Soto

1297 Words
Isaac menghentak keras miliknya di dalam milik Agatha ketika ia mencapai klimaksnya. Sensasi yang dirasakan pria itu tidak kentara rasanya, ia ingin lagi. Tapi sepertinya untuk pagi itu dua kali saja sudah cukup. Isaac ambruk sejenak sebelum kembali bangkit dan melepas miliknya. Ia menarik resleting celananya sambil menghela lega ke udara. Pria itu menarik jasnya yang sudah ia siapkan tadi selagi tangannya yang lain menyisir rambutnya dengan jemarinya sendiri. Agatha beringsut dari lantai yang dingin dan terduduk disana sambil menatap Isaac yang sesekali menoleh kearahnya. "Kay akan menjagamu disini." Kata Isaac sambil memperbaiki posisi jam di tangannya. "Anda mau kemana?" Tanya Agatha. "Aku ada perjalanan bisnis. Tidak akan lama. Paling tiga hari." Jawab Isaac sambil mengulurkan tangannya ke Agatha. Gadis itu menjawab uluran tangan Isaac dan merasakan tarikan dari Isaac sampai ia bisa berdiri. Pria itu mendekatkan tubuh Agatha ke kedua tangannya lalu mengecup leher gadis itu. Menghabiskan sisa-sisa napsu yang dia miliki tadi. Kedua tangan Isaac mengusap punggung Agatha yang terasa dingin lalu turun untuk meremas p****t Agatha. Gadis itu memekik kaget sambil menatap Isaac yang tersenyum jahil. "Jangan jatuh cinta dengannya ya." Kata Isaac sambil mengecup pipi dan bibir Agatha lembut. Napasnya yang hangat menyapu bibir Agatha sebelum kembali melumatnya. "Kamu itu milikku." Katanya sambil menggigit bibir Agatha iseng. "Mengerti?" Agatha mengangguk pelan sambil merasakan Isaac menarik kedua tangannya menjauh dari pinggangnya lalu berputar dan pergi keluar kamar. Agatha mengikutinya dari belakang sambil menurunkan rok dari gaun yang dipakainya. Setiap kali melihat punggung Isaac yang mendominasinya, Agatha selalu teringat dengan punggung berotot yang dulu pernah membelakanginya juga. Ia ingat pria yang akan minum wine setiap kali ia selesai melampiaskan napsunya dengan Agatha. Kekasih yang mengajarinya cara-cara memuaskan pria. Kenapa dia teringat dengan si b******k itu? "A.. Aku bisa sendirian." Cetus Agatha. Kay berhenti berjalan, diikuti Agatha. Pria itu menoleh dan menatap Agatha tajam. Ah, mungkin dia tidak percaya padaku. Pikir Agatha. Mugkin dia pikir aku akan lari kalau sendirian. "Kau tidak aman sendirian." "Ta.. Tapi rumah ini-" "Jangan! ..menolak permintaanku." Kata Isaac yang memijit batang hidungnya. Agatha kembali menciut ketika mendengar suara Isaac yang menggelegar. Pria itu terang-terangan memperlihatkan kalau tidak suka penolakan. Isaac menghela napas ketika melihat Agatha ciut, memainkan jari jemarinya, gugup. Pria itu berjalan kearahnya lalu mengecup dahi gadis itu. "Tolong ikuti saja apa yang aku inginkan." Katanya. "Aku mengerti kamu diajari hidup mandiri di rumahmu. Tapi sekarang kamu di rumahku. Kamu harus melakukan semuanya sesuai dengan caraku." Agatha menatap manik Isaac dalam diam. "Mengerti, Agatha?" "Aku mengerti." Kay menunggu diluar dengan tas besar di tangannya. Ia menoleh kepada Agatha yang muncul dari balik pintu lalu kembali menatap Isaac dan berbicara dengannya. "Tolong penuhi saja semua maunya." Kata Isaac sambil menoleh kepada Agatha dan tersenyum. Kay hanya diam dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Agatha yakin pria itu berlagak profesional karena ada sekretaris dan supir Isaac disana. Isaac melambai untuk terakhir kalinya kepada Agatha sebelum masuk kedalam mobil. Ada rasa rindu yang sudah tumbuh di benak pria itu. Ia inginnya membawa Agatha bersamanya kemanapun ia pergi. Ia yakin Agatha juga akan suka pergi ke tujuan yang Isaac akan datangi. Tapi pria itu yakin gadis itu lebih aman di rumah. Dijaga Kay dan petugas keamanannya. Mungkin juga ia akan memanggil petugas tambahan untuk menyisir hutan di luar gerbang tingginya. Agatha hanya menatap Isaac pergi sambil tersenyum simpul. Apa ini? Pikirnya. Pria ini memperlakukannya bak istri yang sah. Ia bahkan mengantar Isaac pergi, seperti istri yang sah. "Lo lapar?" Agatha menoleh dan mengadah kepada Kay yang menatapnya balik. "A.. Aku bisa sendiri." "Gue tau. Tapi Isaac gak pernah makan di rumah. Jadi gak ada gunanya lo bilang ke gue lo bisa sendiri kalo bahan makanannya aja gak ada, 'kan?" Kata Kay lagi sambil reflek mengeluarkan rokok. Agatha terkesiap ketika melihat pria itu mengeluarkan rokok. Ia hanya tidak menyangka Kay yang memiliki bibir ranum yang tipis, wajah cerah yang feminim, akan mengeluarkan rokok. "Apa?" Tanya Kay mengernyitkan dahinya. "Jangan bilang lo gak pernah ngeliat rokok sebelumnya?" "E.. Enggak kok. Aku pernah liat. Sering juga! Siapa bilang aku gak pernah liat. Kamu geer banget." Kata Agatha gelagapan sambil masuk ke dalam rumah. "Aku ganti baju dulu." Kata Agatha dari dalam. Kay terkekeh melihat tingkah laku Agatha yang gelagapan seperti itu lalu kembali menyesap rokoknya pelan. Agatha masuk ke kamar dan meraih celana jeans dan kemeja putih yang semalam sempat dilipatnya diantara beberapa bajunya yang baru dibelikan. Ia melihat sekelilingnya. Baru sehari gadis itu berada disana. Dan ia sudah bisa menandai semua sudut ruangan itu sebagai tempat ia dibuat meracau dan mengerang keras oleh Isaac. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Melepas pikiran kotor yang terlintas setiap kali ia ingat kejadian yang berlangsung semalaman itu. Ia ingin menolak. Berkali-kali mungkin. Tapi Isaac terlalu kuat. Ia mencengkeram gadis itu, menguncinya di dalam dekapannya sampai ia selesai atau sampai Agatha pingsan. Agatha pun tidak yakin Isaac berhenti ketika ia pingsan. Ia masuk ke kamar mandi dan melihat dirinya di kaca. Wajahnya kelihatan lebih cerah. Apa mungkin karena cahaya lampu kamar mandi yang terang? Pikirnya. Gadis itu meminum pil kb yang di letakkan di rak belakang kaca seperti yang diminta Isaac semalam dan mulai membuka bajunya. Agatha merasakan air yang mengalir dari pancuran melewati kulitnya yang terasa sedikit lengket. Dia memejamkan matanya sejenak, merasa nyaman dengan suara air mengalir dan rasa hangat di kulitnya. Untuk sesaat gadis itu tersungkur ke dasar bathtub, kakinya lemas. Ada perasaan yang membuncah dan ingin keluar dari dalam dirinya. Jangan sekarang, pikirnya. Tapi sudah terlambat. Karena sejenak setelah penolakannya itu, Agatha bisa merasakan ada aliran air lain yang hangatnya berbeda keluar dari matanya. Agatha menangis. Perasaan yang ditahannya sejak semalam itu akhirnya keluar juga. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri yang menikmati setiap sentuhan pria yang baru saja merenggut segala miliknya. Ataupun ayah dan ibunya yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Agatha. Gadis itu kini sendirian. Akhirnya ia menyadarinya. Tadinya pikirannya terasa berkabut, seakan raganya berusaha menepis kenyataan dan sedang tertidur sejenak. Lalu kemudian semuanya terasa semakin jelas untuk Agatha. Mungkin sejak ia bangun tadi. Pikirannya mungkin semalam hanya terlalu lelah sampai ia tidak merasa benar-benar hadir untuk beberapa waktu. Tapi pagi ini semuanya terasa lebih jelas. Agatha kembali berdiri ketika merasa guncangannya reda. Ia akan baik-baik saja. Itu yang terus ia ulang-ulang di hatinya. Sama seperti ketika ia masih kecil. Ketika ia bersembunyi di dalam lemari, memeluk erat boneka kelinci kesayangannya. Ia terus mengulang-ulang kata-kata itu. Agatha cepat-cepat mandi lalu mematikan air. Kay pasti kesal kalau ia menunggu terlalu lama. Agatha segera mengeringkan rambut dan badannya lalu memakai pakaiannya. Gadis itu turun untuk mendapati Kay sedang duduk di sofa ruang tamu yang menghadap ke kolam renang di belakang rumah. Rumah ini rupanya punya kolam renang, pikir Agatha. "Udah?" Tanya Kay. Agatha mengangguk. "Lo mau makan kemana?" Tanya Kay lagi. Agatha berpikir sejenak lalu segera ingin soto. "Um, ada rumah makan yang nyediain soto gak di sekitar sini?" Tanyanya. Kay terdiam sejenak lalu bertanya, "Lo suka soto?" Agatha kembali mengangguk untuk menjawab. "Ada sih, tapi lo gak apa-apa kalo restonya gak pake AC?" "Hah? Emang ada rumah makan soto yang pake AC? Eh, kayaknya ada sih. Cuman kan biasanya kalau rumah makan modelan kayak gitu pemiliknya cuma mau jualan brand doang. Rasa sotonya juga seringnya biasa aja. Kadang-kadang bahkan kayak cuma air dikasih perasa buatan soto yang bungkusan itu- Ah, maaf. Aku ngomongnya kebablasan." Agatha kembali menunduk, sedikit malu dengan dirinya sendiri. Tapi mengejutkannya, Kay malah tertawa. Pria yang wajahnya seperti ingin membunuh orang ini bisa Agatha buat tertawa. "Ko.. Kok ketawa sih." Agatha protes. "Gue gak pernah ketemu cewek yang napsu banget cuma buat ngejelasin soto." Katanya semakin tertawa kencang. "Gila. Lo aneh banget." "Na.. Namanya juga a.. aku ihh! Berhenti dong ketawanya, nyebelin tau!" Agatha memukul lengan Kay kuat. Kay hanya menangkis seadanya, tapi tetap tertawa. "Yaudah ayolah, lo mukul sakit banget kayak dipukul pentongan gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD