Isaac

1374 Words
"Jadi lo kenal Isaac darimana?" Kay buka suara ketika mereka sedang menunggu pesanan minuman mereka. Kata Agatha dia ingin minum cendol dulu sebelum makan soto. "Hah? Gimana..?" "Lo kenal Isaac darimana?" Ulang Kay. "A.. Aku.. Kenalnya.." Ada jeda lama yang mencurigakan bagi Kay. "Atau jangan-jangan lo diculik dia?" Iya. "E.. Enggak kok." Kata Agatha yang susah payah menelan cendolnya. "Jadi kenal dia darimana?" "Uh.. Ketemu di klub?" Agatha berbohong. Dia takut berkata jujur. Secara sejak pertama dia bertemu Kay, pria ini selalu berbicara blak-blakan dan tidak punya rem untuk kata-kata kasarnya. Agatha merasa kalau ia berkata jujur kepada pria ini, mungkin saja Kay akan menyebutnya dengan nama-nama yang tidak menyenangkan. Tapi kebohongannya itu pun tidak begitu membantu menaikkan martabatnya. Ia selalu berpikir kalau perempuan bertemu dengan laki-laki di klub dan mau dibawa ke rumah itu sama saja dengan tidak punya harga diri. "Oh.. Jadi lo cewek yang kayak gitu." "Kayak gitu gimana?" Kay menyendokkan cendol ke mulutnya lalu mengunyah sejenak, "Yang dibayar. Eh tapi kalo dibayar lo kok disimpan gini. Mungkin karena dia suka sama lo kali ya?" "Gue gak dapet duit." "Lah? Oh.. lo yang mau sendiri ya? Banyak sih yang begitu. Isaac juga suka bawa cewek gak jelas ke rumahnya. Terakhir jamnya banyak yang ilang, tapi namanya juga dia punya pohon duit di rumah jadi dia diem aja." "Ini juga bukan kemauanku sendiri." "Hah? Gimana sih, terus kenapa?" "Um.. dia.. nyeret aku ke rumahnya." Kay tersedak cendolnya sendiri. "Ok, sebenernya aku gak ketemu sama dia di klub. A.. Aku.. Papa aku dililit hutang terus minjem ke Tuan Isaac. Terus Tuan Isaac minta aku jadi bayarannya. Aku sendiri yang tanda tangan kontraknya." "Hah? Te..Terus lo mau aja gitu?" Agatha menatap Kay yang kelihatan khawatir dan mengangguk pelan. "Lagian apa gunanya aku di rumah papa, 'kan? Cuma perempuan juga. Mending dijual 'kan anak perempuan gak guna kayak aku?" Agatha bisa merasakan dadanya mulai sesak. Dia pernah mendengar percakapan ayahnya dengan kolega-koleganya di ruang kerja. Berkata kalau Agatha itu tahunya hanya buang-buang duit. Tahunya cuma belajar, main, pulang tanpa tahu cara mencari duit. Padahal sebenarnya Agatha pun tidak pernah meminta duit jajan kepada ayahnya, pria itu yang terus memberikan uang berlebih ke akun anaknya. Ia pulang lama pun karena jadi sukarelawan di rumah sakit hewan dekat rumahnya. Ia memakai uang ayahnya sedikit-sedikit bukan untuk jajan atau main, tapi untuk mengisi keperluan rumah sakit yang sering kekurangan. Astaga bagaimana kabar rumah sakit hewan itu? "Terus tadi lo kok bohong?" "Aku takut..Takut disebut p*****r atau nama-nama menjijikan lainnya." Agatha menjatuhkan pandangannya ke lantai ketika tahu air matanya akan jatuh. Tapi Kay menutup mata Agatha dengan tangannya yang lebar ketika mendengar Agatha mulai terisak. "Aku juga gak tahu harus apa waktu itu. Papaku keliatan gugup. Mamaku juga disitu. Aku yakin papaku gugup karena takut aku gak bakal mau tanda tangan terus dia bangkrut." Kata Agatha yang kembali terisak lebih keras. Kay menarik Agatha untuk menyandarkan kepalanya di d**a Kay. "Aku takut, Kay." Bisiknya. "Agatha." Panggil Kay. Ia mengangkat wajah Agatha pelan supaya ia bisa melihat wajah Agatha yang sembab dengan jelas. Hidung dan bagian bawah mata gadis itu memerah dan warna itu sangat kontras di kulitnya yang pucat. "Gue tau lo sekarang lagi takut. Tapi gue jamin Isaac itu bukan cowok gak tau diri. Dia pasti tanggung jawabin semuanya soal lo." "Tapi dia beli aku, Kay." Kata Agatha menarik ingusnya yang sempat turun, "Dia beli..- papa aku juga..- mama ak..-" Agatha kembali tenggelam dalam perasaannya. Ia ingin dirinya yang cengeng ini tidak muncul. Tapi mentalnya sedang berada di titik terlemah sekarang. Bahkan sebelum ia menandatangani kontrak itu pun ia sudah lemah. Kontrak sialan itu. "Gue tau lo sekarang lagi bingung dan ngerasa kalo lo dikhianati sama bapak emak lo sendiri. Gue janji, Isaac itu bakalan jaga elo." "Ta.. Tapi..-" "Gue janji. Kalo dia nyakitin elo, lo dateng ke gue. Biar gue bogem tuh anak. Gue selalu nyari alasan buat mukul dia sebenarnya, jadi kalo lo dateng ke gue, gue jadi punya alesan kuat." Kata Kay yang mengepalkan tangannya dan memukul tangan lainnya dua kali dengan tangan terkepal itu, seperti simbol kalau ia akan menghajar Isaac dengan baik dan benar. Agatha terdiam dan membersihkan ingusnya lalu terkekeh. "Intinya, lo gak usah takut. Gue emang gak bisa melarikan lo kemana-mana karena gue juga asisten si sialan gila itu. Tapi pokoknya gue bisa ngelindungin lo kalo dia tiba-tiba main tangan." Kata Kay lagi. "Lo harus janji lo manggil gue ya, soalnya gue pengen banget nonjok dia. Seriusan." Kata Kay lagi. Agatha tersenyum sambil membersihkan wajahnya, ia mengangguk mengerti. "Yaudah kita makan dulu. Jorok banget lu ileran anjir kayak bulldog gue." "Oh, kamu punya anjing?" "Iya, si Isaac." "Hah?" Agatha mengernyitkan dahinya bingung. Kay menatap Agatha lalu tersenyum lebar. "Iya, nama dia Isaac." "Nama anjing kamu.. Isaac?" Kay mengangguk, "He-eh, Isaac." Kay dan Agatha menghabiskan cendol mereka dan berjalan sedikit ke ujung jalan, ke Rumah Makan Soto Buk Ratih yang kata Kay sebelumnya adalah rumah makan paling enak yang pernah ia kunjungi. Sejenak setelah mereka masuk kedalam, mereka berdua segera dihinggapi pandangan dari orang-orang disana. Ia sedikit tidak nyaman dengan orang-orang yang memelototinya seperti itu. Biasanya kalau dia datang kesini ia tidak akan dilihatin seperti ini, pikirnya. Tapi hari itu sepertinya orang-orang yang datang adalah orang-orang aneh. Jadi dia minta untuk makan di mobil di parkiran depan rumah makan saja. "Kamu gak suka diliatin?" Tanya Agatha. Kay hanya menggedikkan bahu lalu kembali menyuapkan nasinya. "Emangnya lo suka diliatin gitu?" "Ya enggaklah. Tapi kata papa, aku harus terbiasa diliatin kalo keluar." "Hah? Kenapa? Aneh banget tau kalo orang liat-liat gitu. Udah gitu mereka gak sembunyi-sembunyi lagi liatinnya. Pengen gue tonjok satu-satu matanya biar tau diri." Kata Kay sambil mengacungkan tangannya yang terkepal. Agatha hanya terkekeh kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah selesai makan, Kay membawa piringnya dan Agatha kembali ke dalam. Ia bertemu dengan Ibu Ratih, pemilik rumah makan yang sudah mengenal Kay. "Eh, nak Kay. Udah lama gak keliatan." "Iya, bu. Sibuk soalnya." Kata Kay sambil menyerahkan piring kotor ke pegawai yang lain. "Buk, aneh banget yang datang hari ini. Pada ngeliatin saya terus." Bu Ratih hanya terkekeh, "Mungkin karena cewek yang nak Kay bawa. Cantik banget kata pegawai saya yang ngeliat." Kay tertegun lalu membulatkan mulutnya lalu manggut-manggut. "Pacarnya nak Kay?" "Oh, bukan, buk. Pacarnya si Isaac." Kata Kay. "Oh, nak Isaac toh. Dia pinter banget nyari cewek ya," Kata Buk Ratih sambil menerima selembar uang lima puluh ribu dari tangan Kay. Kay hanya tersenyum simpul lalu menerima kembalian beberapa saat setelah ia menyerahkan uangnya. "Eh ini bawa perkedel sama bakwannya, Kay," kata Bu Ratih sambil menyerahkan sebungkus bakwan dan perkedel, "Cemilan di jalan." "Wah, ibuk ini tau aja kesukaan saya. Makasih loh, bu. Entar kalo ada klien aku bawa kesini deh." Kata Kay sambil menerima dengan sumringah. Bu Ratih melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar kepada Kay. "Kamu dikasih apa itu?" Tanya Agatha yang daritadi menunggu di mobil. "Bakwan. Punya gue. Lo gak boleh minta." "Ih, aku mau juga." Kata Agatha sambil meraih bungkusan yang segera di jauhkan Kay dari gadis itu. "Ini punya gue. Lo gak boleh minta. Apaan sih." "Minta satu doang, janjiii," Agatha meraih bungkusan yang sudah tinggi diatasnya, dan Agatha adalah jenis cewek yang berani melakukan apa saja untuk mendapatkan bakwan. Bahkan kalau itu sampai membuatnya harus memanjat tubuh Kay. "Ih lo ngapain sih, meluk-meluk gitu. Gak boleh, dibilangin." "Aku mau manjat badan kamu. Biar bisa dapet bakwan." "Eh, lo kira gue pinang apa di panjat-panjat." Kata Kay mendorong wajah Agatha yang nempel di kemejanya. "Aku mau bakwaaan." Rengek Agatha. "Apaan sih ni cewek, bener deh. Yaudah nih satu." Kata Kay sambil mengeluarkan satu bakwan dari dalam plastik. "Satu aja 'kan." "Dua dong." "Lah tadi katanya satu." "Kan itu tadi." Kay berdecak lalu mengeluarkan satu bakwan lagi. "Udah ya. Dua aja ya." "Tiga?" Kay segera menoyor dahi Agatha pelan lalu masuk ke dalam mobil. "Masuk lo sini. Malu-maluin aja lo, anjir." Agatha segera menyeberang ke sisi lain mobil dan masuk dengan dua bakwan di tangan dan senyum lebar di wajahnya. "Kita mau kemana sekarang?" Tanya Agatha sambil memakai sabuk pengaman menggunakan tangannya yang masih kosong. "Yaudah yuk, cus." "Tapi sebenarnya aku penasaran." Kata Agatha, merasakan seperti ada yang mengganjal di pikirannya. "Ha, apa?" Tanya Kay sambil memundurkan mobilnya. "Hubungan kamu dengan Tuan Isaac itu apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD