga soal gue 'kan dipungut, jadi bener-bener gak ada hubungan darah. Sedangkan si Isaac dibawa kemari sama emaknya, diklaim anaknya Tuan Hilton." "Terus tes DNA? Tuan Hilton pernah kepikiran tes DNA gak?" "Ya dia mana ada waktu, mbak. Orang sibuk. Waktu luang dia cuma dari jam sepuluh malam ke jam empat pagi. Ya mending dia tidur dibanding ke rumah sakit." "Terus mamanya Isaac gimana?" "Masi idup. Tinggal di rumah lama Isaac. Gue yakin dia dateng ke Tuan Hilton itu karena butuh duit. Jadi dengan alasan si Isaac dia minta duit pemeliharaan. Tapi Tuan Hilton kayaknya gak percaya sama dia jadi si Isaac dibawa tinggal sama Tuan Hilton, tapi emaknya disuruh tinggal dimana dah yang penting cuma anaknya buat Tuan Hilton. Emaknya dikasih duit berapa gitu tiap bulan. Lumayanlah buat hidup nyaman. Isaac tau dia punya emak, meski dia gak pernah ketemu. Tapi dia anaknya emang baik aja dari sononya, jadi dia ngasih aja emaknya jadi nyonya besar di rumah lamanya yang sekarang bahkan udah lebih gede lagi, disuruh renovasi sama Isaac." "Ohh." "Tapi gue kasian deh sama Isaac." "Kenapa?" "Ya, gue 'kan emang tau diri aja gue dipungut dari kolong jembatan. Jadi sukur-sukur gue dikasih makan, dikasih kamar mewah, dikasih belajar, dibiayain. Lah si Isaac? Dia 'kan emang punya emak bapak. Tau punya emak bapak. Tapi gak pernah ngerasain kasih sayang mereka. Dia jadi nyari pelarian. Minum-minum. Pake narkoba." "Dia jadi pecandu?" "Gak berat. Dia cuma pake sekali-sekali. Tapi itu pas SMA. Wah, lu gak tau aja dia pas SMA gila banget. Tiap malam party. Kenceng banget aroma anak orang kaya yang banyak koneksinya. Cuman sekarang udah enggak. Minum keknya masih, tapi narkoba enggak. Malah dia jadi main cewek juga sekarang." "Terus kamu?" Tanya Agatha. "Gue?" Kay menunjuk dirinya sendiri sambil sekilas menoleh kepada Agatha. "Iya, kamu." "Kenapa dengan gue?" "Kamu 'kan tadi ngejelasin tentang Isaac aja. Terus kamu hidupnya gimana?" "Ya, gue.. Apa ya.. Gue gak merasa cerita hidup gue penting amat sih. Ya kayak anak pungut gimana anak pungut?" "Uh.. Um.. Kamu.. Um.. Dibiayain? Di.. Kasih makan? Aku mana tau. Aku 'kan bukan anak pungut. Dimobil ini 'kan yang anak pungut itu kamu." Agatha menunjuk Kay sambil mengerutkan dahinya. "Ya yang kayak gue bilanglah, mbak. Gue dibiayain. Dikasih makan enak. Dikasih uang jajan. Udah gitu aja. Gue tujuannya cuma buat tumbuh, jadi pinter, terus ngurusin usaha bapaknya. Jadi gak penting hubungan gue sama bapaknya gimana. Gue gak perlu di peluk di sayang-sayang, bodo amat gue mah. Yang punya konflik batin 'kan anak sama bapak yang ada hubungan darah. Gue mah nonton aja, makan pop corn di seberang." "Kamu bahkan gak ada sedikit pun gitu, sakit hati atau perasaan apa?" "Gue mah mana sentimen, mbak. Gue malah sukur bukan gue image perusahaan. Meski gue juga sih yang disuruh kesana kemari sama si Isaac. Gue ngerasa juga udah tanggung jawab gue aja buat balas budi ke keluarga dia makanya gue mau-mau aja." Agatha membulatkan bibirnya lalu mengangguk-angguk paham. "Eh kita ke apartemen gue dulu ya." Kata Kay yang berbelok menuju sebuah parkiran gedung tinggi dengan susunan karakter alfabet yang diterangi lampu-lampu sorot. Hilton Tower, baca Agatha. "Ini gedungnya punya Isaac?" Tanya Agatha ketika melihat karakter alfabet raksasa diatas kepalanya itu. "Ya, salah satunya. Isaac punya perusahaan real estate juga, cuma bukan gue yang urus." "Oh, kalau kamu ngurus apanya?" "Biasanya kebutuhan Isaac. Gue bagian yang ngehajar orang juga." Kata Kay sambil keluar mobil, membawa sebuah bungkusan kecil yang sedari tadi duduk manis di jok belakang mobilnya. "Ngehajar orang?" Kay menoleh sejenak kepada Agatha yang menyembulkan kepalanya keluar untuk mengernyit heran kepada Kay. Pria itu lalu menutup pintunya lalu menekan tombol yang menimbulkan suara mengunci pada mobilnya. "Gue gak biasanya ngasi tau beginian sama orang apalagi simpanan Isaac." Agatha melotot ketika Kay yang menoleh kepadanya dan menyebutnya 'simpanan Isaac'. "Tapi gue bagian keamanan lah bisa dibilang ya. Urusan gue ya ngelacak orang, mukulin orang, bunuh orang kalo perlu." Agatha sedikit bergidik mendengar nada keseriusan Kay di bagian membunuh. "Tapi gue paling seringnya cuma ngelacak orang aja. Gue bagian intel-nya Isaac deh bisa dibilang." "Berarti kamu pinter banget dong nyari orang?" Tanya Agatha sambil ikut masuk ke dalam lift bersama Kay. Pria itu menekan tombol bersimbol angka lima. "Ya gitu deh." "Kita ngapain ke apartemen btw?" "Gue mau ngasi makan anjing gue dulu." "Oh kamu seriusan punya anjing?" "Hah? Maksudnya gimana?" Kay akhirnya menoleh kepada Agatha yang mencium adanya bau kesalahpahaman, "Eh.. tadi aku kira.. kamu maksudnya Isaac itu kamu mau nyebut Tuan Isaac.. um.. anjing.." Tawa Kay pecah ketika mendengar pernyataan Agatha. Pria itu tidak menyangka Agatha akan sepolos dan sebodoh itu. Ternyata Agatha ini juga bisa menjadi hiburan baginya. "Wah, gila. Gue tau lo g****k, tapi gue gak ngira lo segoblok ini. Sial." Katanya sambil masih tertawa dan menyeka air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Ia sampai menangis saking lucunya situasi mereka ini. Kay dan Agatha keluar dari lift ketika lift sampai di lantai lima. Kay masih terkekeh sedangkan Agatha tersenyum malu karena pernyataan bodohnya itu. "Gede banget ketawanya." Cicit Agatha. Kay hanya semakin tertawa lepas mendengar Agatha kembali bersuara. Pria itu membuka kunci pintunya dengan menekan pin berupa empat angka unik. Sejenak setelah Kay membuka pintu, mereka berdua segera mendengar suara kaki-kaki kecil yang berlari mendekat ke arah mereka. Seekor bulldog dan anak anjing golden retriever. "Halo. Udah lapar? Isaac? Nana?" Sapa Kay ketika kedua anjingnya menyambut pria itu dengan loncatan dan gerakan memutar. Kedua ekor milik Isaac dan Nana mengibas seperti baling-baling helikopter. Agatha agak takut kalau ekor mereka terus mengibas seperti itu mereka bisa terbang ke langit-langit. "Yaudah ayuk." Ajak Kay setelah ia meletakkan dua mangkuk makan milik kedua anjingnya, bersama dua baskom air. "Eh, kamu mau ninggalin mereka disini sendirian?" "Ya," Jawab Kay sambil menoleh dan tersenyum pada kedua aset kesayangannya, "Mau gimana lagi. Gue 'kan kerja." "Ba.. Bawa aja!" Kata Agatha. "Bawa kemana?" "Ke rumah." "Itu 'kan bukan ru-" Kay segera mengatupkan mulutnya, kembali teringat dengan perintah Isaac kepadanya pagi itu. 'Berikan saja apapun maunya'. "Yaudah. Bentar gue bawa kandang mereka dulu." Loh? Udah? Gitu aja? Pikir Agatha. Padahal dia sudah bersiap-siap dengan argumennya kalau ia perlu berdebat dengan Kay. Tapi sepertinya kali ini Agatha memiliki kemenangan yang mudah. Gadis itu diberikan dua harness dengan ukuran yang berbeda. Ia memakaikannya kepada Isaac terlebih dahulu, lalu Nana yang ternyata sangat riang dan energetik. Mungkin karena masih anak-anak, belum mengerti pahitnya dunia, pikir Agatha mengangguk-angguk, setuju dengan dirinya sendiri. "Kita ke supermarket dulu beli makanan mereka buat disimpan di rumah Isaac." Kata Kay sambil memasukkan kandang ke bagasi dan Isaac ke bangku tengah. "Oh iya, ok." Kata Agatha yang sudah duduk manis sambil memangku Nana di kursi penumpang sebelah pengemudi. "Eh, panjang umur," Kata Kay ketika melihat layar handphone-nya yang bergetar. "Masnya nelpon. Halo." Isaac diseberang sedang menatap keluar ruang kerjanya sambil memegang sebuah cangkir berisi vodka tonic, minuman yang paling ia sukai. "Halo." Kata suara di seberang sana. "Ya, Kay. Lo sama Agatha?" "Iya, nih. Kita mau bawa Isaac sama Nana ke rumah lo." Isaac mengernyitkan dahinya, Kay mau membawa dirinya dan Nana ke rumahnya? "Isaac nama anjing gue yang bulldog. 'Kan lu yang ngasi namanya." Jelas Kay seperti bisa mencium bau bingung dari seberang sana. "Oh.. Gue agak bingung tadi. Ngapain lo bawa anjing lo ke tempat gue? Kan bulunya bisa rontok, gimana sih. Gimana kalo Agatha bersin-bersin nanti?" "Agatha yang minta." "Oh. Yaudah." Isaac menyeruput sedikit minumannya, "Oh iya, lo sekalian beliin dia handphone gih. Eneg gue nelpon lo terus kalo mau nanya soal dia." "Ya, ok. Ada lagi mazzz?" "Gak, gitu aja. Lo jangan kelewatan ya, gue gebuk." "Kelewatan gimana, sial? Gue gebukin balek mau lu?" "Punya gue tuh. Lo tugasnya jagain doang." "Iya, bego. Gue tahu." Sambungan diputus. Isaac menghabiskan minumannya lalu menghela napas keras ke udara. Ia terus teringat dengan tubuh Agatha beserta kenikmatan dan kehangatan yang dibawanya. p******a, punggung, telinga, bibir, sialan semuanya indah dimata Isaac. Terutam kedua mata gadis itu. Yang menatapnya dalam ketika pria itu memelankan hentakannya, tatapan yang menginginkannya, tatapan yang haus dengan penyatuan mereka. Pria ini tahu gadis ini berbeda. Unik. Menolak tapi menginginkan. Pria itu biasanya tidak suka dengan penolakan. Tapi penolakan Agatha malah semakin membuatnya menginginkan gadis itu. Sial, ia tidak sabar untuk pulang dan bertemu dengan bonekanya itu. Mungkin kembali menghabiskan malam dengan mengisi Agatha dengan miliknya. *** Thank you for the vote! ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD